Hari itu benar-benar hari yang memuakkan bagi sang Kerbau. Dia terduduk dengan badannya yang tambun di depan setumpuk material spanduk. Tercecer. Tercerai-berai. Tak lagi moncer. Namun tak bisa berandai-andai.
Siapa gerangan yang melakukan? Apa salahku sebagai Kerbau? Kenapa wajahku dihilangkannya? Apakah wajahku kurang lucu? Kalah gantengkah dibanding Suju? Ini lagi, wajah anakku pun kenapa ikut dihilangkan? Salah apa Anak Kerbau? Dia masih hijau. Belum tahu seluk-beluk rantau. Kalau ketemu, awas kau! Akan kurantai dan kujadikan tapai!
"Sudahlah Kerbau..." suara Kadal mencoba menyadarkan Kerbau yang sesungukan mencoba untuk tak menumpahkan lebih banyak air mata.
"Malu dilihat orang, badanmu tambun tapi gampang sekali air matamu turun..." lanjut Kadal lagi. "Tak elok dilihat orang, kau mantan penguasa. Harusnya kau bisa lebih legawa..." Kadal meneruskan sambil menggoyang-goyang ekornya. Matanya memicing-micing. Tampak sekali liciknya. Rupanya dia sedang menahan kencing. Tapi tak enak hati meninggalkan temannya.
"Ini pasti ulah penguasa yang sekarang, memang lain cara dia bermain. Ini namanya curang. Tak bisa cara lain. Pungguk harus menang!" jawab Kerbau.
"Tapi Pungguk sudah maju tiga kali, tiga kali dia merindukan Bulan, bahkan dulu kau pun mengalahkannya Kerbau, yakin kah kau dia akan menang?" tanya Kadal. Kerbau melengos nafas panjang. Titik air mata masih terlihat di sudut telinganya eh... matanya. (jangan terlalu serius bacanya!)
Tak lama kemudian datanglah Musang. Membawa kabar bahagia, Musang berlari-lari ceria.
"Sudah ketemu..." teriak Musang. "Sudah ketemu pelakunya..."
"Siapa?" Kadal bertanya tak sabar. Ekornya masih bergoyang-goyang. Kencingnya mulai tak tertahan.
"Oknum katanya..." jawab Musang cepat. "Yang paling lucu, katanya ada yang dari kita juga..." lanjut Musang.
"Tidak mungkin... ini permainan, dasar penguasa maunya menang saja..." Kerbau mulai marah. Tapi barisan Kunang-Kunang mulai datang. Cahayanya agak menyilaukan. Barisan Kunang-Kunang adalah barisan media. Bahaya kalau sampai emosi. Tak enak untuk dikabar-kabari. Apalagi kata rakyat hutan nanti, sang Kerbau yang suka emosi? Ah jangan sampai itu yang terliput Kunang-Kunang. Lebih baik jangan terlihat berang.
Kerbau menyurutkan amarahnya. Mencolek matanya sedikit agar setidaknya setitik air mata kembali mengalir.
"Yah... beginilah... saya tidak ada masalah dengan penguasa, tapi sejak saat ini saya akan fokus mendukung Pungguk agar menang..." sedikit komentar Kerbau terujar dan langsung dicatat oleh barisan Kunang-Kunang.
Tapi barisan Kunang-Kunang bukanlah barisan media tanpa pesan. Bukan juga barisan semut pekerja yang dianggap Pungguk pekerjaan hina. Barisan Kunang-Kunang adalah barisan pelita. Mencoba mencerahkan rakyat hutan dengan berita terpercaya. Besoknya tulisan barisan Kunang-Kunang sudah terlihat menghiasi media:
Judulnya... Sang Kerbau yang suka menangis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H