Mohon tunggu...
Willy Sitompul
Willy Sitompul Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja sosial

Hanya pekerja sosial biasa, senang menulis dan membaca. Lihat juga tulisan saya di: www.willysitompul.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen│Persaingan

14 Oktober 2018   14:53 Diperbarui: 14 Oktober 2018   15:08 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: arstechnica.com

Namaku Harrison. Bukan. Aku bukan orang Barat. Orang Indonesia asli. Bapak Jawa, ibu Nias. Jadilah nama itu yang dipilih. Tidak ada nama kedua ataupun nama marga. Namun, karena tuntutan jaman dan situasi maka nama ayahku pun ditambahkan ke namaku. Supaya mudah dalam pengurusan paspor dan tidak perlu menjawab panjang saat ditanya imigrasi. Jadilah namaku Harrison Suyono.

Akhir-akhir ini hidupku mendadak tak teratur. Aku sedang berkompetisi dengan rekan kerjaku untuk menduduki posisi penting di perusahaan dimana aku bekerja sekarang. Kami berdua diberi target dan siapa yang menang, dia yang akan menduduki posisi penting itu. Aku berusaha mengalahkan rekan kerjaku itu dari berbagai sisi. 

Penjualan, belanja, capaian investor, jumlah promosi, jumlah akuisisi, dan lain sebagainya. Banyak sudah yang kukorbankan. Waktu, tenaga, dan kadang uang pun habis karena harus mentraktir anak buah agar mau bekerja di luar jam kerja. Jam tidur semakin sedikit. Entah sudah berapa ratus gelas kopi kuminum selama seminggu ini.

Berhasilkah? Tampaknya memang berhasil. Aku menang sedikit. Tapi rasanya tak sebanding dengan usahaku. Pak Ridwan lawanku itu tampaknya tak butuh usaha sebanyak diriku untuk pencapaian dan kinerjanya. 

Memang sih, aku masih terdepan tapi selisihnya sedikit sekali. Aku sangat khawatir kalau-kalau nanti Pak Ridwan akan melewati segala capaianku dan pada akhirnya dia lah yang mendapatkan promosi itu. Kepala cabang Surabaya. Jabatan prestis. Pimpinan kota besar. Dengan segala fasilitas hebat yang menyertainya. Mobil, rumah, dan mungkin saja seorang sekretaris cantik ha..ha..ha..

Aku harus mencari cara agar jabatan itu jatuh ke tanganku! Tapi bagaimana? Semua cara sudah kutempuh dan Pak Ridwan yang jelas lebih tua dariku itu tetap santai. Dia masih sering tertawa, bersenda-gurau. Seperti tak ada beban. Seperti tak ada persaingan.

Malam itu aku duduk termenung di salah satu caf. Ingin pulang, namun sebagian pikiranku masih ada di kantor. Memikirkan target apa lagi yang harus kucapai. Selagi termenung, aku menangkap sosok yang familiar lewat di depanku. Tunggu dulu! Ya, itu Pak Ridwan. Tapi, hei... siapa perempuan cantik yang menemaninya itu. Perempuan itu tampak menawan, tak sebanding dengan Pak Ridwan yang sudah terlihat menua. Mungkinkah itu anaknya?

Sesaat kemudian tak sengaja pandanganku beradu dengan Pak Ridwan. Dia tampak terkejut dan kaget. Hei... pikirku... jangan-jangan... Ah sudahlah tak baik berprasangka buruk.

Aku biarkan mereka menghabiskan waktu berdua. Tak ingin rasanya mengganggu. Pak Ridwan pun tampak tidak ingin memperkenalkanku pada perempuan itu. Sesekali dia berbicara dengan perempuan itu, pandangannya sesekali pula melihat ke arahku. Mungkin dia tak nyaman aku ada di sini, pikirku. Mungkin takut ketahuan kalau dia seling... ah tak mau aku berprasangka.

Cukup lama waktunya sampai kulihat mereka akan pergi. Dari tingkah laku keduanya, aku semakin yakin itu bukan anak Pak Ridwan. Mereka sangat mesra sekali. Pak Ridwan tampak menggandeng perempuan itu meninggalkan meja. Sesaat kemudian mereka sudah melintas di depanku. Perempuan itu tersenyum saat melewatiku. Manis sekali senyumnya. Pak Ridwan tampak menyuruhnya jalan terlebih dahulu.

"Hai Harry..." sapa Pak Ridwan.

"Hai juga Pak" aku menyahut ala kadarnya.

"Kau tidak akan menggunakan hal ini kan dalam persaingan kita?" lanjut Pak Ridwan sambil melirik ke perempuan tadi yang sedang berjalan ke arah pintu keluar.

"Hal apa Pak" aku pun berbasa-basi. Pak Ridwan tampak tersenyum kecut.

"Ah kau ini Harry... pura-pura tidak tahu"

"Ah tidak Pak..." lanjutku. "Biar kita bersaing kinerja saja Pak"

"Oke... saya permisi ya..." Pak Ridwan menutup percakapan singkat kami malam itu.

Walau sempat ragu, ada perasaan sedikit berkobar-kobar dalam diriku. Mungkinkah menggunakan cara ini untuk mengalahkan Pak Ridwan? Sebelum berpikir lebih jauh, tangan-tangan terampilku dengan cepat mengambil gambar pak Ridwan, tepat saat dia merangkul perempuan itu. Tak hanya satu kali tapi aplikasi pengambilan gambar beberapa kali itupun ternyata sangat membantu dalam situasi genting seperti ini. 

Untung gawaiku cukup bagus. Bisa mengambil foto dari jauh dan kualitasnya masih sangat baik. Tak percuma banyak aku lihat iklan gambar foto yang dihasilkan kamera tipe gawaiku ini di jalan-jalan. Aku pulang dengan rasa menang. Malam ini tampaknya aku bisa tidur nyenyak.

Dan saat penentuan itu tiba...

Pak Ridwan duluan memaparkan hasil kerjanya. Bagus. Tapi aku yakin aku lebih bagus.

Akupun memaparkan hasil kerjaku. Ternyata tipis sekali di atas hasil Pak Ridwan. Mau tidak mau akhirnya aku keluarkan foto Pak Ridwan bersama perempuan cantik itu. Membuat semacam closing statement

"Wah mantap, ini baru namanya persaingan sehat" kata Pak Zadrac bosku. Aku tak mengerti arah pembicaraan bos ku ini. Belum sempat satu kata pun keluar dari mulutku. Tapi dengan tenang aku tetap melanjutkan.

"Yang dibutuhkan selain kinerja yang baik, juga moral yang baik Pak..." aku memasang wajah kemenangan. Semua tampak tersenyum.

"Maksud Pak Harry?" tanya bosku.

"Ya di foto itu Pak. Bisa dilihat apa yang dilakukan Pak Ridwan. Beliau pergi dengan seorang perempuan cantik" lanjutku. Tawa gaduh tiba-tiba memenuhi seluruh ruangan.

"Oalah Pak Harry, itu kan Pak Ridwan dengan istrinya?" lanjut bosku. "Lho, pak Harry tidak datang ya saat Pak Ridwan menikah?"

What? Istri? Tunggu dulu! Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Pak Ridwan di sudut ruangan tampak tersenyum. Tiba-tiba terlintas peristiwa setahun lalu, kami satu kantor datang melayat ke rumah Pak Ridwan atas meninggalnya istrinya. Tiba-tiba terlintas pula peristiwa 3 hari lalu, saat Silvi pegawai admin membagikan undangan pernikahan. Ternyata itu undangan pernikahan Pak Ridwan.

Aku hanya bisa terdiam. Keringat dingin bercampur malu mengalir dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rasanya hendak kabur ke pintu. Tapi kaki ini seperti terpaku. Semakin terpaku rasanya ketika mendengar suara berat pak Zadrac bosku.

"Jadi, kita sudah tahu siapa pemenangnya kan?"

>

>

>

>

Aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun