Mohon tunggu...
Willy setiawan
Willy setiawan Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa -

Anak rantau yang sedang mencari jati diri di tengah kesibukan duniawi, asik. - Makan ga makan asal kumpul.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Difabel dan Minoritas di Tempat Kerja Bukan Masalah

3 Maret 2018   11:09 Diperbarui: 3 Maret 2018   11:40 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dahulu keberagaman menjadi cerita yang cukup menarik untuk di bahas entah di berbagai bidang, khususnya di lingkungan kerja. Masih banyak hal -- hal yang bisa di sebut sebagai masalah "klasik" bagi berbagai pekerja mulai dari karyawan, buruh, maupun pekerja sampingan.

Berbagai kasus yang menguak ke publik mulai dari gender, ras, agama dan lain -- lain akhirnya mencuat. Sebut saja kasus dimana seorang karyawan Google yang berjenis kelamin perempuan membuat memo di mana ia menyebut terdapat lebih sedikit karyawan perempuan disana karena adanya stereotip pembeda di lingkungan kerja.

Setelah hal ini terkuak ke publik  pun akhirnya CEO Google Sundar Pichai angkat bicara dan mengatakan bahwa memo yang biasanya di gunakan oleh para karyawan untuk melakukan komunikasi informal seperti itu dapat merusak kode etik Google. Penyebab nya bukan lain adalah masalah yang mengatakan bahwa kemampuan tiap gender dikatakan berbeda sebagian karena alasan biologis, dan itulah mengapa jarang kita melihat wanita dalam hal perkembangan teknologi.

Baiklah pada tahap yang kita sebut "kemampuan" masing-masing individu memang berbeda, tapi apakah menjadi alasan bahwa kita dapat memberi label suatu golongan tertentu dalam hal performa yang akan seorang ini berikan nantinya? Mari kita lihat lebih jauh lagi.

Tanpa basi -- basi, mari kita langsung ke titik yang paling ekstrim, Cacat Fisik dalam hal apakah tiap tempat kerja dan lingkungan kerja mendukung individu dengan beberapa keterbatasan fisik, seperti penggunaan pembaca layar atau teknologi lainnya .

pada sebuah studi yang dilakukan oleh UK Charity Scope misalnya menemukan bahwa sekitar 2 dari 3 orang merasa kurang dan tidak nyaman berbicara dengan orang cacat, dan lebih dari sepertiga orang cenderung yang berpikir individu dengan cacat fisik tidak seproduktif orang "normal" di tempat kerja. Lebih tinggi dari prasangka terhadap jenis kelamin maupun ras.

Seperti di anak-tirikan banyak fasilitas umum yang seharusnya untuk penyandang cacat, di pergunakan tidak selayaknya oleh orang-orang awam yang memang memiliki tingkat edukasi di bawah rata-rata. Padahal hukum di negara ini telah menyatakan bahwa semua orang dilarang mendiskriminasi penyandang cacat seperti tertulis pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kemudian di pertegas oleh UU No. 4 tahun 1997.

Yang menarik adalah adanya peraturan 1 persen tiap perusahaan yang masih menjadi mitos bagi orang-orang disabilitas, adanya ketimpangan antara kuota dan kebutuhan pasar membuat hal ini menjadi rumit.

Dikatakan pada  berbagai sumber bahwa ketika perusahaan membuka lowongan kerja bagi kalangan disabilitas, tak ada yang melamar, pada satu sisi komunitas penyandang cacat mengatakan tidak ada yang ingin mempekerjakan mereka. Setelah di selidiki ternyata kendalanya berada pada latar belakang tingkat pendidikan oleh penyandang terkait. Memang tidak menutup kemungkinan bahwa banyak perusahaan yang sebetulnya tidak ingin mempekerjakan para '1 persen' ini.

Kembali ke pertanyaan di atas, adakah perbedaan kinerja antara orang cacat dengan individu yang dikatakan normal?, pada sebua studi dari Safe Work Australia dijelaskan, bahwa pekerja dengan cacat fisik lebih jarang bolos kerja dan atau mengalami cidera saat bekerja. Dari itu biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan lebih rendah.

Pada sebuah penelitian oleh sebuah organisasi Pendukung SDM dengan cacat fisik, The Australian Network on Disability (AND) membuka pandangan baru. Dari AND sendiri memberi pernyataan bahwa  Penyandang cacat  nyatanya lebih loyal dan memiliki komitmen tinggi.

Perusahaan yang ingin merekrut individu dengan cacat fisik juga memberi nilai tambah pada perusahaan tersebut, seperti CSR pada umumnya namun memiliki keuntungan berlipat. Contoh kecil juga, Dapat kita melihat sesekali pada berbagai kesempatan maupun acara bahwa individu yang cacat dapat bekerja, sama halnya individu normal meski jarang bukankah hal ini sebagai pembuktian agar perbedaan itu dapat di akui?

Dari Hal seperti inilah dapat kita melihat bahwa keberagaman masih menjadi isu yang orang-orang jarang untuk ungkapkan maupun tidak nyaman untuk di buka, namun menurut penulis sendiri, jika tidak memulai edukasi dari sekarang kapan lagi? generasi selanjutnya maupun yang sekarang, bahkan jarang mendapatkan sosialisasi atau keterlibatan akan isu-isu keberagaman di tempat kerja.

Bahkan di Indonesia sendiri pada khususnya, isu mengenai Agama terbilang mulai menguat lagi, tidak berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya. Namun jika lebih di telaah lagi, dengan perkembangan dan kebutuhan tenaga kerja yang beragam, implikasi 'domino' seperti ini memang dan akan terus ada selama dunia kerja terus di dorong dengan persaingan yang semakin ketat.

Satu pertanyaannya adalah, apakah individu, kelompok, organisasi yang terlibat akan mulai melihat sisi terang dari perbedaan itu? Menarik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun