Mohon tunggu...
Willy Radinal
Willy Radinal Mohon Tunggu... Dosen - Radinalism Opinion

Akademisi dan Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Impor Garam: Kebutuhan atau Kelemahan

18 Juli 2024   09:46 Diperbarui: 18 Juli 2024   11:15 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan negara dengan sebutan negara maritim, yang memiliki wilayah perairan seluas 6.315.222 km2, dan garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan panjang 99.093 km2. Dilihat dari sudut pandang geografis, bahwa Indonesia memiliki potensi sebagai salahsatu produsen penghasil garam terbesar di dunia.

Garam memiliki sejarah panjang dalam penggunannya. Pada zaman kekaisaran Romawi, garam banyak digunakan untuk aktivitas sehari-hari, terutama untuk menyimpan makanan, karena garam dapat berfungsi sebagai pengawet. Pada masa itu, para pedagang sering melakukan perjalanan jauh, sehingga perlu menyiapkan perbekalan yang cukup selama perjalanan. Supaya bahan makanan tidak basi, maka perlu diawetkan menggunakan garam.

Kemudian, selain memiliki fungsi sebagai pengawet, garam juga memiliki manfaat bagi tubuh kita. Di dalamnya terdapat kandungan natrium yang bisa menjaga keseimbangan tubuh kita, selain itu natrium juga bisa membantu meningkatan kecerdasan otak kita. Selain itu, terdapat juga yodium yang bisa mencegah penyakit gondok dan membantu pertumbuhan anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa garam memiliki peranan yang penting dalam eksistensi manusia.

Secara teoritis, Indonesia harusnya mampu menghasilkan stok garam yang melimpah untuk masyarakat. tapi faktanya Indonesia masih melakukan impor garam dengan jumlah yang tidak sedikit. Tentunya, dari kebijakan impor tersebut memiliki dampak postif yaitu sebagai solusi dalam mencukupi kebutuhan garam dalam negeri. Akan tetapi, disisi lain impor juga meninggalkan dampak negatif khususnya pada petani garam.

Berdasarkan informasi Pusat Data dan Informasi Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), dalam lima tahun terakhir jumlah petani tambak garam di Indonesia menurun drastis, yakni dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa di 2016. Hal ini merupakan sebagian dampak dari kebijakan impor garam yang mempengaruhi penurunan jumlah petani garam di Indonesia.

Permasalah impor garam tentu masih menjadi polemik sampai saat ini, baik kebutuhan garam rumah tangga, ataupun industri. Produksi dari petani garam sampai saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan garam di Indonesia, oleh karena itu pemerintah merasa perlu melakukan impor kembali.

Urgensi Impor Garam

Kebijakan impor memang dipicu belum stabilnya produksi petani di dalam negeri. Sejak 2016 hingga sekarang, iklim memang tidak kondusif, menyebabkan produktivitas petani merosot hingga di bawah 90% dari kapasitasnya. Awal 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis data produksi 2016 hanya 137.600 ton, setara dengan 4,6% dari target 3 juta ton.

Selanjutnya, berdasarkan data BPS tahun 2018 bahwa kebutuhan garam dalam negeri itu sekitar 3,7 ton. Dari jumlah tersebut Kementerian perdagangan telah menerbitkan izin impor garam untuk 2,37 juta ton, sedangkan sisanya 1,33 juta ton akan dilakukan secara bertahap hingga akhir tahun.

Dilihat dari data emperik tersebut, bahwa sampai saat ini Indonesia belum bisa menjadi produsen yang mandiri, khususnya dalam produksi garam. Kebijakan Impor ini jika terus berlanjut dapat menjadi pisau bermata dua, yang dikhawatiran dapat memperburuk nasib petani garam. Karena berdasarkan fakta di lapangan, setiap kali garam diimpor pasti selalu diikuti dengan anjloknya harga garam di tingkat petani. Hal ini dapat menimbulkan efek domino,yaitu tidak hanya harga garam petani bisa jatuh dibawah standar, juga tentunya penghasilan petani garam menurun drastis.

Konklusi Impor Garam

Permasalahan impor garam merupakan salahsatu masalah yang kompleks. Dalam hal ini tentu para stakeholder, maupun Kementerian terkait perlu memikirkan langkah-langkah strategis dan berkelanjutan dalam menghadapi situasi ini. Paradigma yang sudah berkembang, bahwa impor garam merupakan solusi instan dalam mengatasi kebutuhan garam. Pertanyaanya adalah "Sampai kapan kita akan membangun narasi dalam memenuhi kebutuhan garam harus dengan impor?" Atau harusnya kita bisa memulai memperbaiki sistem manajemen secara komprehensif, sehingga mampu menaikkan jumlah produksi garam dalam negeri.

Jika melihat lebih dalam, intensitas impor yang dilakukan oleh pemerintah merupakan indikator dari kelemahan ketahanan pangan kita. Impor bukanlah sesuatu yang haram, yang tidak boleh dilakukan sama sekali. Akan tetapi, pemerintah tidak boleh menjadikan impor sebagai senjata yang digunakan setiap saat tanpa pertimbangan panjang. Impor harus menjadi senjata yang eksklusif yang hanya digunakan ketika situasi sudah sangat tidak terkendali.

Garam merupakan salahsatu komoditi yang vital bagi masyarakat Indonesia pada khsusunya, baik itu untuk kebutuhan rumah tangga, maupun industri. Sebenarnya, ada aturan yang telah mengakomodir kepentingan produsen garam di Indonesia, yang tertuang pada ; UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petani Garam. UU ini lahir dengan salahsatunya fungsinya agar petani garam lokal tetap terlindungi di tengah gempuran garam impor. Kemudian, dalam UU ini juga mengamanatkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar menyelenggarakan program perlindungan dan pemberdayaan petani garam.

Program dari UU Nomor 7 tahun 2016, meliputi ; (1) penyediaan sarana dan prasarana usaha, (2) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan, (3) meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani garam, (4) menghadirkan sistem pembiayaan yang mudah diakses, (5) perlindungan dari risiko bencana alam, serta (6) memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum.

Berdasarkan UU tersebut, sebenarnya sudah sangat jelas langkah-langkah yang harus dilakukan. Akan tetapi, kita tahu bahwa karakteristik birokrasi di Indonesia adalah tidak adanya konsistensi dalam implementasi setiap kebijakan. Dapat kita bayangkan jika amanat dari UU tersebut dilakukan secara serius oleh semua pihak, tentu saja dibarengi dengan konsistensi, pastinya para petani garam akan mampu beradaptasi dengan gempuran impor dan modernisasi perkembangan zaman.

Indonesia adalah negara dengan sejuta potensi, yang harusnya mampu mensejahterakan, menguntungkan, melindungi, serta mengakomodir segenap kepentingan dan kebutuhan rakyatnya. Impor adalah opsi yang bijak, jika digunakan dalam memenuhi kebutuhan dalam kondisi yang sangat urgent, bukan digunakan dalam menutupi suatu kelemahan. Dengan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang terintegrasi dengan aturan-aturan atau kebijakan yang pro pada kepentingan rakyat, maka kita akan mampu membangun pasar yang sehat, petani garam yang mandiri, serta mengokohkan stabilitas pangan kita. Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang mandiri, menuju kedaulatan pangan nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun