Mohon tunggu...
Willy Purna Samadhi
Willy Purna Samadhi Mohon Tunggu... Peneliti -

Sempat bekerja di Litbang HU Republika (1998-2004), ia kemudian menjadi peneliti di Demos, sebuah lembaga kajian demokrasi dan HAM hingga 2009. Setelah lulus S1 dari Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, ia memperoleh gelar S2 dari Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta. Saat ini ia terlibat sebagai peneliti pada proyek riset Power, Welfare and Democracy, kerja sama antara UGM (Indonesia) dan Universitas Oslo (Norwegia).

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mempertautkan Demokrasi, Publik dan Kesejahteraan

1 April 2015   09:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Willy Purna Samadhi

Catatan pengantar:

Tulisan ini dibuat untuk menyambut dimulainya proyek riset kolaboratif "Popular Control and Effective Welfarism" (PACER Project) antara Universitas Gadjah Mada (Indonesia) dan Universitas Oslo serta Universitas Agder (Norwegia). PACER Project terdiri atas dua kelompok agenda riset besar, masing-masing bertajuk "Power, Welfare and Democracy" (PWD Project) dan "In-Search of Balance" (ISB Project). Pendanaan proyek ini diperoleh dari Kementerian Luar Negeri Kerajaan Norwegia melalui Kedutaan Besar Norwegia di Indonesia. Penandatanganan kerja sama dilakukan di Yogyakarta pada 28 November 2012.


Proyek berdurasi 5 tahun (2012-2017) ini memiliki sejumlah agenda riset, antara lain: Baseline survey on development of democracy, serangkaian thematic study bertema Citizenship, Welfare, dan Local Regime, serta REDD++ and Climate Change. Di samping riset, proyek ini juga mengagendakan kegiatan peningkatan kapasitas akademik melalui beasiswa dan bantuan riset bagi mahasiswa, serta kegiatan advokasi melalui pembentukan 'epistemic community untuk demokrasi' di seluruh Indonesia.


Penulis menjadi salah seorang periset di dalam proyek itu.

TAK sampai enam bulan lagi, demokrasi Indonesia menggenapi 15 tahun perjalanannya. Penataan kehidupan demokrasi, khususnya pada aspek politik, telah semakin terbentuk. Dalam pergaulan politik internasional, Indonesia semakin sering digolongkan sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Indikatornya adalah membaiknya kinerja institusi demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan sipil dan hak politik, utamanya kinerja dan stabilitas mekanisme sistem elektoral dalam proses sirkulasi kepemimpinan pemerintahan.

Akan tetapi demokrasi bukan semata-mata berkaitan dengan kebebasan politik, apalagi sebatas penataan sistem elektoral. Pengalaman di berbagai tempat dan waktu telah memperlihatkan bahwa sistem demokrasi merupakan alternatif paling efektif bagi pembangunan dan upaya mencapai kesejahteraan. Karena itu, demokrasi juga berkaitan dengan aspek-aspek kebebasan dan hak ekonomi, sosial dan budaya. Keberhasilan demokrasi tidak dapat diukur semata-mata dari keteraturan aspek politik, tetapi juga kebermaknaannya dalam proses dan capaian pembangunan.

Demokrasi adalah sebuah sistem yang berkembang dan dikembangkan bukan saja sebagai alat (instrument) atau cara (means) melainkan sekaligus merupakan tujuan (aims). Demokratisasi, karena itu, merupakan upaya mencapai kehidupan demokratis melalui cara-cara demokratis. Demokrasi tidak dicapai melalui proses non-demokratis, dan penerapan cara-cara demokratis tidak senantiasa berujung pada situasi demokratis.

Sebagai sebuah tujuan, demokrasi diidealkan sebagai sistem yang menjamin keberlangsungan kontrol rakyat (popular control) terhadap urusan publik (public affairs) atas dasar prinsip kesetaraan warga negara (equal rights). Dari pengertian itu, setidaknya ada tiga dimensi yang melekat pada pengertian demokrasi, yaitu kontrol publik, urusan publik, dan kesetaraan warga negara. Pengakuan atas kebebasan politik warga Negara dan perbaikan sistem elektoral baru merupakan sebagian aspek instrumental yang diperlukan, itu pun hanya berkaitan dengan kontrol publik dan kesetaraan warga negara.

Tentu saja pencapaian pada aspek instrumental itu bukan tidak berarti sama sekali. Kemajuan di bidang kebebasan sipil dan hak-hak politik bermanfaat dalam upaya perbaikan mekanisme kontrol publik terhadap kekuasaan. Kebebasan berpartai, mekanisme pemilihan langsung dalam pemilihan kepala daerah dan presiden, serta kebebasan pers, telah berpengaruh positif dalam proses demokratisasi. Seiring dengan itu, perbaikan sistem dan prosedur pemilu (termasuk pengawasannya) mengarah pada perumusan cara-cara terbaik dalam menjamin dan memenuhi hak warga negara seluas mungkin dalam pemilihan umum. Situasinya mungkin masih jauh dari ideal, akan tetapi harus diakui kemajuan itu memang ada.

Meskipun begitu, perbaikan-perbaikan instrumental itu abai terhadap dimensi public affairs. Pengabaian terhadap proses perumusan urusan publik mendatangkan dua akibat yang tidak sederhana.

Pertama, ketegangan vertikal antara pejabat publik yang terpilih secara demokratis dan publik yang memilih secara demokratis. Proses politik pasca-pemilu yang bertumpu pada peran para pejabat publik (public representatives) mengakibatkan kekuasaan untuk merumuskan urusan publik semata-mata terletak di tangan dan kepala para pejabat publik itu. Padahal, tugas dan peran mereka sesungguhnya adalah mengelola, bukan mendefinisikan atau menentukan batas-batas urusan publik. Akibatnya pengelolaan public affairs menjadi sangat elitis dan lebih banyak ditentukan oleh kepentingan-kepentingan para pejabat publik. Istilah “kepentingan publik” lebih banyak merupakan cerminan “kepentingan elit”.

Kedua, ketegangan horizontal antara berbagai kelompok rakyat. Ruang publik yang sempit yang tersisa dari dominasi elit menjadi ajang ‘panas’ bagi kontestasi kepentingan dan idealisme yang berbeda-beda yang melibatkan kelompok-kelompok rakyat. Mereka saling berebut mentransformasikan gagasan dan kepentingan mereka menjadi public affairs, tak jarang melibatkan pula pertentangan antara public issue dan private issue. Di negara-negara yang sudah lebih maju, persoalan publik versus privat ini boleh jadi tidak terlalu menonjol karena sudah ada batasan jelas yang memisahkan keduanya. Kesenjangan pemahaman ini pula yang acapkali menginterupsi proses pembangunan demokrasi kita. Contoh konkret untuk hal ini adalah perdebatan yang demikian panjang menyangkut isu pornografi saat pembahasan RUU Pornografi.

Pada gilirannya, kedua akibat yang muncul dari pengabaian atas dimensi public affairs itu berpengaruh pada ketidakjelasan arah demokrasi yang hendak kita capai. Demokrasi seolah-olah menjadi sebatas aturan main yang memfasilitasi adu kekuatan dan kepentingan tanpa pernah ada kejelasan untuk apa adu kekuatan itu. Kita tampaknya gagal membangun relasi yang logis yang menghubungkan pentingnya kontrol publik dan kesetaraan warga negara di satu sisi, dan kepentingan publik – yaitu kesejahteraan – di sisi lain.

Sudah saatnya kini kita memikirkan dan menyusun ulang agenda demokratisasi dengan lebih mengedepankan aspek pembangunan public affairs dan penciptaan kesejahteraan sembari tetap menjaga capaian-capaian demokratis yang sudah diraih. Pilihan ini jelas jauh lebih baik daripada membiarkan gagasan-gagasan non-demokrasi mengambil-alih kendali politik semata-mata atas janji kesejahteraan yang lebih baik. Bagaimanapun, kebebasan dan kesetaraan warga negara merupakan bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan rakyat.∎

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun