Tentu saja pencapaian pada aspek instrumental itu bukan tidak berarti sama sekali. Kemajuan di bidang kebebasan sipil dan hak-hak politik bermanfaat dalam upaya perbaikan mekanisme kontrol publik terhadap kekuasaan. Kebebasan berpartai, mekanisme pemilihan langsung dalam pemilihan kepala daerah dan presiden, serta kebebasan pers, telah berpengaruh positif dalam proses demokratisasi. Seiring dengan itu, perbaikan sistem dan prosedur pemilu (termasuk pengawasannya) mengarah pada perumusan cara-cara terbaik dalam menjamin dan memenuhi hak warga negara seluas mungkin dalam pemilihan umum. Situasinya mungkin masih jauh dari ideal, akan tetapi harus diakui kemajuan itu memang ada.
Meskipun begitu, perbaikan-perbaikan instrumental itu abai terhadap dimensi public affairs. Pengabaian terhadap proses perumusan urusan publik mendatangkan dua akibat yang tidak sederhana.
Pertama, ketegangan vertikal antara pejabat publik yang terpilih secara demokratis dan publik yang memilih secara demokratis. Proses politik pasca-pemilu yang bertumpu pada peran para pejabat publik (public representatives) mengakibatkan kekuasaan untuk merumuskan urusan publik semata-mata terletak di tangan dan kepala para pejabat publik itu. Padahal, tugas dan peran mereka sesungguhnya adalah mengelola, bukan mendefinisikan atau menentukan batas-batas urusan publik. Akibatnya pengelolaan public affairs menjadi sangat elitis dan lebih banyak ditentukan oleh kepentingan-kepentingan para pejabat publik. Istilah “kepentingan publik” lebih banyak merupakan cerminan “kepentingan elit”.
Kedua, ketegangan horizontal antara berbagai kelompok rakyat. Ruang publik yang sempit yang tersisa dari dominasi elit menjadi ajang ‘panas’ bagi kontestasi kepentingan dan idealisme yang berbeda-beda yang melibatkan kelompok-kelompok rakyat. Mereka saling berebut mentransformasikan gagasan dan kepentingan mereka menjadi public affairs, tak jarang melibatkan pula pertentangan antara public issue dan private issue. Di negara-negara yang sudah lebih maju, persoalan publik versus privat ini boleh jadi tidak terlalu menonjol karena sudah ada batasan jelas yang memisahkan keduanya. Kesenjangan pemahaman ini pula yang acapkali menginterupsi proses pembangunan demokrasi kita. Contoh konkret untuk hal ini adalah perdebatan yang demikian panjang menyangkut isu pornografi saat pembahasan RUU Pornografi.
Pada gilirannya, kedua akibat yang muncul dari pengabaian atas dimensi public affairs itu berpengaruh pada ketidakjelasan arah demokrasi yang hendak kita capai. Demokrasi seolah-olah menjadi sebatas aturan main yang memfasilitasi adu kekuatan dan kepentingan tanpa pernah ada kejelasan untuk apa adu kekuatan itu. Kita tampaknya gagal membangun relasi yang logis yang menghubungkan pentingnya kontrol publik dan kesetaraan warga negara di satu sisi, dan kepentingan publik – yaitu kesejahteraan – di sisi lain.
Sudah saatnya kini kita memikirkan dan menyusun ulang agenda demokratisasi dengan lebih mengedepankan aspek pembangunan public affairs dan penciptaan kesejahteraan sembari tetap menjaga capaian-capaian demokratis yang sudah diraih. Pilihan ini jelas jauh lebih baik daripada membiarkan gagasan-gagasan non-demokrasi mengambil-alih kendali politik semata-mata atas janji kesejahteraan yang lebih baik. Bagaimanapun, kebebasan dan kesetaraan warga negara merupakan bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan rakyat.∎
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H