Tulisan ini memaparkan perkembangan situasi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia pasca-Orde Baru. Manfaat yang ingin diperoleh adalah mengetahui pengaruh demokratisasi terhadap kinerja penegakan HAM.
Paparan yang dikemukakan di sini bukanlah tinjauan dari sudut ilmu hukum – perspektif yang dahulu lebih umum digunakan dalam kajian tentang HAM. Situasi HAM akan dilihat sebagai sebuah capaian (outcome) dari proses politik demokrasi. Cara pandang seperti ini antara lain dipopulerkan oleh David Beetham. Tesis utamanya adalah bahwa kemajuan atau kemunduran HAM menjadi penanda penting capaian demokrasi karena demokrasi mempersyaratkan adanya hak dan kebebasan manusia (warga negara) untuk dapat menjalankan kontrol terhadap pengelolaan kepentingan bersama. Karena itu, Beetham membangun kerangka democracy assessment yang mencakup penilaian terhadap institusi-institusi yang berkaitan dengan HAM.[1]
Tulisan ini menyandarkan diri pada hasil-hasil tiga democracy assessment yang dilakukan oleh Demos dan Universitas Oslo (Demos-UiO) pada 2003/2004 dan 2007, serta oleh Universitas Gadjah Mada dan UiO (UGM-UiO) pada 2013. Ketiga assessment itu menggunakan kerangka yang dikembangkan Beetham dan membuat sejumlah penyesuaian dalam sebagian instrumennya (Priyono dkk. eds. 2007; Samadhi dan Warouw, eds. 2009, pp. 55-59).
Sebagai pemandu perbandingan hasil-hasil dari ketiga assessment, bagian awal tulisan ini akan memaparkan garis besar metoda assessment yang digunakan, khususnya untuk menilai perkembangan situasi HAM.
1. HAM dalam kerangka assessment Demos-UGM-UiO
Secara garis besar, ketiga assessment menggunakan kerangka kerja yang sama untuk menilai situasi institusi-institusi demokrasi, termasuk institusi penegakan HAM. Ada tiga aspek yang menjadi sasaran penilaian, yaitu (1) situasi aktual institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM, (2) kecenderungan perubahan situasi institusi demokrasi dari waktu ke waktu, dan (3) pengaruh aktor terhadap situasi aktual dan kecenderungan perubahan itu.[2]
Penilaian terhadap situasi aktual institusi dilakukan berdasarkan pencermatan atas dua aspek, yaitu kinerja[3] institusi dan cakupannya. Penilaian atas kinerja institusi didasarkan atas kualitas dukungan berbagai perangkat aturan dan regulasi formal yang berlaku terhadap prinsip-prinsip HAM. Misalnya, seberapa kuat perangkat-perangkat aturan dan regulasi formal yang berlaku dapat mendorong pemajuan HAM. Semakin kuat dukungannya, semakin baik kinerja institusi HAM.
Mengenai cakupan, ada dua dimensi yang dinilai. Pertama, dimensi sebaran geografis, yaitu penilaian atas keluasan wilayah keberlakuan perangkat aturan dan regulasi formal yang berkaitan dengan institusi HAM. Kedua, dimensi kedalaman substansi HAM dalam berbagai aturan dan regulasi formal. Misalnya, seberapa komprehensif prinsip-prinsip HAM diakomodasi di dalam berbagai perangkat aturan dan regulasi formal yang ada. Semakin luas sebaran wilayah keberlakuannya dan semakin dalam muatan substansinya, semakin baik cakupan institusi HAM.
Situasi aktual institusi HAM, karena itu, adalah akumulasi kecenderungan penilaian terhadap kinerja dan cakupan aturan dan regulasi formal dalam mendukung prinsip-prinsip HAM. Semakin baik kinerja dan cakupan institusi-institusi yang berkaitan dengan aspek-aspek HAM, semakin baik pula situasi aktual institusi HAM.
Kedua, penilaian atas kecederungan perubahan situasi institusi. Aspek penilaian ini tentu saja didasarkan atas pencermatan kualitatif terhadap perkembangan kecenderungan situasi institusi HAM dalam periode lima tahun terakhir hingga saat assessment dilakukan. Perubahan itu dapat mengarah pada situasi yang membaik, memburuk, atau tidak berubah signifikan (stagnan).
Ketiga, penilaian tentang bagaimana para aktor mempengaruhi institusi HAM. Apakah para aktor cenderung menggunakan sekaligus mempromosikan aturan-aturan dan regulasi yang mendukung prinsip HAM, atau sebatas menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu, atau mungkin pula cenderung memanipulasi dan mengabaikan institusi HAM? Aspek ini penting untuk melihat kapasitas para aktor untuk memanfaatkan struktur kesempatan politik yang ada dalam upaya mempengaruhi situasi aktual institusi HAM.