Mohon tunggu...
Wilya Adisa
Wilya Adisa Mohon Tunggu... Wiraswasta - XBanker, K-Drama Lover, Novel Reader, a Mommy and a Wifey

a Mommy and a Wifey yang sibuk. Meskipun 24 jamnya full dengan kegiatan, tapi entah kenapa jadi banyak overthinking tentang hidup. Sehingga daripada dipendam sendiri mending ditulis di kompasiana.com. Siapa tahu, dari hasil ovt dalam pikirannya bisa jadi inspirasi bagi para pembaca. So, jangan sungkan bertukar ide dan sharing pendapat ya! Biar tambah ovt dan tambah banyak yang ingin ditulis. :D

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Silsilah Keluarga dan Garis Nasab, Pentingkah?

10 Mei 2023   12:55 Diperbarui: 19 Juni 2023   16:23 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://www.pngwing.com/id/free-png-ycxuq

Beberapa bulan terakhir ini saya cukup termenung akan sebuah kisah nyata. 

Ada seorang ibu memiliki anak kandung dari seorang pria. Anak ini lahir dari pernikahan sah secara agama dan negara. Tapi takdir berkata lain, sebelum anak ini lahir, ibu itu bercerai. Dan suaminya tidak diketahui secara pasti tahu atau tidak tentang anak ini. 

Seiring berjalannya waktu, ibu ini menjadi ibu tunggal dan bekerja di sebuah rumah tangga yang kaya. Karena ibu ini rajin, maka juragannya menyayangi anak ibu itu dan mengangkatnya sebagai anak. 

Lalu, ibu ini bertemu dengan seorang pria jejaka. Mereka menikah. Menurut juragannya, anaknya--bayi laki-laki--tidak usah dibawa karena sudah diangkat anak oleh mereka. Jadi, ketika ibu ini ijin mengundurkan diri sebagai pekerja karena akan mengikuti suaminya, anak itu ditinggalkan. Seiring berjalannya waktu, pernikahan kedua ibu ini menghasilkan tiga orang anak. Perempuan, laki-laki, laki-laki. 

Sebagai keluarga kecil yang berjalan dengan bahagia, lambat laun perekonomian mereka pun meningkat. Kembalilah ibu ini pada sang juragan untuk mengambil anak laki-laki pertamanya. Namun, anak itu menolak. Dengan alasan sudah terlanjur nyaman jadi anak angkat sang juragan. 

Tak patah semangat, suaminya yang kedua atau ayah tiri anak laki-laki itu dan adik-adiknya, saudaranya seibu juga ikut membujuknya ikut bersama, tapi tetap ditolak. 

Hingga, akhirnya ibu ini mengangkat anak lain dari seorang wanita miskin. wanita itu meninggal dan ada bayi sebatang kara di dekat kandang kambing yang terlantar. Merasa kasihan, ibu ini mengangkat anak laki-laki ini menjadi anak kelima, dan disusuinya olehnya--katanya--. 

Ketika semua sudah dewasa, anak laki-laki pertama ibu dari pernikahannya yang pertama, tiba-tiba datang kembali kepada ibunya untuk meminta maaf dan memohon diterima kembali. Tapi ibu ini menolak. Anak itu menjadi anak yang terlantung-lantung tak tentu arah, apalagi setelah istrinya dan anak-anaknya meninggalkannya. Entah, sampai sekarang sudah berumur lebih dari separo abad, tidak diketahui secara pasti, dirinya sudah mengetahui apa belum tentang siapa ayah kandungnya yang sebenarnya. 

Sementara anak kedua, ketiga dan keempat telah menikah dan punya kehidupan yang berkecukupan. Begitu juga dengan anak kelima. Karena anak kelima ini sudah masuk kartu keluarga ibu dan suami keduanya, jadi ketika menikah istri dan kedua orang tua istrinya mengetahui ibu dan suami keduanya ini sebagai orang tua dari suaminya/menantunya tersebut. Sampai cucu perempuan yang terlahir dari anak kelima lahir, tetap ibu ini yang diketahui menjadi utinya. 

Dengan kondisi seperti itu, otomatis silsilah keluarga dan nasab dari masing-masing anak sebenarnya berbeda, tapi yang tertulis di kartu keluarga hanya anak kedua sampai kelima. Sementara anak pertama tidak tertulis dengan nama ayah ibu kandungnya tapi dengan juragan tadi. Hal yang sama juga dengan anak kelima, tertulis dalam kartu keluarga ibu dan suaminya yang kedua, bukan dengan orang tua kandungnya. Bahkan bin itu masih tertera di dalam kartu keluarga pernikahan anak kelima ini dengan istrinya. 

Dan ketika suami kedua ibu ini meninggal, waris yang ditentukan anak pertama suami kedua ibu, yaitu anak pertama perempuan ibu, membaginya menjadi lima bagian dan semuanya sama rata. Padahal ada anak pertama yang bukan anak kandung ayahnya dan ada anak kelima yang bahkan bukan saudara sedarahnya. 

Jadi, bolehkah anak kelima dinasabkan pada suami kedua ibu karena ketika mengadopsi anak ini, ibu sudah bersama dengan suaminya yang kedua? Atau perlukah merevisi kartu keluarga kembali? Atau biarkan semua berjalan semestinya, karena menurut si ibu, anak kelima ini meskipun anak adopsi, tidak sedarah tapi lebih berat sayangnya daripada anak pertama yang dititipkannya pada juragan itu. Bahkan berat sayangnya lebih dari anak-anaknya sendiri dari suaminya yang kedua. Karena teringat kasihan saat bayinya anak kelima ini dulu dan menurutnya, yang paling peduli dengannya ketika tua malah anak adopsi ini.  

Sebuah cerita hidup yang complicated ya?

So, apakah yang dilakukan si ibu ini benar? 

Bagaimana dari kacamata negara mengenai status anak dari pernikahan sebelum, anak kandung dan anak adopsi di dalam kartu keluarga?

Bagaimana dari kacamata agama? Di mana di agama islam, nasab adalah hal krusial yang tidak dapat diubah. Darah tetaplah darah. Bahkan riwayat Rasullullah SAW dengan sahabatnya Zaid bin Tsabit tertuang dalam surat Al Ahzab ayat 4, berikut bunyi ayatnya 

مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِى جَوْفِهِۦ ۚ وَمَا جَعَلَ أَزْوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمْ ۚ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَٰهِكُمْ ۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى ٱلسَّبِيلَ

Arab-Latin: Mā ja’alallāhu lirajulim ming qalbaini fī jaufih, wa mā ja’ala azwājakumul-lā`ī tuẓāhirụna min-hunna ummahātikum, wa mā ja’ala ad’iyā`akum abnā`akum, żālikum qaulukum bi`afwāhikum, wallāhu yaqụlul-ḥaqqa wa huwa yahdis-sabīl

Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat mu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Hal ini juga berdasarkan hadits:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ، وَلَمْ يُدْخِلْهَا اللَّهُ جَنَّتَهُ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ احْتَجَبَ اللَّهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ فِي الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ

Artinya: “Perempuan mana pun yang menasabkan seorang anak kepada kaum yang bukan dari kaum tersebut, maka ia tidak mendapat apa-apa (rahmat) dari sisi Allah. Dan Dia tidak akan memasukkan perempuan itu ke dalam surga-Nya."

"Begitu pula laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedangkan dia melihat kepadanya, maka Allah akan menghalangi diri darinya dan Dia justru akan membuka aibnya di hadapan seluruh makhluk, baik generasi awal maupun generasi akhir,” (HR Abu Dawud).

Ada rujukan juga dari ustad Buya Yahya dengan link berikut : 

https://www.youtube.com/watch?v=AL69iQ8UQdc

https://www.youtube.com/watch?v=KVhWiB20F_s

Jadi pentingkah silsilah keluarga dan garis nasab? jawabannya tentu saja PENTING! 

Terlepas rasa sayangnya, atau semata-mayta karena keperluan administrasi sekolah jadi harus memasukkan nama anak adopsi dalam kartu keluarga. Tentu kejujuran dan kelapangan hati menerima fakta yang sebenarnya harus diutamakan. Terlebih lagi bagi anak-anak kandung yang menjadi saksi status sebenarnya tentang nasab dari saudara beda ayah dan saudara beda darah ini. 

Karena mereka pada akhirnya memiliki keturunan-keturunan, nah keturunan-keturunan ini harus dan wajib tahu siapa nenek moyang mereka. 

Jangan karena si ibu mengeluarkan titah, wes kabeh podo ae, podo dulur e (baca : semua sama, sama-sama saudara) lantas, memotong  garis nasab dan mengganti silsilah keluarga yang sesungguhnya pada keturunannya kelak. Terlepas dari rasa manusiawi dan terlanjur sayang, Kejujuran dan lapang dada menerima kenyataan tetap harus diutamakan demi kemurnian garis keturunan dan sesuai anjuran Nabi.   

Ketika kita menikah, secara tidak langsung kita menggabungkan dua keluarga yang berbeda latar belakang, karakter, status sosial ekonomi serta pendidikan. Untuk itu, tidak ada salahnya jika dari awal mengetahui lebih dulu pekerjaannya apa, lulusan sekolahnya, lingkungan tempat tinggal, jumlah saudara dan yang pasti nasabnya.  

Jika, dari awal sudah saling mengenal satu dan lain hal dalam waktu yang lama, mungkin selama proses berjalannya kehidupan pernikahan akan meminimalisir masalah dan mudah menemukan solusi untuk menghadapinya. Namun, jika memang ditakdirkan sat set bertemu jodohnya dan tiba-tiba kaget jika ada sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi, tentu diperlukan kedewasaan dan kesabaran lebih untuk menghadapinya. 

Sebagai keluarga yang baik, informasi dari kedua belah pihak harus diterangkan dengan terbuka dan jujur tanpa menutup-nutupi. Kadang kejujuran memang terasa pahit, tapi lebih pedih jika hidup dalam kebohongan. Terlebih ada anak-anak yang mempunyai hak penuh untuk mengenal nenek moyangnya.  

Semoga kita semua selalu dilindungi olehNya, agar setiap langkah kehidupan yang ditempuh, selalu mendapat banyak manfaat daripada mudharatnya dan selalu berada di jalan yang diridhoi dan dirahmatiNya. Aamiin Ya Robbal Alamiin... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun