Harmoni Pendawan:
WAJAH BARU KONSER GAMELAN
Willyday Namali -- Malang, 23/02/2020
Pada akhir 2020 lalu, pecinta karya seni (lebih khusus skena Karawitan) disuguhkan dengan sajian acara live berdurasi hampir 3 jam. Live stream bertajuk "Harmoni Pendawan" ternyata merupakan kumpulan kerja dokumentasi (audio-visual) dari Sisih Selatan Studio atas karya 5 komposer yang digunakan sebagai syarat kelulusan S1-Karawitan di ISI Yogyakarta. Perlu diketahui, umumnya tugas akhir minat penciptaan di Fakultas Seni Pertunjukan selalu menggunakan pementasan live sebagai puncaknya, namun berbeda dengan tahun ini yang menggunakan seni video sebagai media alternatif untuk pertunjukan seni apapun. Adapun nama-nama dari pengkarya, adalah: Mustika Garis Sejari a.k.a. Kuncung (Kab. Sleman, 1994); Adam Ade Pratama (Kab. Bantul, 1996); Shandro Wisnu A. S. (Kab. Bantul, 1993); Bima Aris Purwandaka (Kab. Bantul, 1996); dan Sahrul Yuliyanto a.k.a. Kepek (Kab. Bantul, 1995).
Kerja serius dari para komposer dan juga koleganya (Sisih Selatan Audio) agaknya sangat disayangkan jika hanya dijadikan pelengkap pada rak-rak perpustakaan digital kampus. Kesempatan ini disikapi secara cerdas oleh tim Sisih Selatan Audio dengan meng-uploud hasil kerja mereka pada channel Youtube dengan kemasan semi-live, yakni kolaborasi antara pemutaran arsip dan dialog terbuka secara langsung. Dihadiri oleh kelima komposer dan rekan terdekat mereka, acara live stream ini menjadi hangat dengan pembedahan karya oleh kreatornya sendiri. Karya-karya yang ada pada live stream "Harmoni Pendawan" akan sedikit diulas penulis, setelah berhasil mewawancarai semua komposer melalui dialog tertutup.
NEMBANG RARAS
Karya pertama pada live stream, yakni "Nembang Raras" yang dikerjakan oleh Kuncung dengan dukungan 6 niyaga (pemain Gamelan). Dalam pemunculan gagasan, Kuncung sangat terobsesi dengan kitab kuno Serat Centhini atau Suluk Tambangraras. Perwujudan "Nembang Raras" tidak semerta-merta apa adanya sesuai alur Centhini, melainkan hanya mengambil salah satu bagian dari kitab masyhur tersebut yang pada akhirnya ditafsir ulang melalui perenungan komposernya.
Dikaji dari aspek estetik, karya "Nembang Raras" sangat banyak memunculkan wirasa halus atau lembut sesuai dengan muatan isi yang diangkat komposernya. Dengan topik 'perjalanan seksual' pada isi cerita, Kuncung cukup berani untuk melakukan penggabungan 2 laras sebagai ikon akustik pada karyanya. Hal ini dapat dirasakan secara kentara pada permainan Gender Barung dan Gender Penerus yang dimainkan dengan menaruh ricikan ber-laras Slendro di depan laras Pelog Bem. Tentu, penyusunan instrumen ini menjadi tantangan tersendiri bagi niyaga yang memainkan Gender double tersebut.
Keunikan lain dari reportoar berdurasi 15'49 ini adalah penggunaan 3 Rebab Jawa berlaras Pelog dengan porsi musikal yang setara, namun dengan penalaan yang berbeda. Penalaan ketiga ricikan itu, diantaranya: Rebab I (Intan di sisi kiri) ber-laras kebalikan dari Rebab klasik, yaitu 2 dan 6; Rebab II (Bagas di tengah) ber-laras 5 dan 1; dan Rebab III (Mira di sisi kanan) dengan penalaan klasik, yaitu 6 dan 2. Reportoar ini juga menggunakan Gong Suwuk laras 1 (Pl.), 1 (Sl.), dan Gong Ageng laras 6 tumbuk (Pl./Sl.). Yang menjadi menarik, ketika ricikan Gong yang lazimnya dimainkan oleh kaum Adam malah dimainkan oleh perempuan, mengingat bahwa laki-laki mempunyai kekuatan lebih yang mampu memunculkan power pukulan lebih baik dari perempuan. Pastinya, komposer memiliki pertimbangan tersendiri secara jelas.
Salah satu aspek penting yang harus diamati adalah jenis gagrak/aliran dan unsur vokal. Secara gagrak, komposer tetap menganut gagrak Mataram (Ngayogyakarta) sebagai landasan untuk pengembangan motif-motif non-klasik. Secara olah suara, komposer memakai teks Suluk Raras milik Bram Palgunadi dengan sedikit gubahan pada motif tembang. Meskipun secara musikalitas gendhing (non-vokal) berbeda dengan karakteristik tembang (vokal) versi asli, namun Kuncung mampu memunculkan lem kuat sehingga gagrak Pesisiran yang digarap Bram tetap terasa kental pada vokal dan justru memperkuat peran ricikan lainnya.
Upaya yang dilakukan Kuncung tentu harus dipandang sebagai keberanian. Pasalnya, untuk mengambil materi dari Serat Centhini sangat dibutuhkan ketelitian dan tentu penuh risiko, mengingat bahwa isi dan makna dari banyak kitab kuno di Jawa masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan.
TOH
Karya selanjutnya berdurasi 12'22, yakni "Toh" dari komposer Adam. Berawal dari kecintaanya terhadap ayam, Adam bermaksud mengangkat fenomena adu ayam ke dalam komposisi Karawitan. Walapun telah banyak komposer yang memakai objek ayam sebagai sumber inspirasi karya musik, Adam tetap yakin bahwa karyanya mempunyai perbedaan khusus perihal muatan isi dan model garapan yang membuat karyanya berbeda dari karya lain dengan topik serupa. Keterangan tersebut juga disampaikan kepada penulis, bahwa komposer bermaksud menyampaikan pesan secara simbolik melalui fenomena adu ayam untuk ditransformasikan pemaknaannya ke dalam fenomena kehidupan sehari-hari sebagai manusia.