Mohon tunggu...
Willy BudimanWinata
Willy BudimanWinata Mohon Tunggu... Penulis - Work Psychologist, Family Advisor, Parenting Author, Co Founder Tanam Benih Foundation

Tulisan saya berlatarbelakang psikologi, yang berkaitan dengan keluarga, pernikahan, parenting, couple relationship, produktivitas, kerja dan karir, manajemen dan pengembangan diri.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

12 Tanda Konflik Orangtua-Anak Tidak Sehat dan Bagaimana Memperbaikinya

5 Agustus 2022   15:00 Diperbarui: 6 Agustus 2022   00:23 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua mengekang anak (SHUTTERSTOCK)

"Kenapa anak saya kelakuannya makin lama makin problem ya? Apa yang terjadi?"

Itu kasus yang sering ditanyakan oleh orangtua.

Atau barangkali yang lebih ekstrim, "Ini ikutin siapa sebenarnya bisa sampai begitu? Kayaknya papa mamanya ga kayak begitu dulu."

Seolah-olah kita menganggap bahwa ini mungkin ada faktor keturunan. Ya, saking buruknya perilaku anak dan diikuti dengan buruknya hubungan orangtua-anak, sepertinya kita mulai berpikir jangan-jangan ini sesuatu yang di luar kendali kita. Karena barangkali memang kita sudah merasa kehilangan kendali atas hubungan kita dengan anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Penn State dan Michigan State yang dipublikasikan pada tahun 2022 menemukan sesuatu yang menarik. 

Depresi dan masalah perilaku pada remaja, kalaupun kelihatannya ada hubungan dengan kondisi orangtua yang juga punya masalah depresi, tapi mekanisme menurunkannya ternyata bukanlah sesederhana soal gen.

Penelitian ini memang berusaha menemukan bagaimana caranya sampai depresi orangtua bisa menurun kepada anak. Apakah semata genetis atau ada penjelasan lain?

Oleh sebab itulah penelitian ini dilakukan pada subjek yang banyak terdiri dari blended family, yaitu keluarga yang terbentuk dari pertemuan duda dengan janda. Artinya, pihak ayah membawa anak dari keluarga sebelumnya dan demikian juga dengan pihak ibu. 

Jadi total anaknya adalah gabungan antara anaknya sendiri dan anak pasangannya. Dengan demikian ada anak yang memang berhubungan darah dan ada anak yang tidak.

Hasilnya, mereka menemukan bahwa orangtua yang mengalami masalah depresi akan mempengaruhi masalah perilaku pada anak saat remaja. Namun cara mempengaruhinya tidaklah semata-mata secara genetis, melainkan lewat kualitas hubungan orangtua-anak. Khususnya hubungan yang berkaitan dengan dinamika konflik orangtua-anak.

Maksudnya, seperti apa situasi dan kondisi pada saat orangtua dan anak mengalami konfliklah yang kemudian mengakibatkan anak remajanya menunjukkan perilaku bermasalah di kemudian hari.

Pertanyaannya, memang seperti apa dinamika konflik orangtua-anak yang berpotensi menghasilkan remaja dengan perilaku bermasalah?

Tujuannya kan supaya kita bisa belajar hal-hal apa yang perlu kita perhatikan pada saat kita berkonflik dengan anak, sehingga kita tidak menghasilkan anak yang nantinya akan mengalami perilaku bermasalah.

Penelitian tersebut menggunakan alat ukur psikologi yang disebut The Parent-Child Relationship Scale, khususnya 12 pertanyaan yang mengukur dinamika konflik orangtua-anak. Alat tes ini diisi oleh orangtua yang diminta untuk menilai kualitas relasinya dengan anak.

Kita akan membahas satu persatu pertanyaannya dan mengambil pelajaran dari 12 pertanyaan tersebut. Dari sana kita bisa mempelajari tanda-tanda adanya dinamika konflik yang tidak sehat di dalam hubungan orangtua-anak.

1. My child and I always seem to be struggling with each other.

Ngomong apapun dengan anak biasanya berakhir konflik. Orangtua dan anak sulit untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Kalau ada perbedaan pendapat, sulit untuk mencari middle ground. 

Artinya orangtua dan anak sudah hampir kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif.  

2. My child easily becomes angry at me.

Anak kelihatannya mudah marah dengan orangtua. Salah bicara sedikit, dia marah. Beda pendapat sedikit, dia juga marah. Diberi nasihat sedikit, langsung anak tidak senang. 

Biasanya ini terjadi karena anak menyimpan kemarahan dan ketidakpuasan terhadap orangtua atas situasi-situasi konflik di masa lalu.

3. My child feels that I treat him/her unfairly.

Anak sering mengungkapkan bahwa ia merasa orangtua memperlakukannya dengan tidak adil. Biasanya penolakan dari orangtua bisa memancing anak untuk merasa demikian. 

Namun apabila anak sangat sering menyatakan hal tersebut, maka sangat mungkin situasi seperti itu umumnya tidak terselesaikan dengan tuntas di mata anak.  

4. My child sees me as a source of punishment and criticism.

Orangtua jarang mengobrol dengan anak di situasi-situasi biasa. Kalau ada sesuatu yang perlu ditegur atau dikoreksi, barulah orangtua berbicara panjang dengan anak. Akibatnya, anak merasa orangtua hanya berbicara untuk memberi hukuman atau mengritik. 

Anak sulit membayangkan bahwa orangtuanya adalah tempat untuk mengobrol, menghabiskan waktu, atau bertanya.

5. My child expresses hurt or jealousy when I spend time with other children.

Anak menunjukkan bahwa ia tersinggung atau marah pada saat orangtua meluangkan waktu atau menunjukkan perhatian lebih untuk anak lain. Ini berlaku tidak hanya untuk teman tapi juga saudara kandungnya. 

Anak merasa kemarahannya diabaikan, yang artinya orangtua tidak memberikan tanggapan yang tepat terhadap situasi tersebut.

6. My child remains angry or is resistant after being disciplined.

Umumnya proses pendisiplinan memang cenderung membuat anak kesal atau marah dengan orangtua. Namun apabila proses tersebut berjalan dengan baik dan masa krisisnya sudah dilewati, maka anak akan kembali dekat dengan orangtua. 

Apabila anak ternyata masih merasa marah terus menerus kepada orangtua, artinya ada dinamika konflik yang tidak sehat pada saat proses pendisiplinan berlangsung.

7. Dealing with my child drains my energy.

Setiap kali orangtua berurusan dengan tingkah laku anak, orangtua merasa sangat kelelahan. Drain out, istilahnya. Seperti hape yang tinggal 5% dan layarnya pun sudah meredup. 

Mengapa orangtua bisa merasa demikian lelah? Artinya orangtua sangat kewalahan dalam menghadapi tingkah laku anak dan konflik dengan anak terasa sangat sulit.

8. When my child is in a bad mood I know we're in for a long and difficult day.

Anak cenderung mudah turun naik suasana hatinya dan orangtua merasa kesulitan untuk menyikapi dan menghadapi situasi anak seperti itu. Sepertinya orangtua kehilangan akal untuk menentukan solusi yang tepat terhadap kondisi tersebut.

9. My child's feelings toward me can be unpredictable or can change suddenly.

Orangtua merasa sulit menebak apa yang sedang dirasakan oleh anak. Bagi orangtua, perasaan anak sepertinya terlalu cepat berubah sehingga orangtua sulit memahami apa dan mengapa anak merasakan demikian.

10. Despite my best efforts I'm uncomfortable with how my child and I get along.

Orangtua merasa sudah memberikan yang terbaik dan mengusahakan solusi yang terbaik dalam berinteraksi dengan anak, tapi tetap merasa ada yang kurang atau ada yang bermasalah di dalam hubungannya dengan anak.

11. My child whines or cries when he/she wants something from me.

Anak hampir selalu memilih untuk merengek atau menangis pada saat ia hendak meminta sesuatu dari orangtua. Sepertinya anak tidak tahu bagaimana untuk menyampaikan permintaan kecuali dengan rengekan. Akibatnya, orangtua merasa anaknya selalu merengek dan tahunya hanya merengek. Ini tentu mempengaruhi cara orang tua berinteraksi dengan anak.

12. My child is sneaky or manipulative with me.

Orangtua merasa anak kerap bersiasat dengan orangtua. Sehingga orangtua merasa perlu sangat berhati-hati setiap kali anak menyampaikan atau meminta sesuatu. Akibatnya, semakin lama anak juga semakin manipulatif, karena merasa tidak dipercaya oleh orangtua.

Ingatlah bahwa daftar ini tidak bertujuan untuk mengukur hubungan orangtua-anak secara kuantitatif. Anggaplah ini lebih sebagai sebagai red flags bagi para orangtua. 

Apabila cukup banyak tanda-tanda tersebut terjadi di dalam keluarga, maka ada indikasi bahwa hubungan orangtua-anak sedang mengarah menjadi lebih buruk dan mungkin orangtua akan menghadapi problem perilaku anak yang lebih signifikan di masa mendatang. Atau mungkin malah sekarang sudah mulai terasa.

Susahnya jadi orangtua adalah semua permasalahan hubungan orangtua-anak solusinya selalu dimulai dari orang tua. Orangtua yang harus gerak dulu. Orangtua yang perlu berubah lebih dulu.

Kenapa?

Karena orangtua sudah pernah tahu rasanya jadi anak, tapi anak tidak pernah tahu rasanya jadi orangtua.
Karena orangtua yang seharusnya punya lebih banyak pengetahuan dan pengalaman daripada anak.
Karena seharusnya orangtua yang menangani anak, bukan anak yang menangani orangtua.

Jadi orangtua bisa mulai dari mana untuk menyehatkan dinamika konflik dan memperbaiki hubungan orangtua-anak?

Berikut adalah 9 hal yang bisa mulai dilakukan orangtua.

1. Menambah waktu bagi anak dan menunjukkan hal tersebut kepada anak.

Bila hubungan orangtua-anak dirasakan sudah memburuk, tentu wajar bila orangtua perlu memprioritaskan hubungan ini dalam aktivitasnya sehari-hari. 

Ini mungkin berarti orangtua perlu mengurangi hal-hal lain demi menambahkan waktu untuk memberi perhatian pada anak. 

Namun itupun biasanya anak tidak akan langsung menyadarinya atau bahkan mungkin mengabaikannya. Oleh sebab itu, orangtua yang perlu lebih proaktif mengajak anak, untuk menunjukkan bahwa ada perubahan prioritas orangtua daripada sebelumnya. Sabarlah memberikan kesempatan bagi anak untuk menyadari dan menerima tawaran dari orangtua.

2. Turunkan ekspektasi terhadap anak sehingga hanya aturan yang sangat esensial saja yang ditekankan.

Aturan timbul karena adanya ekspektasi dari orangtua. Semakin tinggi ekspektasinya akan semakin banyak aturannya. Oleh sebab itu, di dalam situasi hubungan yang sedang kurang baik, maka pertimbangkan untuk mengurangi aturan yang tidak esensial dengan menurunkan standar ekspektasi orangtua. 

Aturan yang sifatnya demi keamanan anak tentu masih boleh diterapkan. Tapi aturan-aturan lainnya mungkin bisa sementara dilonggarkan.

3. Berlatihlah untuk bernegosiasi antara orangtua dan anak, karena aturan yang lebih kurang esensial bisa ditawarkan dalam bentuk negosiasi.

Masih berkaitan dengan poin sebelumnya, aturan-aturan yang sifatnya lebih kurang esensial tetap bisa diterapkan tapi sifatnya adalah menawarkan dan menegosiasikannya dengan anak. 

Tujuannya lebih kepada membiasakan orangtua dan anak mampu bernegosiasi daripada sekadar membuat anaknya mengikuti aturan tersebut. Karena keterampilan bernegosiasi sangat dibutuhkan dalam menyehatkan dinamika konflik hubungan orangtua-anak.

4. Ingat-ingat dan buat daftar perkataan protes anak yang selama ini sering ia nyatakan (mis. mama tidak adil, papa tahunya marah doang, aku ga peduli lagi sama papa mama, kenapa sih mama bawel banget, aku benci adik, dsb).

Hubungan orangtua-anak yang memburuk berkepanjangan biasanya disebabkan adanya tabungan berbagai macam konflik di masa lalu yang tidak terselesaikan. Termasuk perasaan-perasaan anak yang tidak pernah tersalurkan keluar dengan baik dan benar. 

Itu semua tersimpan di dalam batin anak dan keluar dalam bentuk perkataan-perkataan singkat, tapi emosional. Ini yang perlu ditangkap orangtua untuk memahami apa yang ada di dalam batin anak.

5. Perlahan-lahan carilah berbagai kesempatan yang pas untuk membicarakan satu demi satu perkataan tersebut.

Bicarakan satu saja untuk setiap satu kesempatan, lalu tutup dengan permintaan maaf, bukan nasihat. Tujuannya lebih untuk mendengarkan dan mengakui perasaan anak. Kalaupun anak salah memahami situasi, sehingga ia merasa demikian, itu tidak berarti bahwa perasaannya tidak sah. 

Orangtua boleh saja memberitahu bahwa kita tidak bermaksud demikian, tapi tetap kita meminta maaf sebagai tanda bahwa kita menyesali keseluruhan situasi tersebut bisa sampai terjadi.

6. Carilah tahu bagaimana cara yang paling pas untuk anak dalam mendisiplinkan mereka.

Setiap anak beda. Prinsip umum mendisiplinkan sama, tapi cara menerapkannya apabila beda anak beda situasi keluarga tentu beda cara juga. Pelajari prinsip umum dari berbagai sumber, entah itu buku, seminar, kelas-kelas parenting, dsb. 

Lalu tentukan rancanglah penerapannya sesuai dengan situasi keluarga dan kepribadian anak. Berkonsultasilah dengan para profesional apabila butuh bantuan yang lebih spesifik dalam merancangnya.

7. Pertimbangkan untuk membawa anak ke psikolog bila dibutuhkan.

Apabila anak sudah terlihat kesulitan secara emosional dan dampak perilakunya sudah menghambat berbagai hubungan dengan orang-orang di sekitarnya, maka itu barangkali sudah menjadi tanda bahwa anak membutuhkan bantuan konseling atau terapi.

8. Pertimbangkan untuk orangtua menjalani konseling atau terapi bila dibutuhkan.

Dinamika konflik keluarga akan menjadi jauh lebih buruk dan kompleks apabila orangtua atau anak (atau keduanya) punya masalah emosional secara pribadi. Jadi tidak hanya anak, tapi seringkali orang tua juga perlu menyelesaikan dulu masalah emosinya.

9. Luangkan waktu sedapat mungkin untuk beristirahat sejenak dari hiruk pikuk parenting.

Saat anak bersekolah, tidur, kursus, atau bermain dengan teman, mungkin bisa digunakan oleh orangtua untuk berdiam diri atau melakukan aktivitas yang menyenangkan bagi diri. Tidak perlu menunggu waktu ideal, lebih baik sedikit tapi cukup sering frekuensinya setiap minggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun