Judul : Angsa-Angsa Liar
Penulis : Jung Chang
Tebal : 600 halaman
Cetakan Pertama : 1991
Buku ini adalah buku autobiografi yang ditulis oleh penulis kelahiran China, Jung Chang yang sekarang berdomisili di London. Buku ini menceritakan secara rinci pergolakan politik dan kehidupan masyarakat China yang sangat panjang dari perspektif tiga perempuan yaitu neneknya, ibunya dan terakhir penulis sendiri. Disampaikan dengan bahasa narasi yang apik, dinamis dan cepat, tidak bertele-tele langsung membawa pembaca seolah-olah melihat dan merasakan langsung bagaimana kerasnya kehidupan yang dialami masyarakat china semasa pergolakan politik dan pemikiran masyarakat China.
Cerita berawal dari kehidupan Yu Fang (nenek penulis) yang menjadi selir seorang Jenderal Panglima Perang yang berkuasa di Manchuria, bernama Jenderal Xue pada 1924. Dari hubungannya tersebut lahir seorang anak perempuan yang sangat disayangi Jenderal Xue meski cuma anak dari seorang selir yang umumnya tidak dianggap pada zaman itu. Anak perempuan itu diberi nama Bao Qin atau De Hong (1931) yang merupakan ibu penulis.Â
Setelah kematian Jenderal Xue, Yu Fang lari dari istana tempat selama ini ia tinggal membawa serta anak perempuan semata wayang. Ia sudah tidak tahan hidup dibawah kungkungan gaya diktator yang diterapkan di rumah itu, dan ia juga khawatir mengenai nasib anaknya yang mau diambil pengsuhannya oleh keluarga Jenderal Xue. Kemudian ditengah perang sipil yang semakin meluas, De Hong menikah kembali dengan seorang dokter ternama Dokter Xia. Dengan Dokter Xia lah ia baru merasakan kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya meski tak dikaruniai anak lagi. Dokter Xia sangat mencintai dan melindungi Yu Fang dan De Hong.
De Hong tumbuh dewasa pada masa-masa komunis mulai berhasil menyingkirkan Kuomintang dan menguasai sebagian besar wilayah China dan Manchuria. De hong mulai aktif melibatkan diri dalam pergerakan komunis setelah saudara sepupunya Hu di bunuh secara tidak beradab oleh Kuomintang.Â
Ditambah dengan perlakuan dan tindakan aparat pemerintah Kuomintang yang memperlakukan rakyat dan politiknya tidak seperti manusia. Inilah yang membuat De Hong tumbuh menjadi aktivis pergerakan perempuan dan terlibat dalam program-program partai sejak usia sangat muda meski belum menjadi anggota tetap partai. Kemudia ia berkenalan dengan seorang aktivis pergerakan bawah tanah bernama Wang Yu dan lantas ia jatuh cinta pada Wang Yu karena kecerdasan dan militansinya pada partai.
Pada bagian inilah, penulis mengupas secara detail seluk-beluk kehidupan masyarakat Cina di bawah kekuasaan rezim Komunis berdasarkan pengalamannya. Sebagai anak seorang pejabat tinggi partai - ayahnya menjadi gubernur dan ibunya memegang jabatan penting di salah satu departemen - Jung Chang menikmati masa kanak-kanak yang manis dengan segala fasilitas dan kemudahan.Â
Ayah dan ibunya adalah pejabat-pejabat partai yang jujur dengan dedikasi tinggi serta loyalitas total kepada cita-cita partai dan Ketua Mao. Mereka sepenuhnya percaya bahwa Mao akan membawa Cina menjadi sebuah masyarakat komunis yang adil makmur, sama rata sama rasa.Â
Namun, kekuasaan selalu menyilaukan dan membuat lupa diri. Tak ada yang rela kehilangan begitu saja segala kenikmatan yang diberikan kekuasaan kepada para pemegangnya. Kursi empuk kekuasaan membuat terlena yang mendudukinya, sehingga segala cara lalu dihalalkan untuk mempertahankannya. Meskipun harus mengorbankan kawan seperjuangan dan para pendukung setia.Â
Mao yang haus kekuasaan perlahan-lahan menjelma menjadi diktator yang kejam dan bengis. Tanpa segan menyiksa dan membunuh mereka yang dianggap bersalah menurut penilaiannya. Rakyat hidup dalam teror ketakutan terus-menerus.Â
Jung Chang menggambarkan dengan baik sekali situasi dan kondisi masyarakat Cina yang menderita di bawah tekanan rezim komunis itu: krisis ekonomi, krisis pangan dan bencana kelaparan yang membunuh jutaan rakyat tak berdosa, hasut-menghasut serta kekerasan di antara warga dan sesama anggota partai, penyiksaan terhadap warga yang dituduh pengkhianat atau dicurigai sebagai mata-mata, hilangnya kebebasan dan kepemilikan pribadi serta kewajiban-kewajiban tidak masuk akal yang harus dijalankan. Ujung-ujungnya, masyarakat komunis adil makmur, tak pernah terwujud.Â
Di tengah semua tekanan itu, Jung Chang beserta ayah, ibu, nenek, dan saudara-saudaranya menghadapinya dengan tabah dan berani. Moral dan kejujuran mereka yang telah tertempa dengan baik selama ini tak tergerus oleh keadaan yang serba berbalik seratus delapan puluh derajat. Mereka tetap setia pada tujuan perjuangan partai. Yang mulai terasa goyah justru keyakinan mereka pada kepemimpinan Mao. Mereka melihat Mao telah terlalu jauh menyimpang dalam upaya mencapai tujuan itu sehingga membuat rakyat menderita. Dan meragukan Mao berarti sama saja dengan menyerahkan diri untuk dihukum penjara atau disiksa sampai mati. Minimal dibuang ke kamp kerja paksa.Â
Lewat sudut pandangnya berdasarkan pengalaman empiris, Jung Chang menulis sejarah Cina abad ke-20 dengan cara yang sangat menarik. Kalimat-kalimatnya cukup ngepop untuk sebuah novel sejarah, sehingga kita dapat mengikutinya seperti membaca kisah fiksi. Sudah tentu, sebagai satu kisah nyata, perasaan penulisnya amat terlibat di dalamnya dan berkat kemahirannya bercerita, ia berhasil menggugah, menyeret, dan membentur-benturkan emosi pembacanya terutama saat berhadapan dengan bagian-bagian yang tragis dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bagaikan tengah bersaksi, Jung Chang menyingkap seluruh tabir gelap yang selama ini menyelimuti fakta yang sebenarnya terjadi. Dan untuk melakukan semua itu, seseorang membutuhkan keberanian yang besar. Data-data yang ia beberkan disepanjang buku ini telah diakui kebenarannya oleh sejarawan dan penulis China meskipun di awal-awal diterbitkannya edisi mandarin buku ini pada tahun 1994, buku ini di larang beredar di seluruh China Daratan.
Sebagai pelengkap dan data pendukung kebenaran kisahnya, Jung Chang menampilkan 31 foto (hitam putih) dalam buku setebal hampir 600 halaman ini. Bahkan salah satu foto tersebut - foto ibunya - dipakai sebagai ilustrasi cover edisi bahasa Indonesia. Hasilnya adalah sebuah desain sampul yang bagus, berhasil menampilkan kesan yang kuat untuk buku ini.
 Buku ini meraih NCR Book Award pada 1992 dan British Book of The Year Award 1993.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H