Tinggalkan Komik Petruk Beralih ke Koran
H. Mursyid dan Hj. Askanah mulai mempersiapkan  Deros yang sudah mendekat usia remaja agar memiliki masa depan yang lebih baik. Karena keduanya percaya bahwa pendidikan adalah satu-satunya tiket ke masa depan yang lebih menjanjikan bagi Deros.
Setelah lulus sekolah dasar, Bapak Ibunya memasukan Deros ke Pondok Pesantren Attaqwa Bekasi KH. Noer Alie. Â Di sini Deros mulai menebalkan wawasannya, sekaligus menyalakan api pikiran yang konstruktif.
Media bacanya itu pun berubah, dari yang awalnya Komik Petruk bertransformasi ke koran. Niat awalnya adalah berusaha mencaritahu dunia luar lewat kebiasaan barunya itu.
"Saat teman-teman di pesantren baca Kitab Kuning saya malah baca koran. Setiap pagi saya pasti sisihin uang jajan untuk beli koran. Waktu itu koran  harganya sekitar Rp 2000," kenang putra asli Betawai itu, awal mulai membaca koran saat baru menjadi santri.
Teguran Berujung Dewi Fortuna
Waktu terus berlalu, Deros semakin sadar bahwa sesungguhnya yang menginginkan dunia dan akhirat, hendaklah berilmu.Â
Deros kemudian membuat buletin bernama Suara Santri. Tulisan dalam buletin sangat berwarna, tidak sepenuhnya bernuansa Islami. Hal ini membuat Deros ditegur pimpinan pondok pesantren.
Teguran itu tak membuat Deros patah arang, namun semakin mempertebal keyakinannya bahwa kebutuhan manusia terhadap ilmu jauh lebih besar daripada kebutuhan makan dan minum.Â
Jadi baginya ilmu agama dan pengetahun sama-sama dibutuhkan dalam setiap hembusan napas.