Beberapa hari terakhir ini, saya bertemu dengan sejumlah anak muda yang melamar kerja di Kedai Kopi milik saya. Beragam cerita disampaikan di tengah proses interview.
Dari sekitar belasan, ada seorang calon karyawan sebut saja namanya Joni (bukan nama sebenarnya). Ada keunikan. Â Dia menceritakan bagaimana dirinya berjuang di tengah keterbatasan untuk mencari pekerjaan saat badai Covid-19 sedang tinggi-tingginya mengepung belahan dunia termasuk Indonesia.
Berawal dari sehari sebelumnya, saya membuat janjian interview dengan Joni sekitar pukul 10:00 WIB.Â
Saat tiba hari hal tepatnya dari pukul 09:30 WIB, saya sudah menunggu Joni  sembari seruput secangkir kopi pahit.Â
Tetapi mesti waktu sudah menunjukkan pukul 12:30 WIB, Joni tak kunjung tiba. Saya lantas menduga Joni tak mungkin datang dan bermaksud kembali mencari calon pekerja yang lain.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 13:20 WIB,  seorang  pemuda tiba-tiba mengetok pintu rumah, lalu memperkenalkan diri bahwa dia adalah Joni. Dari raut wajah pemuda jangkung berusia 18 tahun itu, terlihat bermandikan keringat akibat sengatan terik panas matahari.
Ternyata, setelah turun dari KRL Joni memilih untuk berjalan kaki dipandu google maps dari gawainya menyusuri jalan-jalan di perkampungan dan tiba di rumah saya.
Padahal, jarak antara stasiun dan rumah saya cukup jauh, tetapi tak ada pilihan lain, Joni memilih berjalan kaki di iringi terik panas matahari. Alasan satu, irit biaya karena terbatas.
Di awal interview, Joni bercerita satu tahun bekerja di sebuah kedai kopi di daerah Bogor. Faktor pandemi ada pengurangan karyawan termasuk dirinya.
Kepada saya, Joni menyampaikan dia anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya seorang pekerja serabutan, sementara sang ibu sudah meninggal sejak dirinya masih kecil.
Orang tuanya hanya mampu menyekolahkan Joni hingga bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), tak bisa melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) lantaran keterbatasan biaya.
Joni berkata sudah berulang kali melamar kerja sebagai seorang Barista di sejumlah kedai kopi yang ada di Kota Bogor. Tetapi, selalu kandas karena ia hanya jebolan SMP.
"Rata-rata selalu mintanya ijazah SMA. Â Saya ada keahlian tetapi ijazah SMA enggak ada cuman tamatan SMP," ungkap Joni saat mengobrol dengan saya.
Begitu mendengar cerita Joni, saya teringat dengan ada kata bijak yang mengatakan seperti ini "Jangan pernah menyerah ketika Anda masih mampu berusaha lagi.Â
Tidak ada kata berakhir sampai Anda berhenti mencoba" ternyata itu ada dalam dirinya.
Setelah lama berbincang dan mengamati attitude, saya memutuskan menerima Joni untuk bekerja.Â
Saya percaya kegagalan berulang-ulang membuat seseorang menjadi lebih berpengalaman. Karena tanpa kerja keras semua kehidupan seakan 'membusuk' alias tak ada artinya.
Pengelaman sederhana ini, menjadi bahan refleksi penulis. Di tengah periode pendek renungan terlintas membandingkan kondisi Joni dengan fenomena yang terjadi saat ini.
Banyak oknum lulusan perguruan tinggi terkemuka di republik ini bahkan jebolan luar negeri ketika dipercaya untuk  menjabat, justru korupsi. Bahkan ada yang tega merampok hak rakyat dalam bantuan sosial Covid-19.
Dari rangkuman penulis tercatat sejumlah pejabat yang notabenenya berpendidikan tinggi namun bermental koruptor dan ditangkap KPK saat pandemi Covid-19.
1. Juliari Batubara
Juliari merupakan  menempuh pendidikan di Riverside City College dan Chapman University di Amerika Serikat. Saat menjabat sebagai Menteri Sosial, dia terjerat kasus korupsi pengadaan paket bantuan sosial (bansos) Covid-19 wilayah Jabodetabek tahun 2020.
2. Edy Prabowo
Edy diketahui mengenyam ilmu pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Moestopo. Pada 25 November 2020 dini hari, Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan ditahan bersama istri dan kedua stafnya oleh penyidik KPK atas dugaan kasus korupsi ekspor benur setelah lawatan kunjungan kerja ke Amerika Serikat.
Dia diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan 100.000 dollar AS terkait izin ekspor benih lobster.
3. Azis Syamsuddin
Azis Syamsuddin jebolan  S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Jakarta (1989--1994), S-1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta (1993). S-2 Master of Applied Finance Universitas Western Sydney, Australia (1995--1998). S-2 Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung (2001--2003), dan S-3 Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung (2004--2007)
Wakil Ketua DPR RI itu  menjadi tersangka dalam dugaan suap Robin Pattuju. Dia ditengarai memberikan uang sebesar Rp 3,1 miliar untuk mengurus kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Tengah tahun 2017 yang ditelisik KPK.
4. Dodi Reza Alex Noerdin
Riwayat pendidikan Dodi S-1 Universite Catholique de Louvain, Belgia (1996). S-2 Universite Libre de Bruxelles, Belgia (1997), Fellowship Sloan School Of Management Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, USA (2010).
Bupati Musi Banyuasin itu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK setelah terjaring dalam rangkaian operasi tangkap tangan pada Jumat (15/10/2021). Perkara ini diduga  terkait suap proyek infrastruktur di kabupaten tersebut.
Semoga ke depan kedudukan yang enak tidak diambil atau diisi hanya oleh orang-orang yang pandai korupsi. Masalah rasuah itu sudah menjadi tumor ganas yang perlahan menggerogoti tubuh bangsa ini.Â
Butuh obat yang ampuh untuk membunuh sel-sel canser tumor ganas itu. Sebab bila dibiarkan bakal berbahaya. Untuk itu, seorang pemimpin mestinya republiken sejati, berhati pelayan yang terpenting takut akan Tuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI