"Kamu mau gak jadian denganku?
Dengan hati yang berbunga-bunga, Leah ingin mengangguk tapi ada sedikit keraguan berkecamuk di pikirannya. Dia berpikir bahwa dirinya masih muda dan Leo belum punya pekerjaan. Sekolah tingkat SMU saja belum lulus. Kok mau jadian dengannya.
Tapi Leo adalah lelaki yang ditaksir nya selama ini. Pikiran untuk menerima dan menolak tampaknya sulit diputuskan pada detik itu. Namun karena Leah terbawa suasana bahagia, dia akhirnya mengangguk dengan tersenyum kecil petanda menerima jadian.
Nah ceritanya sampai di sini saja yah. Hahaha.
Dari kisah singkat tersebut kita bisa melihat bahwa anak remaja lebih sering mengambil keputusan berdasarkan dari apa yang mereka senangi dan ketika emosinya sedang tinggi. Bahkan mungkin kita sebagai orang dewasa juga.
Mereka tidak menyadari bahwa ada tanggung jawab dan kewajiban dalam suatu hubungan. Termasuk dalam hal berpacaran.
Makanya akan lebih baik jika mereka mengambil suatu keputusan atau langkah ketika mereka tidak sedang dikuasai oleh emosi yang kuat. Emosi itu bisa berupa perasaan bahagia, sukacita, exciting, sedih, kecewa, dan amarah.
Dari keputusan yang diambil pada saat kita dikuasai emosi yang terlalu berlebihan, ada kemungkinan bahwa keputusan tersebut kurang tepat dan bisa berakhir pada penyesalan.
Dalam proses tersebut ada kemungkinan munculnya situasi yang disertai pergolakan batin. Itulah konsekuensi akibat dari mudahnya mengajak jadian dan putus. Apalagi jika tidak disertai oleh edukasi tentang kedewasaan perilaku dan emosi.
Jadi lebih baik anak remaja diperkenalkan sedini mungkin tentang tanggung jawab dan kewajiban dari suatu hubungan.
Kita tidak mau kalau anak kita membuat anak orang lain patah hati atau malah anak kita yang patah hati. Hal tersebut bisa menyebabkan hal yang serius ke depannya.