Seperti yang kita ketahui dari pernyataan Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi yang meminta sekolah untuk tidak membebani PR terhadap siswa.
Menurutnya, PR jangan sampai membebani anak-anak. Kendati demikian, ia mengganti PR untuk kegiatan pembentukan dan pertumbuhan karakter para siswa.
Namun jika sampai ada PR untuk para siswa, ia menghimbau sekolah agar PR yang diberikan jangan terlalu berat dan terlalu banyak. Jadi dari sini PR sekolah masih bisa diberikan, namun porsi dan bobotnya dikurangi.
Pernyataan tegas dari Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi tentang hal itu juga ditegaskan kembali oleh Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya Yusuf Masruh. Ia mengatakan keseriusan pihaknya untuk mengurangi beban siswa.
Menurutnya, ada tambahan dua jam ekstra di sekolah dari pukul 12.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB. Dua jam ekstra tersebut dinilai sangat efektif bagi siswa untuk mengembangkan bakat setiap siswa.
Itulah pernyataan ringkas dari apa yang dipertegas oleh Pak Eri Cahyadi dan Pak Yusuf Masruh perihal meniadakan PR bagi siswa. Mereka mengganti PR dengan program pembentukan karakter siswa agar mereka lebih aktif, mandiri, dan berani memberikan pendapat untuk menciptakan rencana pengetahuan siswa.
Bisa jadi nantinya program tersebut akan memunculkan sumber daya manusia yang berkarakter aktif, independen, terbuka, memiliki visi dan misi hidup yang lebih terarah.
Kendati demikian, pada penulis dan para orangtua yang sempat bersekolah, pastinya pernah dan sering dibebankan PR oleh guru dan sekolah.
Jika kita lihat ke belakang pada zaman generasi-generasi sebelum ini, lamanya jam sekolah sangatlah minim. Katakanlah masuk sekolah pukul 07.00 pagi sampai 12.00 siang. Hanya kisaran lima jam di sekolah.
Dari lima jam tersebut, sudah layak para siswa mendapatkan PR. Penulis ingat sekali khususnya sewaktu masih duduk di  SD dan SMP, PR rasanya tidak pernah selesai. Selalu saja ada setiap harinya sesudah selesai pulang sekolah.