Namun sejak masuk SMU, jam sekolah diperpanjang sampai pukul 14.30 siang. Dan dua jam setengah itu tidak ada yang namanya ekstrakurikuler untuk pembentukan karakter atau bakat. Dua jam setengah hanyalah diisi oleh mata pelajaran lainnya yang umum. Tapi memang PR hampir tidak pernah ada sejak saat itu.
Dan terus terang, penulis pada saat itu sangat rindu untuk diberikan PR sebagai tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan di rumah. Ekstra dua jam setengah di sekolah sebenarnya merupakan beban bagi penulis dan penulis yakin bahwa semua siswa juga merasakan hal tersebut saat itu.
Penulis saat itu kangen untuk  mengerjakan PR di rumah yang suasananya jauh dari keramaian kelas.
Dari PR itulah, penulis belajar berbagai hal seperti:
1. Manajemen waktu.
Penulis belajar mengatur waktu kapan harus mulai mengerjakan PR dan kapan harus selesai. Mungkin kita saat itu tidak sadar bahwa kita sedang belajar untuk mengatur waktu. Yah ini satu poin yang penulis dapati dari PR.
2. Mana yang lebih penting.
Penulis belajar untuk memprioritaskan hal-hal yang paling utama untuk dikerjakan. Dari banyaknya PR, penulis menyortir mana yang deadline nya lebih awal, bisa ditunda satu hari, dan seterusnya.
Dari sana penulis memprioritaskan yang harus selesai dahulu. Meskipun awalnya agak rumit, tapi inilah yang akhirnya dipelajari dan didapati dari PR.
3. Menentukan seberapa paham pelajaran di kelas.
Penulis bukanlah murid yang terpandai di kelas. Meskipun menyimak guru ketika memberi penjelasan, kadang-kadang tidak langsung dipahami. Nah PR yang diberikan oleh guru akan menjadi titik tolak ukur bagi penulis dalam hal seberapa pahamnya pelajaran yang baru saja diberikan di kelas.