Mohon tunggu...
Willi Andy
Willi Andy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup dengan cinta dan kasih sayang

Berjuang dengan sungguh-sungguh tanpa lelah dan penuh perhatian

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kiat agar Tidak Terjadi Quiet Quitting vs Quiet Firing di Dunia Kerja

23 September 2022   15:08 Diperbarui: 24 September 2022   06:30 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Quiet Quitting vs Quiet Firing". Kalimat yang sangat terkesan agak "strong".

Quiet Quitting awalnya memang adalah suatu filosofi tentang tindakan bekerja yang seperlunya sesuai jobdesc. Tidak melebihi kompensasi dan aspresiasi atasan atau perusahaan di mana seorang bekerja.

Filosofi ini diangkat kembali dan menjadi suatu tren yang hangat untuk dibahas dan bahkan diterapkan oleh para pekerja.

Dan belakangan ini artinya menjadi berubah. Artinya menjadi "Diam-diam untuk berhenti atau berencana untuk berhenti dari pekerjaan yang sekarang digeluti". Tentu ini sah dan wajar saja.

Quiet Quitting (dalam makna yang sesungguhnya) sebenarnya memiliki banyak kelebihan dan manfaatnya. Apalagi jika kita bekerja di perusahaan yang besar. Di mana sistem manajemen dan pola kerja sudah terbentuk dan terstruktur dengan rapi dan baik.

Penulis memiliki pengalaman tersendiri sewaktu bekerja di perusahaan yang seperti itu. Penulis bekerja sesuai dengan posisi, jobdesc dan waktu yang sudah ditentukan.

Pada saat pertama kali penulis mulai kerja di sana beberapa bulan, penulis suka membantu rekan kerja dari departemen yang berbeda. Penulis membantu mereka setelah tugasnya selesai.

Ini adalah inisiatif dari penulis sendiri untuk membantu. Beberapa kali penulis bekerja lewat waktu yang telah ditentukan karena membantu rekan kerja. Seharusnya penulis sudah clock out jam enam pagi tepat tapi karena membantu rekan, maka clock out menjadi ekstra setengah jam.

Apakah saya melakukan hal yang baik dan benar saat itu? Tentu saja itu baik tetapi belum tentu benar di mata atasan atau perusahaan tersebut.

Jika waktu ekstra saya dihitung, maka saya seharusnya mendapatkan gaji melebihi standar tetapi penulis hanya mendapatkan gaji yang sesuai dengan waktu yang sudah disepakati di awal interviu kerja.

Penulis mencoba berkomunikasi dan komplain bahwa seharusnya ada bayaran yang lebih karena memang kerja ekstra.

Namun mereka mengatakan bahwa penulis seharusnya sudah clock out jam enam pas, titik. Dan jika mau membantu, silakan saja tetapi tidak disarankan dan tidak dibayar.

Dari sana penulis tahu bahwa perusahaan juga mengharapkan para pekerja atau karyawan clock in dan clock out tepat waktu. Kecuali jika ada permintaan dari atasan atau perusahaan untuk overtime. Biasanya adalah satu sampai dua jam lamanya dan itu dibayar dengan overtime pay.

Secara sadar atau tidak sadar, perusahaan besar yang memiliki manajemen yang terstruktur dengan rapi dan baik mengharapkan para karyawan menjalankan filosofi Quiet Quitting (dalam arti yang sesungguhnya).

Hanya saja perusahaan yang tidak seperti itu, sangat mengharapkan karyawan mereka untuk selalu kerja, kerja dan kerja. Biasanya kalau karyawan melebihi waktu dan kuantitas kerja, mereka menganggap itu adalah karyawan yang terbaik.

Dan perusahaan seperti itu umumnya dapat ditemukan dalam suatu perusahaan keluarga. Perusahaan keluarga seperti itu tidak memiliki sistem manajemen yang terstruktur dengan baik dan rapi.

Mereka lebih banyak menuntut karyawan untuk bekerja lebih keras tanpa suatu aspresiasi dan rewards. Tetapi tentu saja tidak semua perusahaan keluarga atau pribadi seperti itu.

Inilah yang banyak penulis temukan secara riil sewaktu masih berstatus sebagai karyawan di perusahaan keluarga ataupun perusahaan besar.

Lalu bagaimana dengan Quiet Firing? Quiet Firing merupakan filosofi baru yang muncul akibat dari para karyawan yang ingin Quiet Quitting (dalam arti yang baru).

Quiet Firing menjadi pilihan perusahaan untuk membuat karyawan keluar dengan sendirinya. Mereka tidak memberikan promosi posisi dan kenaikan gaji. Tidak ada proyek tambahan untuk karyawan, tidak ada dukungan, dan masih banyak hal lainnya yang membuat karyawan merasa tidak dihargai dan didukung lebih lanjut.

Hal tersebut membuat karyawan ingin berhenti bekerja dari sana dan tidak akan kembali lagi.

Quiet Firing merupakan suatu tindakan yang tidak profesional dari atasan atau perusahaan. Ini menunjukkan ketidakdewasaan dalam hal kebijaksanaan atau keputusan dari atasan atau perusahaan.

Jika perusahaan ingin karyawan bekerja seoptimal mungkin, mereka seharusnya menyampaikan performa karyawan yang tidak sesuai target secara langsung melalui suatu miting perusahaan. Mereka bisa memberikan data performa secara jelas dan lengkap.

Dari kasus yang disebutkan sebelumnya, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan untuk mencegah Quiet Quitting vs Quiet Firing yang menyebabkan toksis baru di dunia kerja.

Bagi karyawan hendaknya:

1. Bekerja dengan sunggu-sungguh, tekun dan bersemangat. Memiliki performa yang dinamis, aktif dan bermutu sewaktu bekerja di tempat kerja.

2. Rajin dan tepat waktu. Tidak keluar jalur dari jobdesc. Jika ingin membantu rekan kerja dan kerja ekstra harus dengan sukarela.

3. Memiliki komunikasi yang baik dengan rekan kerja, ketua tim, supervisor, atasan, dan perusahaan. Sampaikan keluh kesah, usulan dan permintaan secara baik dan profesional.

4. Senantiasa menawarkan diri dalam kesempatan yang ada untuk suatu proyek. Proyek yang dikerjakan dan diselesaikan dengan baik dan benar akan memberikan poin besar di mata perusahaan.

5. Selalu memiliki motivasi yang memotivasi performa kerja. Pasanglah foto diri sendiri, orangtua, pasangan, anak-anak, dan apa saja yang bisa memberikan kita motivasi kerja.

6. Mindfulness. Latih pikiran dan konsentrasi kita agar bisa fokus dengan apa yang kita kerjakan di tempat kerja. Latih mindfulness dengan bermeditasi. Meditasi dengan memperhatikan objek yang netral agar pikiran lebih terkonsentrasi dan tenang. Banyak karyawan di perusahaan besar melakukan hal ini.

7. Selalu bersyukur dan berterima kasih. Lakukan hal tersebut karena kita masih memiliki sumber penghasilan dan kita masih dihargai oleh perusahaan. Banyak di luar sana yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan sulit membiayai hidup karena jobless.

8. Rasa malu. Rasa malu ini adalah rasa malu terhadap hal yang mengarah ke hal positif seperti bagaimana jika kita bekerja tidak benar dan malas. Pastinya akan dipergunjingkan oleh rekan kerja dan perusahaan. Ini akan mengarahkan kita ke hal yang positif dan tetap bekerja dengan baik.

9. Sabar dan rendah hati. Kesabaran untuk menahan keadaan dan lingkungan kerja yang penuh dengan tantangan membuat mental kita semakin kuat. Rendah hati membuat kita tidak merasa sombong dan selalu introspeksi diri.

Bagi atasan atau perusahaan hendaknya melakukan:

1. Manajemen yang profesional. Semua sistem kerja ditata dengan rapi dan terstruktur. Jobdesc, waktu dan gaji yang jelas. Jika karyawan kerja overtime, gaji pun harus ekstra.

2. Beri aspresiasi dan rewards untuk karyawan yang bekerja dengan baik dan melebihi target. Adanya employee of the month, bonus proyek, bonus tahunan, makan siang yang gratis untuk karyawan setiap hari atau kapan saja secara rutin. Acara makan bersama, pesta perusahaan, dan masih banyak hal lainnya.

3. Adil. Memperlakukan semua karyawan secara adil dan sama rata. Jika ada proyek, maka bisa diumumkan secara terbuka bagi semua karyawan. Mereka yang ingin mengambil proyek bisa diberikan sesuai keterampilan dan kapasitas mereka.

4. Komunikasi yang baik. Lakukan miting setiap dua minggu atau setidaknya setiap bulan. Di sana bisa diutarakan performa para karyawan. Menyampaikan kembali misi dan visi perusahaan. Ajak diskusi dengan karyawan. Dengarkan mereka dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.

5. Tidak semena-mena atau memperlakukan mereka secara tidak wajar. Jangan paksa mereka bekerja melebihi kapasitas mereka. Jika mereka letih, berikan mereka waktu untuk beristirahat.

6. Memberikan contoh yang baik terhadap para karyawan. Mulai dari datang ke kantor tepat waktu, berbicara yang baik dan sopan, ulet, fokus, bekerja dengan sungguh-sungguh, dan rendah hati.

Nah dari kiat-kiat yang disebutkan penulis, hendaknya diterapkan oleh atasan dan karyawan.

Niscaya hubungan baik antara atasan dan karyawan dapat terjalin dengan baik demi mendapatkan hasil yang maksimal sesuai visi dan misi semua pihak.

****

Ditulis berdasarkan pengalaman diri sendiri ketika bekerja dan melalui pengamatan di berbagai perusahaan, dan sejak memulai bisnis sendiri.

Penulis: Willi Andy untuk Kompasiana.
September 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun