Seandainya si anak kucing dapat berbicara. Dia pasti akan berbicara.
“Berikanlah saya makan. Saya sangat kelaparan sejak kemarin. Kasihanilah saya. Saya adalah seekor kucing yatim piatu.”
Pikiran si Eko semakin berkecamuk sedangkan perut dia sudah berbunyi dan minta untuk diisi mi ayam favoritnya.
Tangannya sedikit gemetar menahan lapar sejak dia mulai bekerja di kantor. Dia ternyata lupa untuk sarapan pagi itu, dikarenakan terlambat bangun pagi dan terburu-buru mengejar bus.
Suara anak kucing mengeong semakin kencang di telinga si Eko. Belum lagi anak kucing tersebut terlihat lemah dan gemetaran seperti tangan Eko. Tapi fisik anak kucing tersebut lebih lemah dibandingkan dirinya.
Akhirnya si Eko hatinya tergerak, dia berpikir.
“Rasa lapar ini begitu mengganggu dan tidak menyenangkan bagiku, ini pasti juga terjadi dengan anak kucing tersebut.”
Dia berpikir lagi.
“Ya sudah, saya berkorban saja. Daging ini untuk dia dengan sedikit mi dan saya akan makan mi dan sayur saja.” Sambil dia berkata dalam hati.
Dia mengambil sendok dan menyendok semua daging ayam ke sebuah piring kecil bekas tatakan mangkuk mi. Dia berikan kepada anak kucing yang terlihat bahagia begitu mendapatkan makanan dan langsung makan dengan lahapnya.
Sekarang mereka berdua makan. Meskipun Eko tidak kenyang sepenuhnya, dia sudah merasakan kebahagiaan yang mendalam. Kebahagiaan dalam memberi meskipun itu terhadap seekor anak kucing.