Bahasa Dayak Kanayatn hanyalah salah satu dari sekian banyak rumpun bahasa Dayak yang dituturkan oleh masyarakat suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan. Secara fisik, suku Dayak berciri kulit kuning langsat, berambut hitam lurus dan secara umum hampir menyerupai orang Tionghoa.Â
Ciri khusus suku Dayak yang paling banyak dikenal luas salah satunya adalah ciri yang melekat dari tradisi kebanyakan suku Dayak Iban yang memiliki tradisi memakai anting-anting berbentuk bulat terbuat dari logam yang beratnya cukup untuk menyebabkan ujung telinga pemakainya menggantung ke bawah biasanya sampai sebatas dada. Konon tradisi ini menampakkan keanggunan, kecantikan dan kehormatan si pemakainya.
Secara geografis rumpun bahasa suku Dayak Kanayatn dituturkan oleh masyarakat Dayak yang berdiam di beberapa Kabupaten di Kalimantan Barat seperti yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, namun tidak menutup kemungkinan terdapat pula penyebaran di Kabupaten-kabupaten lainnya di Kalimantan Barat.
Bagi penduduk suku Dayak Kalimantan Barat, bahasa Dayak Kanayatn juga dikenal sebagai bahasa pemersatu rumpun suku Dayak yang tinggal Kalimantan Barat karena hampir semua sub suku Dayak Kalimantan Barat mengenal dan dapat berkomunikasi dengan menggunakan dialek bahasa Dayak Kanayatn. Dialek bahasa Dayak Kanayatn sendiri masih terbagi lagi menjadi beberapa dialek lainnya sesuai dengan pengucapan dan logat khas di tiap-tiap tempat ataupun di desa dimana bahasa tersebut dituturkan. Dialek Ba Ahe dan Ba Damea adalah dua di antara dialek yang dapat ditemukan dalam rumpun bahasa Dayak Kanayatn yang dituturkan oleh masyarakat suku Dayak yang tinggal di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Usaha untuk melestarikan bahasa Dayak Kanayatn dialek Ba Ahe Ba Damea di Kalimantan Barat memang terbilang bukan hal yang mudah karena selain faktor geografis, tantangan lainnya disebabkan juga karena di beberapa tempat tidak banyak lagi mereka yang menuturkan bahasa tersebut secara lengkap. Dapat dikatakan bahwa telah banyak suku-suku kata asli dalam bahasa Dayak Kanayatn dialek Ba Ahe Ba Damea yang mulai hilang.
Berangkat dari keprihatinan yang mendalam atas bahaya punahnya bahasa leluhur tersebut yang dirasa mulai terkikis oleh zaman juga dirasakan oleh Paran, seorang Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kalimantan Barat tepatnya di Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang yang juga berasal dari golongan suku Dayak Kanayatn. Dengan segala keterbatasan yang ada, bertahun-tahun ia terus menggali dan mengangkat kembali butiran-butiran kata dalam bahasa Dayak Kanayatn Ba Ahe Ba Damea untuk disatukan dalam sebuah buku dengan harapan bahasa daerahnya tersebut masih dapat dikenal dan juga dituturkan oleh para generasi penerus khususnya generasi penerus suku Dayak Kanayatn yang sekarang sudah tersebar luas.
Berkat kerja kerasnya selama bertahun-tahun menggali dan menemukan setiap suku kata yang hampir punah dari bahasa Dayak Kanayatn dialek Ba Ahe Ba Damea dan melalui kerjasama dengan Penerbit buku lokal di Kalimantan Barat maka pada tahun 2015 yang lalu akhirnya berhasilah diterbitkan sebuah Kamus Bahasa Dayak Kanayatn – Indonesia Dialek Ba Ahe Ba Damea dengan jumlah halaman 563 lembar dan memuat lebih dari 10.000 butiran-butiran kata dalam bahasa Dayak Kanayatn dialek Ba Ahe Ba Damea yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dilengkapi dengan petunjuk pengucapan dialek Bahasa Dayak Kanayatn yang khas agar bahasa ini dapat terus lestari dan dituturkan oleh generasi penerus.
Salah satu sumber katalog bahasa-bahasa di dunia Ethnologue (2016)Â mencatat bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara penutur ragam bahasa daerah paling banyak di dunia. Hal ini dapat dilihat dari Ethnologue (2016)Â yang menunjukkan bahwa dari 7.097 ragam bahasa yang dituturkan di seluruh dunia saat ini terdapat 707 ragam bahasa di antaranya dituturkan di Indonesia. Hasil ini tidak berbanding jauh dari dokumentasi yang dilaporkan oleh Summer Institute of Linguistic (SIL)Â yang mencatat bahwa terdapat setidaknya 746 ragam bahasa daerah ditututkan di wilayah Indonesia saat ini.
Di samping itu terdapat pula usaha berkepanjangan yang terus dilakukan untuk menyelamatkan bahasa daerah dari ambang kepunahannya. Di Indonesia sendiri menurut seorang ahli bahasa, Moseley,dalam bukunya yang berjudul Atlas of The World’s Language in Danger ia menemukan bahwa saat ini terdapat 146 bahasa daerah yang terancam punah, sementara itu tercatat sebanyak 12 ragam bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah.
Pada era modern seperti sekarang ‘tempat’ bagi bahasa daerah dirasa mulai tergerus oleh zaman. Image menggunakan bahasa daerah pun dianggap sedikit ‘udik’ dan ketinggalan zaman. Salah satu penyebab punahnya bahasa daerah di suatu tempat adalah dikarenakan oleh bahasa tersebut tidak lagi dituturkan dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu faktor penyebab lainnya adalah karena para penutur bahasa daerah tidak lagi mengajarkan bahasa daerah kepada generasi penerusnya. Literatur-literatur dan kepustakaan berbahasa daerah pun masih jarang ditemukan dalam rangka mengabadikan bahasa daerah dari generasi ke generasi.
Usaha untuk melestarikan bahasa daerah yang merupakan bagian dari warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya ini telah pula dilakukan oleh Badan Bahasa Pendidikan dan Kebudayaan yang terus melakukan pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia untuk menyelamatkan bahasa-bahasa daerah yang hampir punah. Salah satunya adalah dengan upaya memasukkan pelajaran bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan atau sebagai Muatan Lokal di sekolah-sekolah agar dapat diperkenalkan dan diajarkan kepada generasi mendatang.
Dalam upaya pelestarian bahasa daerah khususnya bahasa Dayak Kanayatn dialek Ba Ahe Ba Damea maka saat ini buku-buku tersebut sudah dapat ditemukan tersimpan rapi menempati rak-rak buku sekolah di Kabupaten Bengkayang dan terus bergerak ke Kabupaten-kabupaten lainnya siap untuk dilestarikan dengan terus diajarkan dari generasi ke generasi sebagai salah satu warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya.
Salam.
Sumber-sumber :
www.ethnologue.com
www.sil.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H