"Saya mau jadi pengusaha, tapi masih takut, kalau rugi gimana?"
Ada yang bisa relate dengan pertanyaan di atas?
Well, I guess banyak yang bisa relate. Kenapa? Mungkin kita bisa mengacu kepada salah satu penelitian behavioural economic. Dalam Thaler dan Sunstein (2008) disebutkan fear atas kehilangan sesuatu yang dimiliki memang cenderung lebih mempengaruhi psikologi kebanyakan orang dibandingkan fear bila tidak mampu mengoptimalkan peluang yang ada.
Perasaan takut inilah yang bikin kerap kita gagal untuk mulai aja dulu.
Lalu bagaimana cara overcome perasaan takut tersebut? Bagaimana supaya kita berani berwirausaha?
Tidak ada jawaban yang pasti. Bahkan untuk seseorang yang pernah menjalani usaha yang sedang mau mengembangkan usaha, melakukan ekspansi, masih kerap merasakan fear ini.
Ada yang bilang, mulai aja dulu then learn by doing. "Jangan takut gagal!" katanya. This answer is maybe right tetapi tidak lengkap. Here is why.
Penulis baru saja melakukan focus group discussion dengan para pelaku usaha ultra mikro (UMi) di daerah Jakarta. Mereka tengah merasa pendapatan selama satu tahun terakhir datar-datar saja. Mereka mau banget mengembangkan usahanya supaya pendapatannya bisa naik. Menambah jenis barang jualan baru, menambah jumlah toko, menambah jumlah kedai, resep baru, menjadi beberapa ide yang disampaikan. Tapi dengan modal terbatas, mereka ada ketakutan gagal dalam pengembangan yang berhujung pada kekacauan cash flow yang telah ada. "Salah-salah malah bisa jadi dikejar-kejar kolektor, mas," ujar seorang ibu menjelaskan.
Untuk pelaku yang bersandar pada usahanya demi kebutuhan subsistennya, kegagalan bukanlah pilihan coba-coba..
Lalu bagaimana?
Mau-ga-mau, ide bisnis baru ini perlu divalidasi terlebih dahulu. Betul, validasi ide bisnis. Tahapan ini adalah tahapan yang mungkin menyita waktu tanpa menghasilkan return dalam bentuk uang. Tetapi tahapan ini penting banget untuk mengetahui reward to risk ratio dari usaha yang kita mau jalanin. Apa saja yang perlu divalidasi?
Pertama, tahu target market. Apakah produk/jasa yang kita buat harapannya bisa menyelesaikan masalah atau memuaskan kebutuhan orang lain. Tetapi orang yang mana? Seberapa besar marketnya di kawasan tersebut?
Bila perlu, lakukan survei market lebih dalam. Mudahnya, seberapa banyak usah lain yang mencoba mengatasi masalah serupa? Dibandingkan punya kita, apakah lebih murah? Kalau lebih mahal, apakah lebih efektif atau lebih enak?
Kedua, uji langsung hipotesa-hipotesa di atas secara riil di lapangan. Benar ga sih yang kita bilang target market itu beneran suka dengan produk kita? Apakah produk kita benar-benar fit dengan market? Kalau bisa  uji product market fit ini ke sebanyak-banyaknya orang dan bukan orang yang kita kenal supaya tidak ada bias "tidak enakan dengan teman".
Ada yang sebut proses ini sebagai proses product market fit, survei pasar, bahkan proses inkubasi. Boleh-boleh saja yang penting tidak lupa tahapan ketiga yaitu kumpulkan timbal balik (feedback). The main point dari proses validasi ide bisnis ini adalah menguji hipotesa kita. Kalau responnya mostly positif, Alhamdulilah! Kita pasti sudah lebih percaya diri untuk mulai usahanya plus sudah ada tabungan testimoni.
Tetapi bila ada masukan dan kritikan, jangan berkecil hati. Untung belum invest all in, kan.. Jadi masih ada kesempatan mungkin untuk ngetest ke segmen konsumen yang lain, ganti target market, rubah harga atau modifikasi produk.
Akhir kata, penulis menyadari, seperti halnya kegagalan yang bukan menjadi pilihan yang bisa dicoba-coba setiap orang, proses validasi ide bisnis ini juga masih menjadi barang mewah yang tidak bisa dilakukan oleh banyak orang. Menurut model kewirausahaan Lowrey (2019), orang-orang yang sanggup untuk melakukan proses-proses seperti ini adalah orang-orang yang sudah sanggup untuk meluangkan waktunya untuk kegiatan wirausaha dengan cara menyisihkan waktunya yang biasa dialokasikan untuk kegiatan labor alias mencari uang untuk kebutuhan subsistennya. Dalam konteks ini, dukungan dari Pemerintah seperti pemberian jasa inkubasi sebagaimana tertera dalam PP UMKM No. 7 tahun 2021 agar UMKM, terutama UMi, bisa semakin banyak yang bisa naik kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H