Mohon tunggu...
William Manggala Putra
William Manggala Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peneliti untuk datamakro.com

Peneliti untuk datamakro.com | Pelaku UMKM |

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pencarian "Garis Perak" dari Krisis, Sanggupkah?

4 Agustus 2020   16:00 Diperbarui: 5 Agustus 2020   08:16 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Nattanan Kanchanaprat dari Pixabay

Garis perak merupakan terjemahan dari silver lining atau sebuah ungkapan umum untuk mengekspresikan optimisme bahwa ada hal positif dalam setiap situasi buruk. Begitu juga pada krisis yang saat ini terjadi, dari semua kesulitan yang ada, pasti ada hal positifnya.

Tulisan ini ingin fokus pada garis perak untuk perekonomian yang setidaknya ada tiga menurut hemat penulis.

Pertama, krisis ini bisa jadi momentum untuk pengembalian spirit memperbaiki institusi.

Menurut beberapa pengamat, paradigma pembangunan ini telah ditinggalkan dalam beberapa tahun terakhir.

Burhanudin Muhtadi (Media Indonesia, 18 Desember 2019) misalnya, menilai agenda pembangunan periode kedua Joko Widodo lebih berat ke pembangunan ekonomi dan cenderung mengabaikan agenda-agenda lainnya seperti pemberantasan korupsi dan HAM.

Hal ini juga tampak di mana dalam mengejar pembangunan, Presiden Joko Widodo lebih sering mengedepankan deregulasi, belanja modal publik-nfrastruktur dan modal manusia yang sangat bias mazhab neoklasik.

Sedangkan kekecewaan Presiden Joko Widodo terkait penyaluran fiscal relief yang berjalan lambat seharusnya bisa menyadarkan pentingnya mazhab new institutional economics dalam paradigma pembangunan ke depannya.

Presiden boleh menduga, jangan-jangan selama ini pertumbuhan ekonomi stagnan di tingkat 5% bukan karena racikan kebijakan yang kurang optimal, melainkan karena tidak efektifnya birokrasi.

Jangankan pada situasi normal, dalam situasi krisis saja penyerapan fiscal relief sangat lambat. Hingga tanggal 27 Juli 2020, realisasi fiscal relief baru 19%.

Menurut pegiat reformasi birokrasi, Yusuf Hakim G (Detikcom, 24 Juni 2020), hal ini tidak terlepas dari kapasitas birokrasi yang masih rendah–-skor Indeks Efektifitas Pemerintah (IEP) tahun 2018 hanya 59 dari skala 100-–dan adanya mindset patologis di kalangan birokrat di mana penyerapan anggaran dilakukan demi mendapatkan tambahan anggaran pada tahun berikutnya.

Maka, sudah sepatutnya Presiden kembali memberikan perhatian lebih terhadap agenda perbaikan institusi.

Kedua, perlu disyukuri semakin kayanya modal sosial Indonesia. Menurut OECD, modal sosial adalah pemahaman bersama di masyarakat yang memungkinkan individu dan kelompok saling percaya satu sama lain sehingga dapat bekerja sama.

Semakin kayanya modal sosial ini bisa terlihat dari pergerakan dari warga untuk membantu yang kesulitan seperti donasi, membagikan makanan-minuman, membagikan vitamin, membantu membuat APD, dan lain-lain di tengah Covid-19 ini. (Kompas. 18 Mei 2020)

Lalu kenapa? Menurut penulis, saat ini adalah momentum untuk mengutilisasikan modal sosial, setidaknya untuk membantu pembuatan kontrak sosial yang baru.

Mengacu ke laporan World Bank (2020), pembuatan kontrak sosial yang baru antara negara dan warganya adalah syarat utama agar Indonesia bisa bertumbuh lebih cepat. Kontrak sosial yang dimaksud di sini adalah kemauan membayar pajak dengan timbal balik pelayanan publik lebih baik.

Pajak ini sendiri memang menjadi masalah untuk anggaran negara dari sisi penerimaan. Nisbah pajak Indonesia yang hanya 10% - 11% terhadap PDB relatif sangat kecil bila dibandingkan negara peers.

Jangankan untuk memenuhi ambisi pembangunan yang besar, untuk membiayai fiscal relief masa Covid-19 ini saja Pemerintah diperkirakan harus menambah hutang hingga Rp 1,200 triliunan karena arus pendapatan yang tidak memadai.

Tentu “PR” pertama ada di Pemerintah karena harus membereskan institusi supaya kebijakan publik bisa diterapkan lebih efektif, efisien, dan kredibel sehingga kepercayaan public bisa muncul.

Namun, bila modal sosial ini dapat diutilisasikan-–dan masyarakat digerakan sekaligus diberikan pemahaman bahwa pajak yang dibayarkan akan diberikan kepada yang membutuhkan-–bukan tidak mungkin rakyat akan bersemangat untuk membayar pajak.

Alhasil, dampaknya di short run dan long run bisa sangat massif.

Ketiga, semangat inovasi di tengah krisis pandemic ini. Dengan adanya kesulitan dan meningkatnya solidaritas, inovasi saat ini banyak diarahkan untuk menyelesaikan krisis kesehatan dan ekonomi.

Seperti dirangkum pada harian Kompas tanggal 29 Juni 2020, setidaknya ada beberapa inovasi dari dalam negeri yang bisa dibanggakan, seperti PCR Test Kit milik BPPT dan Bio Farma; Plasma Convalesence yang dikembangkan Lembaga Biologi Molekular Eijkman, hingga Ventilator Indonesia (Vent-I).

Selain itu Indonesia juga tidak mau kalah dalam menemukan vaksin Covid-19 walaupun start kita terlambat.

Mengacu pada teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990) teknologi memiliki fitur increasing returns to scale yang menjadi jaminan pertumbuhan di long run.

Bila semangat ini terus disimpan dan diteruskan, maka karakter inilah yang akan menjadi new normal bagi Indonesia yang niscaya akan lebih baik dibandingkan masa sebelum pandemi.

Akhir kata, pandemi pasti berlalu dan semoga dalam waktu dekat. Selayaknya kata teori path dependence, semoga ada kelanjutan dari praktik ataupun semangat yang positif dari “sejarah” yang kita sedang jalani saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun