Keduanya memainkan peran demi tujuan yang sama; ada kekuasaan yang menjadi tujuan dalam setiap aktifitas seksual yang mereka jalankan.Â
Untuk itu Casandra berani untuk berpendapat bahwa pelacur kelas teri dan kelas kakap itu bukanlah pengkategorian semata, melainkan anti-tesis yang menunjukan kedua hal tersebut memiliki tujuan dan cara kerja yang berbeda.
Prostitusi ala Casandra pada kenyataannya melahirkan paradoks sosial yang membingungkan. Di saat pelacuran dianggap aktivitas rendahan dan hanya melibatkan orang-orang kelas bawah sebagai subjeknya, Casandra justru berada pada kelas atas tatanan sosial. Dia memegang kendali atas berbagai macam hal, termaksud kendali atas tujuan prostitusi itu sendiri.Â
Seperti halnya Cleopatra, Â secara politis dia mampu mempolarisasi tujuan prostitusi dan menjadikannya sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai kepentingan yang lebih besar.
Meski begitu Casandra tidak menampik bahwa pelacuran tidak dapat terlepas dari pemenuhan hasrat biologis.
"Pelacur kelas teri itu bukan perempuan kumuh, atau tidak berpendidikan yang memperdagangkan dirinya. Tapi mereka yang melacur hanya demi bedak atau sesuap nasi atau yang lebih buruk atas dasar cinta. Karena pelacuran itu hanya berdasar cara pandang sebab harga diri manusia tidak dapat diukur, maka setiap kesepakatan untuk aktifitas seksual yang melibatkan harga diri sebagai taruhannya, di sana harus ada tujuan yang lebih besar," ujar Casandra.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI