Mohon tunggu...
Ndhy Rezha
Ndhy Rezha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Pemula

Social Argument , better thing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memahami Isi Kepala "Cleopatra"

30 Oktober 2019   16:19 Diperbarui: 2 November 2019   23:44 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Gambar oleh Gerd Altmann/Pixabay

Agak geli memang ketika seorang lelaki membuat tulisan dengan 'pelacur' sebagai tema utamanya. Kata itu benar-benar sensitif apalagi dikaitkan dengan urusan moral. Terlebih pelacuran kerap disandingkan dengan kelakuan lelaki hidung belang, lelaki yang memenuhi syahwat dengan bermodalkan materi. Tetapi mau tidak mau, sebagai objek sasar prakter pelacuran, hanya kaum lelaki yang dapat menyelam ke dasar pemikiran para pelacur ini untuk secara utuh menarik kesimpulan dari setiap aktivitas prostitusi mereka.

Dalam banyak referensi sejarah, pelacuran sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dahulu istilah pelacuran menjadi lazim karena budaya perbudakan, di kalangan para budak, praktek ini merupakan hal biasa dan tidak pernah dipertentangkan.

Tetapi bila ditelisik lebih dalam, praktek prostitusi ini terjadi pula di kalangan kasta teratas dan menimbulkan dampak yang lebih besar dalam merubah alur peradaban.

Contohnya dalam masa kekuasaan Cleopatra yang menggunakan prakter pelacuran dirinya sendiri untuk transaksi politik, juga tentang bagaimana Ratu Mary di Inggris yang konon banyak melibatkan diri dalam urusan yang serupa.

Hari ini, jika berkutat pada definisi umum maka akan lebih banyak prakter pelacuran yang terjadi dan tanpa kita sadari dan siapapun penulisnya, mereka akan berhadapan dengan protes keras dari kalangan sosialis; menggunakan definisi umum itu hanya akan membuka fakta bahwa pelacuran sedang terjadi di mana-mana, bahkan media informasi dengan leluasa menunjukan aktifitas tersebut dalam kemasan yang lebih menarik. 

Maka untuk menentukan siapa para pekerja seks yang sedang kita bahas, terlebih dahulu kita perlu mempersempit definisi pelacuran dengan mengategorikannya hanya kepada prakter-prakter yang terorganisir dan melibatkan banyak orang yang saling terikat satu sama lain.

Jika selama ini praktek pelacuran menjadikan masalah sosial ekonomi sebagai dalilnya dan kepuasan seksual sebagai tujuannya, maka pada perkembangan hari ini, prostitusi telah bermetamorfosis sebagai ladang bisnis yang menguntungkan dan melibatkan orang-orang penting sebagai subjeknya, yang oleh karena hal ini, secara simultan merubah arah tujuan prostitusi itu sendiri.

Prostitusi kemudian menjadi alat membangun relasi, perluasan network, sampai pada kesepakatan bisnis besar hingga ada istilah "Sex-win solution" dalam semesta bisnis besar di Ibukota.

Dandri Saban (bukan nama sebenarnya) seorang jurnalis yang juga salah satu anggota dari komunitas peduli HAM yang meneliti kasus kekerasan terhadap perempuan pasca orde baru, di tahun 2018 lalu dia secara intens membangun komunikasi dengan para pekerja seks kota besar di tanah air. Dari PSK kelas teri sampai kelas ecek-ecek. 

Dia pun menemukan fakta bahwa beberapa PSK yang melibatkan diri dalam organisasi pelacuran sama sekali tidak mengalami masalah ekonomi, banyak di antara mereka yang sudah hidup berkecukupan bahkan salah satu narasumber Dandri, Cassandra (nama samaran) adalah seorang komisaris di salah satu perusahaan ternama di Jakarta.

Cassandra, perempuan cantik asal Sumatera itu menuturkan kisah yang cukup membuat Dandri tercengang. Dia (Cassandra) sama sekali bukan dari keluarga pas-pasan, tidak pula hidup di lingkungan keras, sebaliknya dia merupakan anak salah satu tokoh terpandang di Sumatera.

Awalnya, Casandra menjajakan diri demi kepuasan pribadi sebab perempuan tersebut punya pandangan yang resistan terhadap pernikahan; pernikahan itu suatu pemenjaraan terhadap hak-hak manusia dalam mencapai kepuasan seksualnya. 

Berangkat dari pemikiran ini, Cassandra lalu melibatkan diri dalam  bisnis prostitusi untuk sekedar mendapat kepuasan seksual.

Meski secara sadar menerima dirinya sebagai PSK, karakter 'mewah' dalam diri perempuan itu tidak lantas lenyap begitu saja. Casandra tetap menjadi tipikal perfeksionis yang selektif dalam memilih lelaki mana yang akan menidurinya. Hal yang membuat dirinya kerap dilempar dari satu agen ke agen lainnya.

Di tahun 2010, Cassandra bergabung dalam salah satu agen prostitusi yang menamakan diri "SENS" yang merupakan akronim dari SEX -- WIN SOLUSION. SENS di gawangi oleh orang-orang besar; dari tokoh masyarakat, pebisnis, advokat sampai tokoh politik level nasional. 

Pada mulanya, sens menurut Casandra, lebih kepada jembatan untuk merealisasikan ekspansi bisnis kelompok elit lewat 'BIG DEAL' yang menjadikan perempuan sebagai burgeningnya.

Namun seiring perkembangannya, Sens bukan lagi menjadi alat untuk menggarap suatu MegaProyek, Sens malah menjadi mega proyek itu sendiri yang membuat cara pandang dan tujuan Casandra tentang prostitusi berubah 180 derajat, dia pun berambisi untuk menguasai seluruh relasi sens dengan cara merampas hierarki teratas dalam organisasi tersebut.

Casandra tidak hanya berperawakan cantik, dia juga seorang yang cerdas dan berwawasan luas. Sebagai lulusan sekolah bisnis ternama di negeri Paman Sam dan punya koneksi di mana-mana, Casandra lantas memiliki daya tarik tersendiri.\

Hal ini yang membuat semua relasi Casandra bukan orang sembarangan, bisa dibilang semua relasinya adalah orang penting yang menjadi penentu kebijakan dalam berbagai sektor bisnis. 

Lambat laun, dominasi Casandra mulai mencapai titik klimaksnya. Casandra bukan lagi representasi dari Sens atau menjadi brand ambassadornya, sebaliknya, sens lah yang kemudian menjadi represenntasi perempuan tersebut.

Pada akhirnya, Casandra menjadi lebih besar dari sens dan relasi-relasi itu mayoritas bergantung pada kebijakan Casandra.

Dandri melihat ada kesamaan yang kental antara sejarah Cleopatra dan sepakterjang Casandra dalam membangun jaringan bisnisnya lewat jasa prostitusi. Bukan hanya karena keduanya sama-sama berasal dari kelas atas, tetapi tujuan pelacuran itu tidak lagi berkutat ihwal kepuasan seksual semata. 

Keduanya memainkan peran demi tujuan yang sama; ada kekuasaan yang menjadi tujuan dalam setiap aktifitas seksual yang mereka jalankan. 

Untuk itu Casandra berani untuk berpendapat bahwa pelacur kelas teri dan kelas kakap itu bukanlah pengkategorian semata, melainkan anti-tesis yang menunjukan kedua hal tersebut memiliki tujuan dan cara kerja yang berbeda.

Prostitusi ala Casandra pada kenyataannya melahirkan paradoks sosial yang membingungkan. Di saat pelacuran dianggap aktivitas rendahan dan hanya melibatkan orang-orang kelas bawah sebagai subjeknya, Casandra justru berada pada kelas atas tatanan sosial. Dia memegang kendali atas berbagai macam hal, termaksud kendali atas tujuan prostitusi itu sendiri. 

Seperti halnya Cleopatra,  secara politis dia mampu mempolarisasi tujuan prostitusi dan menjadikannya sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai kepentingan yang lebih besar.

Meski begitu Casandra tidak menampik bahwa pelacuran tidak dapat terlepas dari pemenuhan hasrat biologis.

"Pelacur kelas teri itu bukan perempuan kumuh, atau tidak berpendidikan yang memperdagangkan dirinya. Tapi mereka yang melacur hanya demi bedak atau sesuap nasi atau yang lebih buruk atas dasar cinta. Karena pelacuran itu hanya berdasar cara pandang sebab harga diri manusia tidak dapat diukur, maka setiap kesepakatan untuk aktifitas seksual yang melibatkan harga diri sebagai taruhannya, di sana harus ada tujuan yang lebih besar," ujar Casandra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun