Di negara manapun di semesta ini, pemilihan kepala negara tentu selalu ramai dengan 'debat' tentang siapa sosok yang lebih baik. Dari tingkat atas sampai akar rumput, debat mengenai calon pemimpin selalu berjalan alot.Â
Dari jualan isu seputar keadaan negara dan pemerintahan, situasi pasar sampai soal persona pribadi sang kandidat. Hal ini kemudian menjadi variabel paten dalam setiap momen pesta demokrasi di negara ini.
Menilik dari tujuannya, pemilihan umum sejatinya merupakan momen krusial bagi setiap bangsa dalam berpolitik sebab menjadi tolak ukur yang menentukan kualitas cara berpikir masyarakat;sejauh mana kedewasaan setiap individu menyikapi dinamika sosial politik serta menjadi implimentasi kehidupan demokrasi yang ideal.
Namun kenyataannya, dalam setiap momen pemilihan umum di negara ini, masyarakat kita justru terus menerus tergerus dalam jurang perbedaan. Tak terkecuali pada momen pilpres 2019 ini yang mana pertarungan awalnya diharapkan menjadi lebih adem-ayem dengan hadirnya kekuatan kelompok agama sebagai warna yang begitu kuat.
 Namun hasilnya pun tetap sama, pertarungan elit ibukota yang alot membabibuta dan syarat akan kepentingan itu lagi-lagi membias mulus sampai ke tingkat bawah. Malah, keadaan carut marut menjelang pemilu hari ini diperparah dengan munculnya dua label menyesatkan; cebong dan kampret yang sengaja diciptakan untuk memisahkan identitas dua kekuatan massa yang saling sikut merebut istana.Â
Berbeda dari isu-isu sensitif semisal agama dan identitas Capres dan Cawapres yang kemudian diangkat oleh para elit, arus bawah kemudian malah membuka ruang tarung mereka sendiri dengan slogan 'Cebong VS Kampret'.
Entah siapa dalang dari metafora tidak mendidik ini, meski faktanya sebutan 'Cebong' yang lebih dulu disematkan kepada pendukung petahana lalu malah dibalas dengan sebutan Kampret untuk sang penantang seakan tak ada yang mau mengalah dan mengambil momen positif dari kondisi tersebut.
Kelompok elit dari kubu-kubu itu sendiri tidak secara masif menggunakan dua istilah tersebut terlebih ketika dihadapkan dalam suatu forum debat atau diskusi terbuka meski pada dasarnya kelompok-kelompok inilah yang memiliki kepentingan paling besar dalam momen pilpres yang sedang dinanti.Â
Istilah menyesatkan itu justru dipatenkan oleh kalangan arus bawah untuk kemudian dijadikan alat saling serang yang semakin menguatkan mundurnya etika dan moral kita dalam berdemokrasi.
Cebong dan Kampret, dua metafora ini jelas akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di masa yang akan datang, sebab apa yang dilekatkan dalam aktivitas politik setiap individu di negara ini bukan lagi sebatas menyampaikan pandangan lewat argumentasi ataupun gagasan, melainkan label negatif yang bila terus menerus digaungkan maka akan menjelma sebagai indentitas baru bagi dua kelompok yang berbeda.Â
Hal ini menjadi sungguh menyedihkan sebab terjadi begitu gamblang justru disaat petinggi-petinggi agama ikut terlibat aktif dan masif dalam politik dan proses demokrasi di negara ini.Â