Mohon tunggu...
Andri W
Andri W Mohon Tunggu... Jurnalis di Harian Pagi Jambi Independent (Jawa Pos Grup) -

Manusia yang haus akan pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Keadilan Kupu-kupu Malam

30 Juni 2015   23:08 Diperbarui: 30 Juni 2015   23:08 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Jantungku berdegup sangat kencang. Aku masih saja bersembunyi dibalik rimbunnya rumput ilalang yang tinggi menjulang. Dari sini aku melihat beberapa pria berseragam hijau, berbadan tegap yang masih mencari-cari keberadaan ku. Aku mencoba menahan nafas dalam-dalam, berharap dengan melakukan itu dapat menyembunyikan keberadaan ku dari pria-pria tersebut.

“Tidak ada. Kelihatannya perempuan itu berhasil kabur,” teriak salah seorang berbaju hijau kepada beberapa pria berbaju hijau lainnya yang terdengar hingga tempat persembunyianku.

Tidak berselang berapa lama, pria-pria tersebut pergi. Menjauh dari tempat persembunyian ku. Sekujur tubuh ku terasa sangat gatal, sudah hampir satu jam aku berada di persembunyian yang di penuhi rumput ilalang dan berbau menyengat ini.

Aku sedikit menghela nafas. Ada sedikit kelegaan didadaku. Masih dari tempat persembunyianku, kulihat pria-pria berseragam hijau itu sudah tidak tampak lagi. Beruntung aku tidak tertangkap. Jika saja itu terjadi, maka aku bisa saja beranggapan bahwa ini hari tersial dalam hidupku.

Ini hari pertama aku bekerja kembali sebagai wanita kupu-kupu malam. Pasca penutupan lokalisasi oleh Pemerintah Daerah tempat ku berdomisili, aku sudah memutuskan dan bertekad kuat dalam hatiku untuk tidak lagi mencari rezeki di jalan yang salah ini. Aku mencoba berbagai peruntungan lain, diluar menjajakan diri kepada lelaki hidung belang.

***

Pasca penutupan lokalisasi aku benar-benar harus menata kehidupan ku dari awal kembali. Modal sepuluh juta, memang sedikit, jika dibandingkan dengan penghasilan ku menjajakan diri. Namun, aku tetap optimis, bisa menata hidup ku kembali dan hidup di jalan yang benar.

Aku memulai peruntungan ku dengan berjualan berbagai jenis sayuran, di sekitar tempat tinggal ku, yang kini lebih dikenal dengan sebutan eks lokalisasi. Pagi-pagi sekali aku harus membeli berbagai jenis sayuran di pasar induk yang letak nya cukup jauh dari tempat tinggal ku.

Aktivitas baru ini sangat jauh dari kebiasaan ku sehari-hari, selama menjadi seorang kupu-kupu malam. Biasanya aku bangun paling cepat pada pukul 10 pagi, karena biasanya aku bekerja sampai tengah malam lewat, sehingga bangun pagi pun menjadi sebuah keniscayaan. Namun, kali ini aku harus bangun sangat pagi, bahkan satu jam lebih awal sebelum adzan subuh biasa berkumandang.

Namun, aku berusaha untuk tetap ikhlas menjalaninya dan bersabar. Pikirku ini adalah sebuah langkah awal menuju kehidupan yang lebih baik dan jauh dari label wanita jalang yang biasa melekat erat pada diriku.

Pada pagi hari aku mulai aktivitas berjualan sayur. Luar biasa sekali, dari pagi hingga teriaknya sinar matahari mulai menyengat tubuh ini, tercatat hanya satu dua orang yang datang untuk membeli barang daganganku. Tapi, aku tetap berusaha berpikir positif, wajar saja ini hari pertama aku menjalani profesi sebagai seorang pedagang. Jadi aku yakin, hari esok bakal lebih baik.

“Harus tetap semangat. Pasti besok lebih baik,” gumamku.

“Aku yakin besok bakal lebih banyak pelanggan yang membeli sayur-sayur,” kataku sembari menyinggungkan sebuah senyuman dan menatapa kea rah terikanya matahari.

Keesokan harinya, aku memulai kembali aktivitasku sebagai seorang pedagang sayur. Namun, sama seperti kemarin, tidak banyak pelanggan yang datang membeli sayur-sayurku. Aku mulai putus asa, batinku benar-benar tersiksa.

Disisi lain, otakku mulai berpikir, ini tidak akan berhasil. Lihat saja kehidupan orang-orang di eks lokalisasi ini, hampir semuanya berada dalam keterpurukan dan berusaha membangun kehidupan lagi dari awal.

Selama ini kehidupan perekonomian masyarakat yang berada disini sangat bertumpu pada berjalannya aktivitas kehidupan wanita-wanita kupu-kupu malam, seperti ku. Namun, dengan berhentinya aktivitas tersebut seolah telah mematikan perekonomian mereka. Tidak para kupu-kupu malam dan para majikan, namun para pedagang bahkan hingga tukang ojek terkena dampak dari penutupan kebijakan pemerintah. Jadi jangankan membeli sayur, mungkin untuk membeli kebutuhan pokok, seperti beras sangat sulit bagi orang-orang disini.

“Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan,” gumamku, sembari menghala nafas.

Usai merasa gagal menjadi seorang pedagang sayur, aku mencoba beberapa peruntungan lain. Uang 10 juta yang diberikan pemerintah sudah habis, sehingga aku tidak pernah berpikir lagi untuk membuat usaha lain. Bermodalkan ijazah sekolah dasar yang ku punya, aku mencoba untuk melamar pekerjaan dari satu tempat ke tempat pekerjaan yang lain.

Namun, apa lah daya tidak banyak tempat kerja yang mau memperkejakan ku. Mungkin mereka berpikir, mampu apa seseorang yang hanya bermodalkan ijazah sekolah dasar. Terlebih lagi jika mereka tahu apa profesi ku sebelumnya.

Suatu ketika aku diterima menjadi seorang pembantu, lewat lawaran yang aku masukan ke agen penyalur pembantu. Aku pun merasa senang, ini mungkin menjadi kesempatan emas untuk mengubah nasib.

Namun, gelagat buruk tampak dari sang majikan pria. Ia kerap kali menatapku dengan tatapan yang nyaris sama dengan yang biasa di perlihatkan oleh laki-laki hidung belang yang aku layani. Aku sedikit risih, tapi aku berusaha berpikiran positif dan berusaha bekerja dengan ikhlas, sembari berharap kehidupan ku akan kembali membaik kedepannya.

“Kamu. Kemari,” tiba-tiba sang majikan pria memanggilku.

“Baik tuan,” ujarku sembari mendekat kearahnya.

“Duduk sini,” sang majikan pria mempersilahkan ku duduk di sofa tepat di sampingnya.

Jantung berdegup cukup kencang. Aku memang sudah terbiasa meladeni berbagai jenis pria, namun kali ini aku benar-benar tidak ingin meladeni pria manapun, termasuk majikan pria ku ini.

“Kamu masih belum punya suami kan,” ucapnya sembari mulai meraba tubuhku dibagian yang tidak aku inginkan, namun dengan cepat aku menghindar. “Maaf tuan, cucian saya masih banyak di belakang,” selaku sembari berdiri dan menghindarinya.

Jantung semakin berdegup kencang, terlebih lagi saat ini hanya ada aku dan sang majikan pria di rumah. “Pekerjaannya bisa diselesaikan nanti,” ujar sang majikan pria tetap memaksaku.

Aku tetap berusaha menghindar. Namun, tiba-tiba tangan sang majikan tiba-tiba justru menyekap mulutku. “Sudah kamu ikutin aja apa kataku,” ucapnya dengan nada setengah berbisik.

Aku pun dengan refleks memukul pria tersebut dengan tanganku. Aku berlari mengarah ke pintu depan ruang tamu, namun sang majikan pria masih saja mengejar, bahkan memegang tangan kanan ku berusaha menahan kepergian ku. Aku melihat sebuah pas bunga kecil terbuat dari kaca didepan ku, tanpa berpikir panjang ku ambil pas bunga tersebut dan memukulkannya kebagian kepala majikan pria ku.

Aku langsung membuka pintu ruang tamu dan berlari keluar dari rumah sang majikan. Sekali aku melihat ke arah belakang, dimana tampak kepala sang majikan pria telah bercucuran dengan darah segar. Namun, aku tidak khawatir, aku justru semakin mempercepat langkahku. Dengan nafas terengah-engah aku terus berlari. Hingga akhirnya aku berhenti di sebuah gang kecil yang letaknya cukup jauh dari rumah sang majikan.

Batinku menangis setengah marah, bahkan hingga benar-benar air mataku jatih ke tanah. Aku tidak habis berpikir, kenapa hal ini bisa terjadi padaku. Aku hanya ingin mengubah nasib dan berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi, serta jauh dari predikat kupu-kupu malam. Disela lamunan dan tangisku, aku merenung, mungkin menjadi seorang kupu-kupu malam sudah menjadi takdir tuhan untukku. Mulai saat itu juga aku memutuskan untuk kembali menjadi seorang wanita kupu-kupu malam.

***

Aku berjalan tertatih, menjauhi tempat persembunyianku. Batin ku menangis, begitu pula raga ku. Rasanya tidak sanggup lagi aku menanggung semua derita ini. Dimana letak keadilan yang selama ini di dengung-dengungkan oleh orang-orang, yang katanya masih ada di negeri ini. Bahkan, katanya keadilan sosial itu ada bagi seluruh rakyat negeri ini. Tapi sepertinya keadilan tidak ada untuk ku, seorang mantan kupu-kupu malam.

Aku mengerti, pemerintah mempunyai tujuan baik untuk menutup lokalisasi. Terlebih lagi, profesi yang dilakukan dengan jalan menjajakan diri, seperti yang aku lakukan ini memang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat.

Aku juga mengerti bahwa penutupan sebuah lokalisasi adalah sesuatu yang luar biasa bagi sebuah pemerintahan. Namun, tidak bisakah pemerintah juga mengerti tentang ku atau rekan-rekanku bahwa kami, para mantan kupu-kupu malam juga butuh di perhatikan dan butuh keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun