“Harus tetap semangat. Pasti besok lebih baik,” gumamku.
“Aku yakin besok bakal lebih banyak pelanggan yang membeli sayur-sayur,” kataku sembari menyinggungkan sebuah senyuman dan menatapa kea rah terikanya matahari.
Keesokan harinya, aku memulai kembali aktivitasku sebagai seorang pedagang sayur. Namun, sama seperti kemarin, tidak banyak pelanggan yang datang membeli sayur-sayurku. Aku mulai putus asa, batinku benar-benar tersiksa.
Disisi lain, otakku mulai berpikir, ini tidak akan berhasil. Lihat saja kehidupan orang-orang di eks lokalisasi ini, hampir semuanya berada dalam keterpurukan dan berusaha membangun kehidupan lagi dari awal.
Selama ini kehidupan perekonomian masyarakat yang berada disini sangat bertumpu pada berjalannya aktivitas kehidupan wanita-wanita kupu-kupu malam, seperti ku. Namun, dengan berhentinya aktivitas tersebut seolah telah mematikan perekonomian mereka. Tidak para kupu-kupu malam dan para majikan, namun para pedagang bahkan hingga tukang ojek terkena dampak dari penutupan kebijakan pemerintah. Jadi jangankan membeli sayur, mungkin untuk membeli kebutuhan pokok, seperti beras sangat sulit bagi orang-orang disini.
“Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan,” gumamku, sembari menghala nafas.
Usai merasa gagal menjadi seorang pedagang sayur, aku mencoba beberapa peruntungan lain. Uang 10 juta yang diberikan pemerintah sudah habis, sehingga aku tidak pernah berpikir lagi untuk membuat usaha lain. Bermodalkan ijazah sekolah dasar yang ku punya, aku mencoba untuk melamar pekerjaan dari satu tempat ke tempat pekerjaan yang lain.
Namun, apa lah daya tidak banyak tempat kerja yang mau memperkejakan ku. Mungkin mereka berpikir, mampu apa seseorang yang hanya bermodalkan ijazah sekolah dasar. Terlebih lagi jika mereka tahu apa profesi ku sebelumnya.
Suatu ketika aku diterima menjadi seorang pembantu, lewat lawaran yang aku masukan ke agen penyalur pembantu. Aku pun merasa senang, ini mungkin menjadi kesempatan emas untuk mengubah nasib.
Namun, gelagat buruk tampak dari sang majikan pria. Ia kerap kali menatapku dengan tatapan yang nyaris sama dengan yang biasa di perlihatkan oleh laki-laki hidung belang yang aku layani. Aku sedikit risih, tapi aku berusaha berpikiran positif dan berusaha bekerja dengan ikhlas, sembari berharap kehidupan ku akan kembali membaik kedepannya.
“Kamu. Kemari,” tiba-tiba sang majikan pria memanggilku.