Kendati demikian, bukan berarti pemerintahan Jokowi tidak menghadapi tantangan geopolitik, namun hanya saja Indonesia memiliki tendensi untuk menghindari pengambilan keputusan secara gegabah dan terburu -- buru dalam menyikapinya.
Contoh nyatanya terlihat dari konflik Laut Cina Selatan yang membuat Indonesia sangat berusaha keras untuk menyeimbangkan keadaaan. Di satu sisi, Indonesia ingin menjaga relasi ekonomi-nya dengan China dan di saat yang bersamaan tetap menjaga komitmen regional dan kedaulatan perbatasan laut mereka di utara yang menjadi salah satu objek sengketa dengan Negeri Tirai Bambu.
Pendekatan luar negeri yang sangat berhati -- hati ala Jokowi ini juga terlihat dari usaha Indonesia untuk mempertahankan netralitas mereka di antara rivalitas sengit Amerika Serikat dan Rusia selama beberapa tahun terakhir.
Ibaratnya adalah Jokowi ingin Indonesia tetap "bermain dua kaki" di antara para superpower dunia tersebut yang tentunya juga selaras dengan politik luar negeri bebas aktif yang selama ini Indonesia anut.
Namun, kebijakan luar negeri dan gaya diplomasi ala Jokowi yang sangat berhati -- hati tadi juga mendapatkan kritikan dari beberapa media dan analis luar negeri yang mengatakan jika Indonesia "terlalu bermain aman dan pasif" dalam politik luar negeri-nya.
Anggapan tersebut rasanya bisa dimaklumi mengingat status Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempar di dunia, memiliki posisi yang strategis, serta pertumbuhan ekonomi melalui GDP yang membuat Indonesia dianggap sebagai salah satu "rising power" di dunia saat ini sehingga, agak "disayangkan" jika Indonesia terlalu bermain aman dalam diplomasi luar negeri-nya.
Karena, melalui potensi dan keungguan yang sudah disebutkan tadi, para pengamat tadi menilai jika seharusnya Indonesia bisa mendapatkan "lebih banyak hal" di kancah internasional.
Tentunya, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dalam lima tahun kedepan, Indonesia akan mengambil perubahan strategi dalam politik luar negeri dan diplomasi di bawah komando Prabowo Subianto yang diprediksi akan mengambil pendekatan yang lebih asertif dan strategis dalam menyikapi dinamika politik global.
Hal tersebut juga sejalan dengan ambisinya untuk memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi -- diplomasi langsung lewat pertemuan bilateral ketimbang mengandalkan diplomasi melalui insititusi sudah menjadi trademark dari pemerintahan Joko Widodo. Gaya diplomasi Prabowo Subianto juga diyakini akan memberikan Indonesia peranan lebih dalam kancah internasional terutamanya dalam partisipasi langsung dalam penanganan isu -- isu global.
Namun, pendekatan luar negeri yang akan diambil oleh Prabowo Subianto juga menimbulkan kekhawatiran dan kritisisme dari sebagian pengamat dan analis yang menyatakan jika gaya diplomasi Prabowo yang terlalu mengandalkan individualisme pemimpin memiliki tendensi untuk menciptakan situasi ketidapastian yang akan mempengaruhi efektivitas dari kebijakan luar negeri Indonesia kedepannya.
Contoh nyata dari kekhawatiran yang sudah disebutkan di atas sebagaimana dikutip dari tulisan Gabriel Langoday untuk Modern Diplomacy adalah bagaimana Prabowo mengusulkan rencana proposal perdamaian antara Rusia dan Ukraina yang dimana ia menyarankan jika Rusia dan Ukraina membuat zona demiliterisasi sepanjang 15-kilometer dari area sengketa dua negara pada 2023.