Dalam beberapa jam terakhir, jagad sepakbola Indonesia dikejutkan dengan cuitan dari Peter F. Gontha yang menyentil pemain naturalisasi Indonesia. Mantan duta besar Indonesia untuk Polandia yang juga seorang pengusaha dan politisi itu bahkan sampai menguraikan delapan poin "kegundahannya" di postingan terbaru Instagram miliknya.
Pada intinya, Ia menyatakan malu karena Timnas Indonesia kini mayoritas diperkuat oleh pemain keturunan yang tak pelak mengundang berbagai reaksi keras terutama dari pecinta sepak bola Indonesia yang banyak seolah tak percaya jika masih ada saja yang berusaha "mendiskreditkan" pemain -- pemain keturunan dan diaspora Indonesia yang tentu saja dalam hal ini sangat berhak untuk membela tanah air.
Untuk memulainya, seperti yang sudah kita ketahui bersama, PSSI selama dua tahun terakhir memang gencar melakukan pencarian dan naturalisasi pemain keturunan Indonesia yang berada di luar negeri. Hal ini tentu dimaksudkan agar kualitas timnas Indonesia semakin meningkat dengan perpaduannya dengan pemain lokal dan pada akhirnya akan mendongkrak peforma timnas di kancah internasional.
Tolak ukur yang digunakan oleh PSSI saat ini pun juga sudah jauh berbeda dari apa yang kita lihat pada periode lampau yang dimana hanya pemain berstatus "Grade A" dan tentunya memiliki darah keturunan Indonesia yang akan diajak untuk bergabung ke Timnas Indonesia. Outputnya adalah pemain -- pemain keturunan berkualitas yang kini jadi tulang punggung skuad Garuda seperti Jay Idzes, Justin Hubner, Maarten Paes, Calvin Verdonk, Elkan Baggott, dan lain sebagainya.
Di masa lalu, PSSI pada kenyataannya sudah melakukan proyek -- proyek naturalisasi, akan tetapi kebanyakan dilakukan pada pemain yang memang sama sekali tidak memiliki darah Indonesia sehingga membuat mereka harus menetap di Indonesia selama lima tahun terlebih dahulu seperti yang terjadi pada kasus Mark Klok misalnya untuk supaya mereka bisa membela timnas.
Kini, dengan tolak ukur yang sudah dijelaskan di atas, PSSI dapat dikatakan sudah jauh lebih selektif dan memang menaturalisasi pemain memang jika dirasa sangat perlu, Selain itu, proses naturalisasi yang Indonesia lakukan saat ini juga banyak dilakukan di negara -- negara besar sepakbola.
Contohnya sudah sangat banyak. Lihatlah bagaimana skuad Prancis yang memenangi Piala Dunia 2018 memiliki 87 persen pemainnya yang mayoritas berasal dari keluarga imigran yang memiliki darah prancis ataupun yang tidak sama sekali.Â
Contoh lainnya dapat dilihat pada Timnas Maroko yang juga kebanyakan di dominasi oleh pemain diaspora yang dimana pada pencapaian hebat mereka di Piala Dunia 2022 kemarin, 14 dari 26 pemain Maroko adalah pemain diaspora yang lahir di luar Maroko.
Lalu apakah fans atau pundit disana melakukan protes? Justru malah kebalikannya. Fans Timnas Maroko misalnya, mereka menganggap jika kehadiran pemain diaspora di tubuh skuad Singa Atlas merupakan hal yang sangat positif.
Untuk mereka, konsep kewarganegaraan adalah sesuatu yang "dinamis" dan seorang fans Maroko bernama Fatima Ezzahra Hayad seperti yang dikutip dari media Middle East Eye, mengatakan jika "selama kamu memiliki hubungan darah ke Maroko, kamu adalah orang Maroko".
Dan dalam konteks Indonesia pun juga demikian. Kehadiran pemain -- pemaian keturunan dan diaspora di tubuh skuad Garuda sejauh ini sudah memberikan dampak yang positif.
Hal pertama tentu saja adalah meningkatnya kualitas permainan timnas dan juga keikutsertaan timnas di turnamen -- turnamen besar seperti Piala Asia dan melaju jauh di kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia yang sejauh ini kita dapat meraih hasil positif.
Sesuatu yang tentu saja menjadi pemuas dahaga fans timnas saat ini yang dulu pernah merasakan era kegelapan sepakbola Indonesia yang membuat kita saat itu mendapatkan ejekan dan nada -- nada meremehkan dari negara -- negara tetangga kita yang terlebih dahulu sudah melampaui kita. Tentunya hal ini juga mengangkat marwah dan derajat timnas kita di mata dunia yang kini mulai disegani dan tidak lagi diremehkan.
Hal kedua adalah bagaimana pemain lokal dapat ikut serta berkembang bersama -- bersama dengan pemain diaspora yang sudah merumput dan berkompetisi di liga -- liga top di luar sana. Salah satu contoh menariknya adalah Rizky Ridho. Pemain Persija Jakarta yang berposisi sebagai bek tengah tersebut nyatanya dapat terus bersaing dengan pemain -- pemain diaspora untuk posisinya dan bahkan terus menjadi andalan Shin Tae Yong.
Kombinasinya bersama Jay Idzes dan Justin Hubner dalam beberapa pertandingan dimana mereka bermain membuat mental dan skill Rizky Ridho perlahan berkembang ke level yang lebih tinggi lagi.
Selain itu, kehadiran Maarten Paes sebagai kiper utama timnas Indonesia nyatanya membuat kiper -- kiper lokal seperti Ernando Ari dan Nadeo Argawinata tidak kepanasan. Bahkan Nadeo misalnya, mengaku selama 2 pekan terakhir menjalani pemusatan pelatihan timnas banyak mendapatkan Pelajaran berharga dari Paes. Pun demikian dengan Ernando Ari yang banyak berkomunikasi dengan Maarten Paes dan terlihat sangat bangga dengan kehadiran Paes di Timnas yang tentunya juga dijadikan dirinya sebagai sarana belajar dan pengembangan diri.
Hal tersebut juga menuai pujian dari netizen dan beberapa pundit sepakbola nasional yang melihat jika pemain seperti Ridho, Ernando, dan Nadeo adalah contoh pemain yang tidak takut untuk bersaing dan memang mental seperti itulah yang dibutuhkan timnas saat ini.
Terkhusus untuk pemain -- pemain lokal Indonesia yang abroad ke luar negeri seperti Asnawi Mangkualam, bersaing dengan pemain diaspora di Timnas sudah menjadi hal yang biasa karena memang dirinya sudah banyak bersaing dengan pemain asing selama kariernya di Korea Selatan dan Thailand. Sebagai contoh, kini Asnawi sudah menjadi pilihan utama Port FC untuk mengisi posisi bek kanan setelah sebelumnya mantan pemain PSM Makassar itu harus bersaing ketat dengan rekan setimnya di posisi yang sama dan juga punggawa Timnas Thailand, Suphanan Bureerat.
Atau bagaimana Witan Sulaeman misalnya yang juga sudah melanglang buana bermain di Polandia, Serbia, dan Slovakia yang dimana ia pun sudah merasakan bersaing dengan para pemain lokal disana yang membuatnya juga sudah terbiasa dengan persaingan di tubuh timnas saat ini. Ia pun juga sama seperti Ridho atau Asnawi masih tetap menjadi pilihan utama STY terutama di sektor sayap kanan.
Hal ini tentu juga menjadi sinyal jika pemain lokal pun juga mendapatkan kesempatan yang sama besarnya dengan pemain diaspora jika mereka mau terus belajar dan bekerja keras meningkatkan diri mereka. Bahkan untuk hal -- hal kecil seperti menjaga kebugaran tubuh dan menjaga pola makan juga sudah dilakukan oleh pemain -- pemain lokal kita yang bermain di timnas.
Lalu kembali ke Peter F. Gontha yang dalam salah satu poinnya, menanyakan jika apakah Indonesia adalah bangsa yang besar yang seolah -- olah mengatakan jika terdapat pemain diaspora di tubuh timnas adalah sesuatu yang bersifat penjajahan dan juga menuduh para pemain diaspora ini memiliki dua paspor yang membuat mereka sewaktu -- waktu dapat membuangnya.
Tentu saja adalah poin -- poin tersebut tidaklah benar dan tidak berdasar. Pertama, seperti yang sudah di sebutkan sebelumnya, jika "orang yang memiliki hubungan darah Maroko maka ia adalah orang Maroko" maka "orang yang memiliki hubungan darah Indonesia, juga berhak membela timnas Indonesia".
PSSI dalam hal ini tentu tidak memaksakan seorang pemain keturunan supaya membela timnas Indonesia. PSSI saat ini hanya memberikan penawaran dan membuka kesempatan seluas -- luasnya jika ada pemain keturunan dan diaspora yang mau membela timnas Indonesia.
Ibaratnya jika yang bersangkutan sudah yakin dan mantap untuk membela skuad Garuda, PSSI akan mengurus perpindahan kewarganegaraannya dan juga federasinya, dan jika yang bersangkutan menyatakan tidak atau masih mau mempertimbangkan, PSSI akan menghormati keputusan yang bersangkutan.
Dan anggapan soal pemain diaspora memiliki dua paspor adalah tidaklah benar, karena Republik Indonesia adalah negara yang menerapkan "single citizenship" atau kewarganegaraan Tunggal. Sehingga, paspor yang saat ini pemain keturunan dan diaspora pegang setelah proses perpindahan kewarganegaraan adalah paspor Indonesia saja.
Mudahnya adalah, jika seorang WNI memiliki kewarganegaraan lain maka status WNI-nya akan langsung gugur. Semua ini sudah diatur mekanismenya dalam Undang -- Undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan.
Dalam konteks ini, terdapat 5 kategori pemain berdasarkan keturunan yang berada di tubuh timnas saat ini seperti yang dikutip dari berbagai sumber:
- Full-Blood - Pemain yang lahir dari ayah dan ibu asal Indonesia, serta memiliki kakek dan nenek asal Indonesia, dan sudah menyandang status WNI sejak lahir. Contohnya: Asnawi Mangkualam, Witan Sulaeman, Rizky Ridho.
- Half-Blood - Pemain yang sudah berstatus sebagai WNI sejak lahir dan tinggal di Indonesia sejak lahir, dan merupakan hasil perkawinan antara ayah/ibu WNI dengan ayah/ibu WNA. Contohnya: Ronaldo Kwateh.
- Half-Blood Diaspora - Pemain yang lahir dan tumbuh besar di luar Indonesia tetapi memiliki darah keturunan dari ayah/ibu/nenek/kakek-nya. Ada yang sejak awal memang sudah menjadi WNI (seperti Elkan Baggott) dan ada juga yang awalnya WNA, lalu menjadi WNI (seperti Jay Idzes, Sandy Walsh, dan Nathan Tjoe-A-On)
- Blijvers - Blijvers mengacu pada pemain yang lahir dan tinggal di luar Indonesia serta tidak memiliki darah keturunan Indonesia dari ayah/kakek/ibu/nenek mereka. Tetapi mereka bisa mendapatkan status WNI karena nenek/kakek mereka lahir dan pernah menetap di Indonesia. Contoh: Maarten Paes.
- Naturalisasi Murni -- Pemain yang lahir sebagai WNA di luar Indonesia tanpa garis keturunan Indonesia dari ayah/ibu/nenek/kakek-nya. Pada awalnya, WNA tetapi bisa menjadi WNI karena sudah memenuhi persyaratan seperti misalnya: menetap selama lima tahun berturut-turut di Indonesia. Contoh: Marc Klok.
Lalu, Peter F. Gontha dalam salah satu poinnya juga membuat pertanyaan, "Apakah mereka mau membuang tunjangan sosial mereka di negara asal mereka begitu saja?"
Untuk itu mari kita melihatnya dari perspektif pemain keturunan itu sendiri. Semua pemain keturunan dan diaspora yang akhirnya memilih untuk membela Indonesia tentu sudah memikirkan matang -- matang keputusan yang akan mereka ambil dan mendiskusikannya dengan orang -- orang terdekat mereka seperti orang tua dan saudara. Keputusan itu pada akhirnya datang dari hati nurani mereka.
Kendati alasannya berbeda -- beda untuk setiap pemain tetapi motivasi mereka adalah sama. Merasa terpanggil untuk membela tim Garuda. Sehingga mereka pun sudah tidak memiliki penyesalan apapun.
Lihat saja bagaimana Sandy Walsh misalnya, yang sudah berusaha untuk membela timnas sejak medio 2019 ketika timnas saat itu berada pada era terpuruknya. Kendati baru terealisasi beberapa tahun kemudian, Sandy terlihat begitu senang dan dengan cepat mengintegrasikan dirinya di skuad Indonesia, dan mempelajari Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.
Saat ini pun, Sandy juga diberi tugas oleh STY untuk memandu para pemain keturunan dan diaspora yang baru bergabung supaya mereka juga bisa secepat dirinya dalam beradaptasi dengan kultur Indonesia yang membuat pergaulan antara pemain diaspora dan keturunan dengan pemain lokal Indonesia kini semakin tidak ada batas, terlihat dari banyak-nya momen -- momen yang dibagikan di media sosial.
Lalu apakah pantas harmonisasi yang rukun dan damai di tubuh timnas yang saat ini sedang berjuang bersama -- sama dianggap sebagai sesuatu yang merendahkan martabat bangsa seperti dalam poin terakhir yang Peter F. Gontha sampaikan di unggahannya? Tentu saja jawabannya adalah tidak sama sekali.
Banyak yang tidak habis pikir kepada mantan duta besar itu mengapa ia juga sampai menyatakan jika "lebih baik timnas kalah terhormat daripada menang/seri dengan banyak pemain diaspora dan keturunan". Tentu saja hasil -hasil - hasil positif yang timnas raih dengan harmoni antara pemain keturunan dan diaspora dengan pemain lokal sangat membanggakan bagi 270 juta rakyat Indonesia.
Mungkin satu -- satunya hal yang tepat dari postingan Peter F. Gontha adalah soal pembinaan pemain di Indonesia. Ya, proses scouting pemain -- pemain keturunan dan diaspora juga harus diikuti oleh pembenahan sepakbola dalam negeri terutama dari segi pembinaan seperti yang kita lihat di negara -- negara besar sepakbola dunia seperti Spanyol dan Jerman.
Untuk menciptakan hal tersebut, pertama -- tama PSSI dengan kolaborasinya dengan LIB harus menciptakan ekosistem kompetisi sepakbola di Indonesia yang kompetitif dan berjenjang mulai dari Liga 1 hingga ke level grassroots dan amatir.
Struktur kompetisi harus dibuat lebih modern dan menyesuaikan dengan kondisi Indonesia. Saat ini setelah membenahi timnas, PSSI memang sudah menargetkan akan membenahi Liga Indonesia serta membuatnya menyadi 4 kasta ditambah dengan Liga Sepakbola Putri dan Piala Liga Indonesia yang akan memperluas jaringan national pool untuk menyaring bakat- bakat lokal Indonesia yang bisa disatukan dalam satu database besar yang akan sangat membantu timnas di berbagai jenjang.Â
Untuk pelajar level SD hingga Universitas, PSSI dan LIB bisa meniru bagaimana Jepang membuat sistem kompetisi khusus untuk pelajar. Salah satu yang populer adalah Fuyu no Kokuritsu yang merupakan turnamen sepakbola nasional pelajar di Jepang yang dimana banyak pemandu bakat dari J-League 1 memantau bakat -- bakat potensial di sana.
Bahkan tidak usah jauh -- jauh ke Jepang, di negeri sendiri, di cabang olahraga yang berbeda, yakni basket, sudah ada turnamen antar SMA Indonesia yaitu DBL yang selalu sukses melahirkan bakat -- bakat baru di basket Indonesia.
Selain itu, PSSI juga harus merevisi total kurikulum sepakbola nasional yang harus diikuti oleh SSB di seluruh Indonesia sebagai standar. Hal ini meliputi teknik dasar sepakbola, manajemen sepakbola, kedisiplinan dalam sepakbola, dan lain sebagainya. Apa yang sudah ditujukan oleh Shin Tae Yong dan timnas hingga saat ini dapat menjadi acuan untuk PSSI dalam menciptakan blueprint kurikulum sepakbola yang lebih kompetitif untuk kedepannya.
Dan yang terakhir, adalah semua stakeholder pengembangan sepakbola Indonesia juga harus kompeten dan bersih dari segala macam kepentingan yang mengancam kemajuan sepakbola nasional.
Akhir kata, sepakbola saat ini sudah menjadi semakin dinamis di era modern saat ini yang membuat kita pun juga harus bisa mengikuti dan beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan yang ada, bukannya malah terjebak di masa lalu dan merutuki keadaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H