Mohon tunggu...
William Kertha Adi Tama
William Kertha Adi Tama Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer/Tiktok Content Creator/History and Football Enthusiasts

Halo, nama saya William Kertha Adi Tama, saat ini saya berkarier sebagai freelancer di dunia penulisan dan penerjemahan sekaligus menyalurkan minat saya dalam dunia sejarah dan sepakbola dengan menjadi content creator di platform Tiktok dan Instagram. Di laman ini saya akan menulis tentang 2 topik tersebut dan tidak menutup kemungkinan untuk mengeksplor topik lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Perjalanan Panjang Sepak Bola Indonesia Bangkit dari Mati Suri

13 Agustus 2024   12:36 Diperbarui: 13 Agustus 2024   12:37 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erick Thohir. Sumber Gambar: Republika/Thoudy Badai

Shin Tae Yong sendiri bukanlah orang sembarangan. Pria kelahiran Yeongdeok, Korea Selatan 53 tahun yang lalu itu merupakan mantan nahkoda Tim Nasional Korea Selatan dan memimpin the Taeguk Warriors di Piala Dunia 2018. Satu hal yang mungkin masih membekas di ingatan pencinta sepakbola saat ini soal Timnas Korsel asuhan Shin saat itu adalah ketika mereka berhasil memulangkan juara dunia empat kali, Jerman di fase grup setelah mengalahkan mereka dengan skor 2-0. Tidak hanya itu, Shin Tae Yong juga merupakan mantan pelatih klub Korsel Seonnam Ilhwa yang dimana ia berhasil mempersembahkan satu gelar Liga Champions Asia pada 2010 silam.

Shin sendiri baru mulai intens bekerja sebagai pelatih kepala timnas setelah badai Covid 19 agak mereda di pertengahan 2021 silam. Shin dihadapkan pada beberapa masalah. Yang paling utamanya adalah kebugaran fisik pemain yang dianggapnya sangat -- sangat kurang untuk level pemain timnas sehingga mereka kebanyakan mengalami keletihan dan kram di menit 60-70 yang merupakan menit- menit krusial.

Disamping itu, dari segi taktikal, STY menemukan jika bahkan level passing untuk ukuran pemain timnas pun juga masih jauh dari apa yang ia harapkan. Jika hal -- hal dasar saja mereka tidak melakukannya dengan baik, lalu bagaimana taktik dapat berjalan, begitulah kira -- kira apa yang ada di isi kepala Shin Tae Yong saat itu.

Setelah mengumpulkan analisis awal-nya, Shin kemudian merancang pola latihan fisik dan taktikal yang keras ditambah dengan menerapkan peraturan -- peraturan ketat untuk menggembleng kedisiplinan para pemain. Dalam hal ini, Shin ingin menciptakan ekosistem dimana "siapa yang bisa bertahan, maka dia yang akan bermain di Timnas".

Pada awalnya, banyak pemain yang mengaku kepayahan dan kesulitan dalam mengikuti ritme menu latihan Shin Tae Yong yang dianggap mereka sangat berat. Bahkan kasus-kasus indisipliner pun juga masih bermunculan seperti dalam kasus Nurhidayat Haji Haris, Osvaldo Haay, Serdy Ephy Fano, Yudha Febrian, dan Rifad Marasabessy yang tak segan nama -- nama mereka dicoret STY dari pemusatan latihan karena berbagai macam alasan terutamanya perihal keterlambatan hadir.

Tetapi seiring berjalannya waktu, para pemain timnas sudah terbiasa dengan latihan -- latihan keras dan intens tersebut serta kedisiplinan diri mereka pun semakin meningkat. Para pemain kini mulai sadar untuk menjaga pola makan mereka dan berinisiaitif untuk melakukan peningkatan fisik secara mandiri.

Ada juga kebijakan unik dan juga berani yang dilakukan oleh Shin Tae Yong yakni memotong satu generasi pemain timnas dengan menyiapkan generasi baru timnas yang diisi oleh nama -- nama seperti Witan Sulaeman, Egy Maulana Vikri, Asnawi Mangkualam, Rizky Ridho, Pratama Arhan, Ernando Ari, Marselino Ferdinan, dan sebagainya.

Sebagai akibatnya, nama -- nama seperti Stefano Lilipaly, Evan Dimas, Hansamu Yama, Ezra Walian, Ryuji Utomo, dan Nadeo Argawinata yang sempat menjadi tulang punggung timnas perlahan -- lahan tersingkir. Sebuah perjudian yang bisa dikatakan berjalan dengan sangat sukses hingga saat ini.

Kendati demikian, Shin merasa jika Timnas Indonesia masih membutuhkan tenaga para pemain diaspora dan keturunan grade A yang bermain di luar negeri untuk lebih mendongkrak performa timnas di berbagai level kompetisi.

Sejatinya, Shin ingin Indonesia tidak hanya berbicara banyak di level Asia Tenggara saja namun juga di level Asia. Kehadiran pemain keturunan dan diaspora juga diharapkan dapat menjadi role model bagi pemain lokal untuk meningkatkan diri mereka lebih dari sebelumnya dan membuat persaingan yang sehat di tubuh timnas.

Kemudian scouting PSSI dan tim pelatih timnas mulai menyortir beberapa nama. Sebelumnya, Indonesia pun sudah sering melakukan hal semacam ini namun, pemain -- pemain yang dinaturalisasi ada kalanya sudah lewat masa emas-nya ataupun memang bukan pemain dengan kualitas Grade A sehingga PSSI memutuskan untuk lebih hati -- hati kali ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun