Mohon tunggu...
William Gunawan
William Gunawan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Pundit dan Dokter. Sedang berdomisili di Mandori, Biak-Numfor

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diplomasi Kesehatan Natuna

17 Mei 2024   17:34 Diperbarui: 17 Mei 2024   17:34 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Eksistensi kedaulatan adalah keniscayaan. Dia harus dibangun atas asas kepercayaan dan kepedulian. Jika tidak, akan banyak gesekan konflik yang tadinya hanya potensi menjelma menjadi kenyataan. Perlu mitigasi yang tepat dari negara. Dia harus benar-benar hadir untuk melindungi kelompok rentan yang berada di sana.


Adalah Natuna yang menjadi sorotan dunia internasional. Ia terletak pada posisi 1016' Lintang Utara sampai 7019' Lintang Utara dan 105000' Bujur Timur. Natuna memiliki luas perairan sebesar 262.197,07 km2 dan luas daratan seluas 2001,3 km2. Juga terdapat setidaknya 154 pulau yang mana sebanyak 27 Pulau telah berpenghuni dan sisanya tidak berpenghuni.


Natuna tidak hanya sebagai kepulauan, tetapi juga menjadi kawasan rebutan di kawasan Laut China Selatan. Gangguan itu hadir dari sebuah negara yang ingin menjadi bagian dari kekuatan dunia, yakni Tiongkok. Natuna diklaim adalah bagian dari wilayah Tiongkok berdasarkan The Nine-Dash Line atau Sembilan Garis Terputus.


Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Inggra Parandaru dalam Kompaspedia (dimuat pada 17 April 2024) menuliskan bahwa Tiongkok menerbitkan peta pada Desember 1947. Isinya adalah tak hanya memuat kepulauan-kepulauan utama, tetapi juga sebelas garis putus-putus yang meliputi hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan. Kemudian, dua garis putus-putus dihilangkan sehingga menjadi sembilan (nine dash line). Berdasarkan peta yang rilis pada tahun 1950-an ini Tiongkok mengklaim kawasan kepulauan Spratly dan Paracel.


Tiongkok mengambil dasar acuan sejarah. Bukti pertama berasal dari artefak arkeologis semasa Dinasti Han sekitar 206-220 sebelum Masehi. Bukti lainnya berdasarkan catatan kapal laut Inggris yang menyebut Kepulauan Spratly (Nansha) dan Kepulauan Paracel (Xisha) telah ada di peta mereka sejak tahun 1430.


Intinya adalah keberadaan The Nine-Dash Line ini untuk mempertegas kekuasaan territorial maritim Tiongkok di kawasan Laut Cina Selatan. Akan tetapi, klaim ini menjelma menjadi isu yang rumit dan kontroversial. Pelan-pelan, ia menjadi sumber ketegangan dan konflik di wilayah tersebut pada tahun-tahun berikutnya.


Menggertak Kekuatan Superpower


Melihat pergeseran kekuatan berbagai negara sangat menarik. Bagaimana misalnya kekuatan tersebut tidak lagi berpusat kepada Rusia dan Amerika Serikat. Dunia hari ini dihadapkan dengan rasa puas diri Amerika Serikat, hasrat ekspansi Tiongkok, dan pamer kekuatan militer Rusia. Tentu, ini menghadirkan sebuah keputusan politik untuk Indonesia.


Dari tahun ke tahun, berbagai negara di dunia menaikkan anggaran militer. Mereka berkuat untuk menancapkan kuku imperialis. Amerika Serikat dengan sekutunya sibuk berhitung untuk membangun kekuatan sebagai negara powerful. Kita lihat bagaimana pangkalan militer berada di mana-mana.


Belum lama ini Amerika Serikat tengah menjajaki membangun pangkalan militer di Filipina. Jauh sebelumnya, Amerika Serikat kembali mengaktifkan kekuatan di Pulau Guam. Darwin milik Australia sudah penuh dengan kekuatan militer USA.


Kawasan Laut Cina Selatan tidak sendiri menjadi milik perebutan dari Tiongkok dan ASEAN. Ini menjadi seksi untuk kepentingan internasional. Politik global hari ini adalah perebutan kepentingan bisnis.


Kunci menjadi negara penguasa dunia adalah menguasai pundi-pundi bisnis energi. Timur Tengah yang kaya akan sumber energi fosil tidak lepas dari kepentingan USA. Hal ini juga terjadi di kawasan Laut Cina Selatan.


Dalam jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia yang berjudul Geopolitik Laut Cina Selatan: Strategi Diplomasi Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Politik Wilayah ASEAN dinyatakan bahwa kekayaan Sumber Daya Alam kawasan Laut Cina Selatan sudah dieksplor oleh perusahaan USA sejak tahun 1970. Tercatat dalam Asministrasi Informasi Energi dari Amerika Serikat memperkirakan bahawa ada sekitar 11 milyar barel minyak dan 190 trilliun kaki kubik cadangan gas alam di Laut Cina Selatan, terkhusus di Pulau Spartly.


Lain halnya, di kepulauan Paracel, pulau yang menjadi sengketa antara Vietnam dan Tiongkok. Diperkirakan terdapat 0,1 trillun kaki kubik gas alam.


Natuna sendiri memiliki sekitar 500 juta barel minyak mentah dan cadangan gas dari 222 trilliun kaki kubik gas alam cadangan. Selain itu, potensi laut menghadirkan kurang lebih 500000 ton ikan per tahun. Pun juga, sebagian besar jalur kapal dagang melewati akses Laut Cina Selatan.


Potensi ekonomi internasional ini coba untuk dikuasai oleh Tiongkok. Dengan hadirnya The Nine-Dash Line menciptakan dominasi kuasa baik secara ekonomi maupun militer. Padahal, Tiongkok sudah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Laws of the Sea -- UNCLOS) pada tahun 1982 di mana tidak mengenal hak negara tertentu untuk mengklaim kedaulatan atas sebagaian atau keseluruhan Laut Cina Selatan.

Menghadirkan Militer Kesehatan


Perang bisa saja terjadi. Ia adalah ekspresi politik. Puncak tidak ditemukan solusi masalah. Tentu saja, Indonesia ikut terjepit. Kondisi sandwitch memaksa kita untuk melakukan akselerasi pembangunan sarana militer.


Kebijakan itu tentu tidak efektif dan efisien. Fokus pembangunan belum usai. Proyek pemindahan Ibukota Negara. Juga bagaimana solusi untuk mengontrol perbaikan gizi.


Kita tidak akan pernah tahu kapan perang akan datang. Tidak ada negara yang benar-benar siap untuk itu. Akan tetapi, perlu pertimbangan panjang untuk berani melangkah sampai sejauh itu. Amerika Serikat sendiri sedang memantau perang antara Israel-Palentina dan Rusia-Ukraina.


Perang bukan sebuah perkara mudah. Negara yang bertikai akan memiliki utang yang akan sulit dan lama dilunasi. Belum lagi banyaknya korban yang berjatuhan, kerusakan wilayah yang diakibatkan perang, dan naiknya suhu iklim yang makin merusak alam dan Bumi. Kelompok rentan akan sulit memulihkan kesehatan mental. Membangun pendidikan murid tidak segampang sebab harus mendata ulang berapa jumlah guru atau yang sanggup mengajar.


Seandainya, skenario perang itu terjadi. Di mana Indonesia harus berdiri dan pembangunan militer apa yang harus menjadi prioritas?
Kaki Indonesia harus berpijak kepada kemanusiaan. Perang akan selalu mendatangkan korban manusia. Ia adalah wujud bencana semesta. Mitigasi perang adalah membangun rasa nyaman dengan saling mendukung pembangunan antar negara regional.
Indonesia juga harus memperhatikan pembangunan kesehatan di kawasan Natuna. Ia adalah potensi titik panas konflik perang di kawasan Laut Cina Selatan. Apalagi, hampir seluruh wilayah Perbatasan dan Kepulauan menjadi anak tiri dari negara. Pembangunan signifikan jarang sekali dirasakan.


Pelajaran bagaimana kita kecolongan memperhatikan perbaikan sector kesehatan. Ia adalah bagian vital dari pertahanan negara. Euforia pertumbuhan ekonomi tiba-tiba tidak berdampak apa-apa dihadapan pandemi Covid-19. Kita kelimpungan mencari bantuan. Bahkan, untuk sebiji masker kita mesti mencari ke luar negeri.


Pembangunan kesehatan berupa alat medis dan obat-obatan tidak bisa dipinggirkan. Andil diplomasi kesehatan juga bisa dibuatkan Kerjasama dengan negara tetangga yang membutuhkan pengobatan dengan peralatan canggih. Kapal-kapal medis militer Indonesia juga bisa berkeliling kawasan ASEAN untuk mengobati negara tetangga yang berada di kepulauan perbatasan.


Jalan itu mungkin masih panjang. Butuh komitmen dari negara untuk sampai ke sana. Kita tentu tidak cukup dengan berdoa untuk mencegah terjadi perang. Kesehatan juga salah satu bentuk diplomasi untuk mitigasi perang.

DAFTAR PUSTAKA


1. Madina Maimuna, dkk. (2017). Manajemen Kesehatan Masyarakat di Pulau Natuna dalam Rangka Penguatan Pertahanan Negara. Jurnal Program Studi Manajemen Pertahanan. 3 (1), 21-37.


2. Rene Johannes. (2023). Peningkatan Ketegangan Geopolitik di Laut Cina Selatan. Jurnal Lemhannas RI. 11 (4), 211-218.


3. Ogi Nanda,dkk. (2021). Geopolitik Laut Cina Selatan: Strategi Diplomasi Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Politik Wilayah ASEAN. Jurnal Lemhannas RI, 9 (4), 25-42.


4. Pandaru I. (2024, April 17). Sengketa Laut China Selatan dan Ancaman Kedaulatan Indonesia. Kompaspedia. Diakses dari https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sengketa-laut-china-selatan-danancaman-kedaulatan-indonesia


5. Elbegdorj Tsakhia, diwawancarai oleh Gita Wirjawan, Mei 2024. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=JKrJdX4BFQQ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun