Mohon tunggu...
William Gunawan
William Gunawan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Pundit dan Dokter. Sedang berdomisili di Mandori, Biak-Numfor

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diplomasi Kesehatan Natuna

17 Mei 2024   17:34 Diperbarui: 17 Mei 2024   17:34 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kunci menjadi negara penguasa dunia adalah menguasai pundi-pundi bisnis energi. Timur Tengah yang kaya akan sumber energi fosil tidak lepas dari kepentingan USA. Hal ini juga terjadi di kawasan Laut Cina Selatan.


Dalam jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia yang berjudul Geopolitik Laut Cina Selatan: Strategi Diplomasi Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Politik Wilayah ASEAN dinyatakan bahwa kekayaan Sumber Daya Alam kawasan Laut Cina Selatan sudah dieksplor oleh perusahaan USA sejak tahun 1970. Tercatat dalam Asministrasi Informasi Energi dari Amerika Serikat memperkirakan bahawa ada sekitar 11 milyar barel minyak dan 190 trilliun kaki kubik cadangan gas alam di Laut Cina Selatan, terkhusus di Pulau Spartly.


Lain halnya, di kepulauan Paracel, pulau yang menjadi sengketa antara Vietnam dan Tiongkok. Diperkirakan terdapat 0,1 trillun kaki kubik gas alam.


Natuna sendiri memiliki sekitar 500 juta barel minyak mentah dan cadangan gas dari 222 trilliun kaki kubik gas alam cadangan. Selain itu, potensi laut menghadirkan kurang lebih 500000 ton ikan per tahun. Pun juga, sebagian besar jalur kapal dagang melewati akses Laut Cina Selatan.


Potensi ekonomi internasional ini coba untuk dikuasai oleh Tiongkok. Dengan hadirnya The Nine-Dash Line menciptakan dominasi kuasa baik secara ekonomi maupun militer. Padahal, Tiongkok sudah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Laws of the Sea -- UNCLOS) pada tahun 1982 di mana tidak mengenal hak negara tertentu untuk mengklaim kedaulatan atas sebagaian atau keseluruhan Laut Cina Selatan.

Menghadirkan Militer Kesehatan


Perang bisa saja terjadi. Ia adalah ekspresi politik. Puncak tidak ditemukan solusi masalah. Tentu saja, Indonesia ikut terjepit. Kondisi sandwitch memaksa kita untuk melakukan akselerasi pembangunan sarana militer.


Kebijakan itu tentu tidak efektif dan efisien. Fokus pembangunan belum usai. Proyek pemindahan Ibukota Negara. Juga bagaimana solusi untuk mengontrol perbaikan gizi.


Kita tidak akan pernah tahu kapan perang akan datang. Tidak ada negara yang benar-benar siap untuk itu. Akan tetapi, perlu pertimbangan panjang untuk berani melangkah sampai sejauh itu. Amerika Serikat sendiri sedang memantau perang antara Israel-Palentina dan Rusia-Ukraina.


Perang bukan sebuah perkara mudah. Negara yang bertikai akan memiliki utang yang akan sulit dan lama dilunasi. Belum lagi banyaknya korban yang berjatuhan, kerusakan wilayah yang diakibatkan perang, dan naiknya suhu iklim yang makin merusak alam dan Bumi. Kelompok rentan akan sulit memulihkan kesehatan mental. Membangun pendidikan murid tidak segampang sebab harus mendata ulang berapa jumlah guru atau yang sanggup mengajar.


Seandainya, skenario perang itu terjadi. Di mana Indonesia harus berdiri dan pembangunan militer apa yang harus menjadi prioritas?
Kaki Indonesia harus berpijak kepada kemanusiaan. Perang akan selalu mendatangkan korban manusia. Ia adalah wujud bencana semesta. Mitigasi perang adalah membangun rasa nyaman dengan saling mendukung pembangunan antar negara regional.
Indonesia juga harus memperhatikan pembangunan kesehatan di kawasan Natuna. Ia adalah potensi titik panas konflik perang di kawasan Laut Cina Selatan. Apalagi, hampir seluruh wilayah Perbatasan dan Kepulauan menjadi anak tiri dari negara. Pembangunan signifikan jarang sekali dirasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun