Setiap manusia memiliki ingatan. Ia tersimpan rapat-rapat di dalam otaknya. Bak museum, itu dapat dikunjungi sewaktu-waktu. Tetapi, siapa sangka pintu museum itu diketuk oleh salah seorang yang pernah menghadirkan ingatan itu di masa lampu.
Perempuan itu berambut sepanjang bahu. Penglihatannya tajam. Senyum indah jarang terlihat di bibirnya. Impiannya cuman satu, yakni bagaimana meraih penghargaan Nobel.
Masa kecil dihabiskan di Korea Selatan. Nora sudah terlihat kompetitif. Ia selalu menjadi yang terbaik di sekolah. Akan tetapi, ia gagal menjadi terbaik. Temannya, Hae Sung, mengalahkannya satu kali.
Mereka menjadi saingan. Benih kagum tumbuh mekar. Saingan sekaligus cinta. Nora kecil curhat kepada sang ibu. Kelak ia ingin menikahi Hae Sung.
Mimpi itu gagal terwujud. Keluarga Nora pindah keluar negeri. Kenyamanan hidup di Korea Selatan ditinggalkan. Sang ayah sebagai sutradara dan ibu sebagai aktris ingin mencari tantangan baru. Juga mewujudkan mimpi Nora untuk meraih Nobel. Mereka terbang menuju Kanada.
Nora tumbuh besar. Ia mengambil sebuah studi drama. Banyak sekali naskah dihasilkan selama belajar di luar negeri. Perlahan-lahan, ia melupakan Korea Selatan.
Percakapan sehari-harinya menggunakan bahasa Inggris. Ia hanya menggunakan bahasa Korea Selatan saat bercakap dengan ibunya. Lalu, percakapan dengan ibu mengantarkan kepada ingatan masa kecil. Hae Sung menjadi bahan pembahasan mereka.
Ia ingat dengan bocah laki-laki yang mengalahkannya. Rasa rindu bermekaran. Ternyata, Hae Sung juga mencarinya lewat kolom komentar halaman facebook milik film ayah Nora.
Komunikasi terjalin di antara mereka. Mereka bukan lagi anak kecil yang saling mengagumi. Dua orang dewasa yang saling mencintai. Keduanya saling memperhatikan satu sama lain. Saling mempedulikan.
Nora tidak lagi mengingat menulis naskah drama. Hae Sung pun demikian. Seluruh waktu dihabiskan sebab dimabuk cinta. Sampai pada akhirnya, luapan rasa ingin jumpa muncul.
Harapan itu menemui jalan buntu. Hae Sung masih ingin mengejar impian mengunjungi Tiongkok. Nora juga dalam waktu dekat tidak ingin berkunjung ke Korea Selatan. Kekecewaan itu membuat mereka pisah untuk sementara waktu. Mereka menyimpan janji akan bertemu lagi.
Film Past Lives menghabiskan dana sebanyak 12 juta dolar USA. Ia tidak hanya menghadirkan romansa, tetapi juga memperlihatkan bagaimana perjuangan seorang perempuan untuk naik kelas. Juga rasa bangga sebagai bangsa Korea Selatan.
Tidak banyak film Korea Selatan yang menghadirkan kebanggaan sebagai seorang perempuan. Apalagi citra sebagai perempuan yang setara dengan laki-laki. Kebanyakan drakor (drama korea) menggambarkan perempuan adalah yang paling harus mengurus segala urusan domestikasi. Urusan domestik yang menjebak.
Tidak jarang pula, perempuan adalah hiasan dari kesuksesan laki-laki. Rupa mereka harus cantik, langsing, dan penuh dengan kemewahan. Nyaris, hiasan ini tidak mempunyai isi kepala. Tidak jarang, mereka lebih rebut dengan perselingkuhan dibandingkan gagasan besar.
 Past Lives berbeda. Sang pencerita menghadirkan perempuan yang naik kelas. Tidak cengeng. Lebih meributkan gagasan. Ide-ide besar itu tertumpah berserakan dalam naskah drama.
Selain itu, ia setara dengan laki-laki. Nyaris tidak akan kita dapati Nora menyuguhkan masakan untuk laki-laki. Ia betul-betul mewah duduk sama tinggi dengan laki-laki Eropa untuk bertukar gagasan. Tidak ada citra sebagai seorang perempuan yang terjebak dalam urusan domestik.
Kesetaraan kelas memang hanya tumbuh di tempat yang mengizinkan untuk tumbuh. Dia bermekaran. Keputusan orang tuanya tepat untuk meninggalkan Korea Selatan. Hidup mereka terjebak dengan rutinitas, kenyamanan hidup, dan melupakan impian besar. Lompat keluar agar dapat naik kelas.
Keputusan tepat lainnya adalah saat melupakan Hae Sung. Baginya, cinta bukan sesuatu yang membelenggu. Mereka terpenjarakan dalam nikmat mabuk. Saling memperhatikan dan mempedulikan. Ia lupa untuk menulis naskah-naskah drama. Ide-ide besar tidak hadir lagi. Ambisi besar meraih penghargaan Nobel tertunda sementara waktu.
Ia pun melepaskan belenggu. Menaruhnya dalam ingatan. Menguncinya tanpa ingin mengunjungi sementara waktu. Ia berjalan lagi. Mengkhianati impian masa kecil yang diceritakan ke ibunya. Ia menggenggam uluran tangan laki-laki lain. Menunggunya di seberang jalan. Lalu menjelma menjadi sebuah rumah yang hangat buat Nora.
Perempuan itu tidak bergeming. Hae Sung datang. Ia mengetuk pintu museum ingatan itu sekali lagi. Nora terlanjur sudah berjalan jauh sekali. Bocah laki-laki itu cukup sebagai ingatan yang perlu diantar pulang menuju bandara.Â
Â
Pada titik ini, dia bisa memilih untuk ikut pulang ke Korea Selatan. Namun, tempat itu hanya persinggahan. Bukan sebagai tempat hangat buat memelihara ide besar untuk perempuan. Di sana, maskulinitas laki-laki tumbuh subur.
Perempuan itu lebih memilih tetap di New York. Hidup bersama Arthur. Â Tempat yang dipercaya bahwa gagasannya akan dipelihara. Bukan tempat pertengkaran hari ini akan makan apa dan bagaimana terjebak dalam rutinitas mencari uang.
Nora melawan dengan memilih. Tidak harus dengan mengangkat senjata. Ataupun melakukan aksi protes.
Tindakan kecil itu menegasikan sebuah perlawanan. Bagi seorang perempuan yang memiliki pengetahuan. Mungkin ia tidak pernah dengan sadar memilih bangsanya. Pilihan bangsa terberi dengan sendirinya saat lahir. Namun, ia memiliki pilihan.
Ia tetap berbahasa Korea Selatan. Ttinggal di New York dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa keseharian. Akan tetapi, igauannya tetap menggunakan bahasa Korea Selatan. Artinya, ada sesuatu yang rahasia di dalam pikiran manusia yang tidak bisa disentuh untuk mengubah bangsa seseorang. Semahal apapun bayarannya. Walaupun harus mengganti nama sekalipun. Identitas bangsa itu ikut berjalan sejauh mana sang pemilik melangkah pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H