Malam Terakhir, begitu judul kumpulan cerita pendek Leila S. Chudori yang diukir dengan huruf-huruf berwarna putih. Buku setebal 117 halaman itu memuat 9 cerita. Tepat di halaman 19 dengan huruf besar hitam terukir judul ADILA.
Adila menatap dirinya di cermin, menggunakan kutang di atas tumpukan baju di badannya. Di hadapannya, buku Summerhill - Judul yang diambil dari sebuah nama sekolah yang unik di Suffolk, Inggris - pemberian dari ayahnya. Dekat buku itu, sekaleng baygon, perona bibir dan pensil alis melengkapi meja rias tersebut.
Diakhir cerita Adila, tulisan Jakarta, 10 Juni 1989. Mungkin tanggal lahir cerpen itu lahir atau mungkin tanggal peristiwa naas Adila terjadi.
Sebab sekaleng minuman baygon lalu khayalan kesendirian Adila sirna. Yang tersisa hanya dua. Pertama, jenazah Adila yang berwarna biru diselimuti dengan kain putih sebatas leher. Kedua, pekikan menyeramkan bersama teman khayalan kesendirian Adila.
"Untuk kemerdekaan kita..."
"Untuk kebebasan kita..."
"Untuk Adila!"
Mereka menenggak dengan penuh semangat. Cairan baygon yang sudah lama berdiri tegak. Tertuang di gelas Adila bersama teman khayalannya, Neill, Ursula, dan Stephen juga menenggak pergi.
***
Ruang imajiner sebuah tulisan adalah pertemuan ruang ideal penulis dan ruang fisik realitas. Potret dunia hari ini memiliki garis tegas perpisahan kepekaan antara anak-anak dan orang tua. Kesenjangan perjumpaan ini terjadi semata-mata perebutan struktur kelas orang tua di masyarakat kita hari ini.
Lihat saja anak-anak menjadi korban ambisi demi perebutan kemuliaan etalase sosial. Anak-anak dipaksa mengikuti bimbingan belajar sampai kelelahan. Tujuannya hanya untuk menjadi bintang pelajar terbaik, ataupun mewujudkan impian agar bisa berada di profesi yang orang tua mereka inginkan.
Dunia anak-anak dipersempit demi kepentingan prestise kelas si orang tua. Tidak jarang ada banyak juga di antara mereka menjadi dewasa secara prematur. Menjadi pengkhotbah cilik di atas panggung bersorot kamera dan lampu.
Pandangan berjuta pasang mata menyaksikan mereka bertarung dalam acara kompetisi mencari bakat. Mungkin tidak sekeras dan semenakutkan dibanding anak-anak yang terjebak dalam aksi begal. Bahkan, mereka lebih ceria dibanding anak-anak yang bekerja di bawah terik matahari demi sesuap nasi. Ada berwujud pekerjaan buruh, pengamen, hingga diakomodir menjadi pengemis.
Seorang pemikir bernama Ishak Ngeijarata membahasakan manusia memiliki proses cari dan temu sesuatu hingga kematian menghentikan proses itu. Itulah manusia yang berubah dan berkembang lewat proses. Dalam wujud lain dengan makna yang sama, hidup manusia adalah proses tanya dan jawab yang hanya berakhir pada maut sebagai penyudah proses. Inilah yang dinamakan dengan a life-long process.
Proses ini hanya bisa terjadi melalui interaksi antara anak-anak dan orang tua. Kegiatan yang terjadi bukan hanya sekedar memberi makan ataupun mencukupkan hidupnya. Bukan juga perjumpuaan sekaligus perpisahan, orang tua berangkat kerja sementara anak masih tidur.
Bahkan tidak jarang anak-anak saat ini lebih nyaman diasuh oleh pengasuh dibandingkan orang tuanya sendiri. Dunia yang begitu sempit nan sepi.
Mari munculkan satu pertanyaan. Mengapa ada dua pasangan berlawanan jenis berani mempertemukan perbedaan kelamin tersebut. Saling beradu ketangkasan dan erangan. Padahal setelahnya, mereka harus mengurusi zigot yang akan bertumbuh. Entah menjadi manusia paripurna itu urusan belakangan.
Penulis jadi ingat di akhir cerita pendek itu, si ibu memaki tubuh yang terbujur kaku. "Kutang itu harganya 30 dollar. Kutang kesayanganku. Dan alat-alat rias itu, Dila itu semua harganya ratusan dollar. Dan sepatu Itali itu, bagaimana kau bisa berani-beraninya menyentuh benda mahal itu, Dila?"
Iya, penutup ini bukan hanya berada di dalam cerita pendek saja. Dia menembus dan tepat berada di dalam realita ini. Sudah banyak orang tua hari ini yang berada pada kenyamanan simbol kesenangan.
Yah, ruang temu mereka bersama anak-anak adalah wujud kematian secara sosial. Mungkin benar kata Faisal Oddang, jika tidak ada lagi yang bisa kau selamatkan dari hidup ini, kematian akan membantumu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H