Oleh: Willem Wandik S.Sos
Para pejuang Anti-Rasisme "Tanah Papua" yang masih mendekam dalam "jeruji penjara negara", mereka diantaranya Agus Kossay di tuntut 15 Tahun penjara, Henky Hilapok di tuntut 5 Tahun Penjara, Alex Gobay (Ketua BEM USTJ) di tuntut 10 Tahun penjara, Seteven Italy, Ferry Kombo (Ketua BEM Uncen), Buchtar Tabuni, dan Irwanus Uropmabin.. Mereka ber-7 saat ini mendekam di Penjara negara, di wilayah Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimatan Timur..Â
Kami mengajak kepada seluruh umat Tuhan di Tanah Papua (dari dataran gugusan pulau, dataran pantai, wilayah lembah, hutan dan pegunungan) yang berada dalam rumah yang aman "safe house", maupun dalam tempat pengungsian di wilayah wilayah basis operasi militer di Tanah Papua, untuk mendoakan kebebasan 7 anak-anak muda pemberani ini dari "hukuman pengadilan dunia yang rasis"..Â
Sebagai representasi politik Tanah Papua di Parlemen RI, kami meminta kepada Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, yang mengadili "masyarakat kami" dengan tuntutan pidana makar, mulai dari 5 tahun hingga tuntutan 15 tahun penjara, untuk mengikuti "preseden" Putusan PN Jakarta Pusat dengan membebaskan para pejuang rasisme "Tanah Papua" dari tuntutan hukum yang rasis..Â
Kami juga tentunya menaruh apresiasi yang begitu besar, kepada Hakim Majelis di PTUN Jakarta Pusat, yang telah memutus bersalah Pemerintah, dalam hal ini "Presiden dan Menteri Kominfo" sebagai tergugat, dalam gugatan "Class Action" menuntut perbuatan melawan hukum negara, yang telah memutus akses internet "shutdown internet" di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) ketika aksi menuntut keadilan atas perlakuan rasisme di Kota Surabaya pada Agustus - September 2019 silam, meluas dihampir semua kota-kota utama di Tanah Papua.Â
Kemarahan elemen rakyat dan pejuang hak asasi manusia di Tanah Papua, yang dipelopori oleh pergerakan kalangan pemuda, elemen mahasiswa, dan bersatunya elemen masyarakat di akar rumput, pada demonstrasi menuntut keadilan atas "perlakuan rasis" sejumlah ormas/oknum aparat di Kota Surabaya terhadap Mahasiswa asal Tanah Papua, harus dilihat sebagai "reaksi sosial dengan latarbelakang isu yang serius"..Â
Kita mengenal Amerika Serikat sebagai negara dengan sistem demokrasi yang cukup "tua" di dunia, pada hari ini mengalami kerusuhan sosial di berbagai kota dan negara bagian, yang juga dipicu oleh aksi rasisme officer polisi di Minneapolis yang menewaskan seorang warga kulit hitam "keturunan Afro American" bernama George Floyd..
Ucapan rasisme di Kota Surabaya, pada 2019 silam, memicu kemarahan "warga kulit hitam, berambut keriting" ras melanesia, yang merupakan penduduk indigenous "pribumi" di Tanah Papua.. Ucapan rasisme di Kota Surabaya, mungkin tidak terlihat membunuh satupun "orang Papua".. Namun, "akar rasisme" itu tergambar dalam sejarah panjang "tragedi berdarah" yang menumpuk utang darah -air mata (mereka yang tewas terbunuh) dimana Republik memiliki "kewajiban konstitusional- melindungi segenap tanah tumpah darah dan seluruh rakyat indonesia", dan janji konstitusional itu masih "belum terpenuhi" di Tanah Papua..Â
In recent years, Tragedi penembakan dan pembunuhan terhadap warga sipil di Tanah Papua sejak era Operasi Trikora 1961-1962, referendum PEPERA 1969, hingga memasuki 21 tahun usia reformasi di masa saat ini, terus memperlihatkan jejak-jejak pertumpahan darah di Tanah Papua..Â
Itulah yang mendasari, mengapa gerakan anti terhadap simbol-simbol negara terus menguat di kalangan pemuda di Tanah Papua..Â
Melalui mimbar "mikrobolog" ini, kami ingin mengingatkan sekali lagi, mengutip pernyataan seorang wanita Afro American bernama"Tamika Mallory" dalam sebuah orasi "menuntut keadilan atas kematian Mr. George Floyd di USA beberapa hari yang lalu, dia mengatakan "so looting is what you do, we learned it from you"..Â
Yang artinya "jadi penjarahan yang anda lakukan (terhadap tanah Amerika, native Amerika, terhadap Black People di masa-masa yang lalu/slavery black people), kami belajar semuanya dari anda"..Â
Reaksi kemarahan elemen pergerakan mahasiswa, yang ditunjukkan dengan berbagai aksi demonstrasi yang terjadi di bulan Agustus - September 2019 yang lalu, merupakan manifestasi dari "kekerasan rasial yang terus berulang di Tanah Papua dan terus meluas hingga ke luar Tanah Papua (termasuk di tempat study anak anak Papua, dan jejak genetika kekerasan itu, telah mengajarkan banyak hal kepada generasi muda di Tanah Papua, untuk melakukan gerakan sosial, melawan tindakan rasisme dengan perjuangan simbolik, yang justru menghantarkan para pemuda ini ke jeruji penjara..Â
Apakah bedanya, tuntutan hukum dipengadilan negeri di Republik ini, terhadap warga negara yang merdeka, yang menuntut keadilan atas perlakuan diskriminatif dan rasis, baik terhadap "riwayat" kekerasan bersenjata yang telah banyak menewaskan "orang-orang kulit hitam dan berambut keriting" diatas tanahnya sendiri, "dibandingkan" sejarah perjuangan kaum pemuda Indonesia menentang "diskriminasi rasial" dan praktek kolonialisme Penjajah Eropa di Indonesia pada masa "prakondisi" revolusi kemerdekaan 1945?.. Wa Wa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H