Oleh: Willem Wandik S.Sos
Setelah sekian lama, dunia membiarkan "genetika kekerasan rasisme" yang bertahan selama ribuan tahun, terus hidup ditengah tengah kehidupan masyarakat dunia, terutama, terus dipraktekkan dalam "kekuasaan alat negara" (baca: kekerasan aparat keamanan)..
Karena pelakunya adalah "Officer atau petugas /alat kekuasaan negara" yang memiliki motto "to protect and to serve", yaitu melindungi dan melayani, seolah olah menjadi "garansi" bahwa hukum, keadilan, perlindungan dan pelayanan hadir bersama aparat keamanan..
Rakyat diseluruh dunia, terlalu "puas" dan terlena dengan "demokrasi" yang hanya diberikan kepada proses "elektoral" memilih pemimpin politik, dengan harapan, hak hak nya sebagi warga negara dapat di lindungi oleh kekuasaan yang dihasilkan oleh rakyat..
Namun, yang dilupakan adalah tujuan rakyat menyerahkan mandat kekuasannya kepada Otoritas Negara, yaitu to protect and to serve human life, yakni melindungi dan melayani kehidupan manusia, sebagai hak warga negara yang absolut (hak hidup tidak bisa kurangi, karena pemberian Tuhan Sang Maha Pencipta)..
Para petugas keamanan yang memegang lencana "hukum", lupa bahwa, kehadiran mereka untuk melindungi hidup manusia, bukan menjadi mesin pembunuh, yang merampas nyawa manusia.. telebih lagi, dengan alasan "this by order", ini atas perintah..
Atas Perintah siapa? Bukankah Konstitusi mengajarkan, bahwa perintah tertinggi adalah melindungi kehidupan manusia..
Hukum hanyalah alat "konsensus" yang diciptakan oleh kumpulan warga negara, untuk melindungi kepentingan bersama, bukan atas dasar order kekuasaan..
Tuhan telah membuka mata "masyarakat dunia", dengan kematian Mr. George Floyd yang sangat tragis.. Disaksikan oleh jutaan masyarakat dunia yang bisa mengakses "live streaming" di perangkat internet, bagian dari "rasa kemanusiaan" kita pun terusik sangat dalam, ketika seorang pria "kulit hitam" dipaksa tewas, dengan mengucapkan kalimat.. MAMA... I CAN'T BREATHE ..
Solidaritas pun mengalir di seluruh dunia, insiden ini bukan hanya menyakitkan bagi "citizen Amerika" tetapi juga menyakitkan bagi kemanusiaan di seluruh dunia..
Momentum Pandemi Covid 19, yang banyak merenggut nyawa manusia, membuat dunia mendadak menjadi "Tempat Karantina terbesar" di sepanjang sejarah kehidupan manusia..
Setiap Negara, warga masyarakat, di berbagai belahan dunia manapun, berusaha untuk "againts" dan survive dari Pandemi Covid..
Musuh yang menakutkan bernama Covid 19, dapat mengakibatkan kematian yang fatal, dengan membuat penderitanya "Can't Breathe"/ "Tidak bisa bernafas"..
Entah menjadi "presden" yang terjadi secara kebetulan, kematian Akibat Covid 19 dan kematian Mr. Geroge Floyd akibat perlakuan rasis, sama sama mengakibatkan "can't breathe".. yang pada akhirnya, menghentikan aliran darah dan oksigen ke organ vital manusia (terutama jantung dan otak) dan pada gilirannya, mengakibatkan kematian permanen..
Pada kasus Mr. Floyd, Dunia bisa belajar, bahwa kematian akibat rasisme sama berbahayanya dengan Covid 19..
Dan peristiwa kematian akibat rasisme di Tanah Papua, juga menjadi "peristiwa" yang terus berulang tanpa tindakan yang nyata untuk memperbaiki sikap mental para petugas keamanan atau menegakkan "tuntutan hukum" kepada personil aparat yang membunuh warga sipil di Tanah Papua..
Seperti dalam kasus Mr. Floyd, polisi yang terlibat dalam kematian Mr. Floyd, di berhentikan dari jabatannya, dan di dakwa dengan pembunuhan tingkat 3 oleh Jaksa Negara di wilayah negara bagian.. Wa Wa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H