Inilah sumber masalah, yang harus dipahami, dan mengerti dengan "akal sehat", jika hal itu masih dimiliki oleh Republik ini. Ingat dengan seksama, bahwa Holland/Belanda menjajah Pulau Jawa itu selama 350 Tahun, itu bukan waktu yang singkat untuk sebuah aksi kolonialisme terhadap orang Indonesia-Jawa.Â
Namun, apakah orang orang Holland/Belanda sepenuhnya jahat kepada Indonesia? bisa kita lihat warisan peninggalan Belanda yang masih berdiri hingga saat ini dipulau Jawa, berupa peninggalan Jalur Rel Kereta Api yang melingkar diseluruh daerah Jawa, warisan perkebunan yang sangat luas dan pusat pusat industri yang sampai hari ini terus berevolusi sesuai kebutuhan zaman, Belanda mengajarkan kepada Indonesia sistem pemerintahan modern (bagaimana mengolah pajak, kepemilikan properti, membentuk lembaga pengadilan, merapikan birokrasi setingkatÂ
Gubernur/Bupati, dan lain sebagainya). Namun mengapa Indonesia ingin merdeka dari Holland/Belanda? karena orang orang Belanda membangun seluruh infrastruktur, kepentingan birokrasi, pemerintahan, perpajakan, ekonomi, untuk melayani kepentingan orang orang belanda.Â
Disinilah letak persoalan yang harus sama sama dipahami, oleh orang orang OAP dan Non OAP, terutama pandangan menyeluruh antara "Pemangku" Kebijakan Pemerintah Daerah dan "Pemangku" Kebijakan Pemerintah Pusat, bahwa orang orang asli Papua menghendaki, "ada sisipan roh nasionalisme" yang dapat dipahami oleh mereka, dengan hadirnya pembangunan di Tanah Papua.
Jangan yang justru terjadi, pembangunan akan terus dilakukan, namun, dalam waktu yang bersamaan membiarkan orang orang asli Papua, menjadi penonton, duduk dikursi bangku cadangan, tidak pernah menendang bola, dengan alasan kompentensi.Â
Putera-puteri Tanah Papua disingkirkan dari persaingan (rekrutmen ASN, menempati jabatan strategis, ingat Jabatan Gubernur/Bupati/Wali Kota itu jabatan Politis, bukan itu maksud saya, tetapi lebih pada pengakuan negara terhadap partisipasi OAP dalam tugas dan tanggung jawab professional), bahkan yang banyak memenangkan tender proyek infrastruktur, bukan berasal dari orang orang daerah.
Dan inilah salah satu yang menjadi benang merah, mengapa Istaka Karya mengalami nasib naas di daerah Nduga. Mereka yang tidak paham dengan kondisi sosio-kultural daerah tempatan, justru salah menempatkan sikap, dianggap terlalu ikut campur pada urusan politis non proyek, yang pada gilirannya menjadi korban pembunuhan dari kelompok TPN.
Dengan demikian, dalam kesempatan yang terhormat ini, ijinkan saya untuk menyampaikan, mari kembali kecita-cita "back to homeland", kembali ke Tanah Air yang kita kenali sebagai rumah yang nyaman, sejuk, indah, menyenangkan, mendamaikan, adil untuk semua, aman untuk semua, dan seluruh hak asasi warga negara diakui dan dilindungi oleh Negara.
Oleh: Willem Wandik, S. Sos (Anggota DPR RI, Dapil Provinsi Papua)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H