Orang Orang Asli Papua harus merasakan "roh nasionalisme" itu kedalam hati dan pikiran mereka, bukan sekedar mengajarkan doktrin yang tidak mereka kenali, bahkan bertolak belakang dengan apa yang dapat ditangkap oleh "pancaindra" mereka dalam kehidupan sehari hari.
Tentunya, "yang ingin diketahui dan diuji" oleh setiap akal sehat, setiap isi kepala dari orang orang asli Papua, bahwa apakah "nasionalisme" yang diajarkan dalam doktrin itu, dapat membuat mereka, hidup dengan aman, tenteram, tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi, tidak menjadi subyek yang dieksploitasi, bahkan mendapatkan jaminan atas hak hidup yang dimilikinya.Â
Inilah "diskursus" mendasar, yang harus kami sampaikan kepada seluruh elemen Partai Politik yang hadir dalam acara ini. Agar kita tidak selalu "terlihat stupid" menggunakan dalil nasionalisme untuk membenarkan perbuatan yang sama sekali jauh dari "realitas yang dirasakan oleh rakyat OAP" di Tanah Papua.
Ideologi selanjutnya adalah Religiusitas, yang berusaha menghantarkan "idealisme Ketuhanan" kepada seluruh manusia yang beragama di Tanah Papua. Saya meyakini bahwa semua agama mengajarkan "nilai-nilai kemanusiaan universal". Lebih dari itu, Agama bukanlah sekedar "obat penenang" bagi para penderita penyakit mental "skizofrenia".Â
Ketika kita bermasalah, bebuat dosa, berbuat jahat, maka penyesalan atas kesalahan dan dosa itu, membuat kita membutuhkan obat bernama agama. Itu adalah pandangan yang menghina "Agama dan nilai-nilai religiusitas".
Agama adalah sistem nilai yang kompleks, berasal dari sang Pencipta, alfa dan omega, yang merupakan awal dan akhir, maka tidak ada sesuatu nilai pun di alam dunia ini, termasuk yang sedang kita perdebatkan dalam hubungan Pusat- Tanah Papua, Â tidak dalam kekuasaan-Nya, semuanya "eksis" karena kuasa Tuhan. Ini adalah deklarasi keimanan saya berdasarkan keyakinan saya kepada ajaran Injil, dan filsafat yang saya kagumi, Hegelian-isme.
Agama dapat berfungsi sebagai "master control" moral dan cara berperilaku yang sangat efektif, ditengah-tengah ambisi manusia yang tidak pernah terbatas, sedangkan segala daya upaya manusia terbatas sifatnya (finite), maka nilai religiusitas dibutuhkan sebagai penyeimbang dan control, agar manusia bisa mengenali jati dirinya secara paripurna, dan mengikuti sikap "idealis" ajaran-ajaran Agama, untuk menciptakan keteraturan dan kepatuhan di masyarakat.
Dalam konteks Tanah Papua, saya mengingatkan kepada seluruh "pemuka agama", jadilah "lentera/suluh" yang menerangi "keimanan" dan "kepercayaan" umat kepada nilai nilai "kemanusiaan" dan "kebenaran".Â
Tentunya kita tidak ingin menjadikan lembaga keagamaan, sebagai lembaga "juru bicara ketidakadilan", kita tidak harus berbicara bahwa surga itu berada ditingkat tertinggi bersama Tuhan, tetapi kita pula harus meyakinkan, dalam tahapan empiris, keduniawian bahwa Manusia Harus Menciptakan Surga Kehidupan di Muka Bumi dimana dia bertempat tinggal.
Gambaran surga yang diimpikan oleh manusia, adalah kehidupan yang nyaman, aman, tenteram, tidak miskin, memiliki kebebasan, dapat mengaktualisasikan diri secara merdeka, dan lain sebagainya, perlu kita wujudkan di Tanah Papua.Â
Maka dengan alasan itu pula, kita patut berbicara atas nama Tuhan, kepada siapapun yang menghuni singgasana kekuasaan di Pemerintah Pusat, bahwa mereka tidak perlu memberi hadiah yang terlampau indah ke rakyat OAP di Tanah Papua, janji akan infrastruktur yang bagus, jalan yang membelah bukit, gunung dan lembah, tol laut dan tol udara, namun, manusia asli Papua justru hidup dalam tekanan, ketakutan, kemiskinan, perampasan hak ulayat, dan bahkan tidak terjamin hak hidupnya.