Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Forkopimda: Lukas Enembe Berbicara Dihadapan TNI, Polri, dan Kejaksaan

29 Desember 2018   11:56 Diperbarui: 29 Desember 2018   12:23 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara konsisten dan tanpa keragu-raguan, Gubernur menyampaikan pesan tegas, tidak ambigu, dan berpura pura kepada delegasi TNI, Polri, Kejaksaan yang hadir di forum rapat Pemerintah Daerah Provinsi Papua. 

Sayangnya, perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Staf Ahli Presiden tidak ikut serta dalam kegiatan ini. Menjadi sebuah contoh yang belum pernah dilakukan oleh pemimpin manapun di Republik ini, bahwa seorang Gubernur merelakan "Jabatannya Untuk Dicabut" oleh Pemerintah Pusat, untuk melindungi "civil rights" bagi rakyat yang dipimpinnya, sekalipun wilayah "Nduga" memiliki Kepala Daerah "Bupati" yang bertanggung jawab secara vertikal kepada Gubernur dan Pemerintah Pusat.

Memang tidak ada seorangpun pejabat negara yang berani menyatakan sikap ketika "seruan dan tekanan publik di Jakarta dan daerah daerah lainnya" bereaksi atas peristiwa penembakan pekerja Istaka Karya, yang juga di perkuat dengan dukungan "perintah" Presiden dan Ketua DPR RI, untuk melakukan operasi militer di wilayah Nduga.

Inilah yang dibutuhkan oleh negeri ini, mengedepankan akal sehat dan sensitifitas terhadap masalah "kemanusiaan" yang dihadapi oleh rakyat. Kita tidak bisa membayangkan, ketika Gubernur tidak menggunakan "hak dan wewenang" yang diberikan oleh UU kepadanya, dirinya memilih untuk berdiam diri, menutup mata dan telinga, dengan alasan yang mungkin semua orang dapat memakluminya, "Gubernur Terpaksa Mengenyampingkan Nuraninya, untuk melindungi kepentingan Jabatannya", justru hal tersebut "tidak dilakukan oleh Gubernur". 

Berapa banyak, pejabat daerah, ketika dalam proses pemilu, mengumbar janji, menjadi "pelindung" kepentingan rakyat, namun ketika terpilih, dan menduduki "singgasana" kekuasaan, justru terserang virus "amnesia, lupa dengan janji janji politik ketika berkampanye, dan memilih untuk menumpuk kekayaan, serta melupakan kepentingan utama rakyatnya, yaitu "hadirnya negara ditengah tengah rakyat, untuk melindungi  hak asasi rakyatnya".

Pemerintah Pusat, seharusnya merasa malu,  dengan Pengetahuan yang terbatas, terkait akar konflik di Tanah Papua, atau memang selama ini "Pusat Tidak Pernah Paham Dengan Dinamika Konflik di Tanah Papua, karena bagi Pusat, cukup dengan membuat regulasi atau undang undang, serta membahas anggaran tahunan yang akan di distribusikan ke Tanah Papua, dan pada gilirannya, Pusat Mengklaim "mereka telah berbuat 1000% bagi rakyat di Tanah Papua". 

Dalam konflik Nduga, Tuhan benar benar bekerja untuk membuka "kebenaran" yang selama ini tersembunyi dihadapan ratusan juta penduduk Indonesia, bahwa Pusat seolah olah menjadi "Big Boss", yang bisa memaksakan otoritasnya kepada Daerah, tanpa pernah memberikan kesempatan kepada Daerah untuk memberikan "penilaian" apakah sikap Negara telah bersesuaian dengan Aspirasi Masyarakat di Tanah Papua.

Ketika Gubernur dengan "jujur" menyampaikan "keprihatian" OAP terkait "dampak negatif pelaksanaan operasi militer di daerah Nduga", justru Pusat menyikapinya dengan pikiran yang negatif, penuh kecurigaan, dan bahkan dengan ancaman "akan memecat Gubernur".

Ini adalah peristiwa yang sangat memalukan bagi negara, dimana ada seorang pejabat negara di level Provinsi, telah bekerja untuk menjalankan Pancasila dan Konstitusi Negara, untuk melindungi keselamatan warga negara, lantas diancam dengan sanksi "pemecatan".

Yang perlu diketahui oleh Pusat, bahwa Dana Otsus tidak bisa membeli nyawa manusia OAP, Jabatan yang dimiliki oleh Gubernur tidak biaa membeli nyawa manusia OAP, bahkan Tembok, aspal, bangunan yang kalian sebut "infrastruktur" tidak bisa membeli nyawa manusia OAP.

Inilah sikap sejati seorang Pemimpin yang belum tentu 100 tahun dimasa mendatang, akan ada orang yang sama, seperti "dedikasi dan pengabdian yang diberikan oleh Lukas Enembe, kepada Negara, Rakyat dan Kemanusiaan di Tanah Papua.

Oleh: Willem Wandik, S. Sos (Anggota DPR RI Dapil Papua)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun