Secara konsisten dan tanpa keragu-raguan, Gubernur menyampaikan pesan tegas, tidak ambigu, dan berpura pura kepada delegasi TNI, Polri, Kejaksaan yang hadir di forum rapat Pemerintah Daerah Provinsi Papua.Â
Sayangnya, perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Staf Ahli Presiden tidak ikut serta dalam kegiatan ini. Menjadi sebuah contoh yang belum pernah dilakukan oleh pemimpin manapun di Republik ini, bahwa seorang Gubernur merelakan "Jabatannya Untuk Dicabut" oleh Pemerintah Pusat, untuk melindungi "civil rights" bagi rakyat yang dipimpinnya, sekalipun wilayah "Nduga" memiliki Kepala Daerah "Bupati" yang bertanggung jawab secara vertikal kepada Gubernur dan Pemerintah Pusat.
Memang tidak ada seorangpun pejabat negara yang berani menyatakan sikap ketika "seruan dan tekanan publik di Jakarta dan daerah daerah lainnya" bereaksi atas peristiwa penembakan pekerja Istaka Karya, yang juga di perkuat dengan dukungan "perintah" Presiden dan Ketua DPR RI, untuk melakukan operasi militer di wilayah Nduga.
Inilah yang dibutuhkan oleh negeri ini, mengedepankan akal sehat dan sensitifitas terhadap masalah "kemanusiaan" yang dihadapi oleh rakyat. Kita tidak bisa membayangkan, ketika Gubernur tidak menggunakan "hak dan wewenang" yang diberikan oleh UU kepadanya, dirinya memilih untuk berdiam diri, menutup mata dan telinga, dengan alasan yang mungkin semua orang dapat memakluminya, "Gubernur Terpaksa Mengenyampingkan Nuraninya, untuk melindungi kepentingan Jabatannya", justru hal tersebut "tidak dilakukan oleh Gubernur".Â
Berapa banyak, pejabat daerah, ketika dalam proses pemilu, mengumbar janji, menjadi "pelindung" kepentingan rakyat, namun ketika terpilih, dan menduduki "singgasana" kekuasaan, justru terserang virus "amnesia, lupa dengan janji janji politik ketika berkampanye, dan memilih untuk menumpuk kekayaan, serta melupakan kepentingan utama rakyatnya, yaitu "hadirnya negara ditengah tengah rakyat, untuk melindungi  hak asasi rakyatnya".
Pemerintah Pusat, seharusnya merasa malu, Â dengan Pengetahuan yang terbatas, terkait akar konflik di Tanah Papua, atau memang selama ini "Pusat Tidak Pernah Paham Dengan Dinamika Konflik di Tanah Papua, karena bagi Pusat, cukup dengan membuat regulasi atau undang undang, serta membahas anggaran tahunan yang akan di distribusikan ke Tanah Papua, dan pada gilirannya, Pusat Mengklaim "mereka telah berbuat 1000% bagi rakyat di Tanah Papua".Â
Dalam konflik Nduga, Tuhan benar benar bekerja untuk membuka "kebenaran" yang selama ini tersembunyi dihadapan ratusan juta penduduk Indonesia, bahwa Pusat seolah olah menjadi "Big Boss", yang bisa memaksakan otoritasnya kepada Daerah, tanpa pernah memberikan kesempatan kepada Daerah untuk memberikan "penilaian" apakah sikap Negara telah bersesuaian dengan Aspirasi Masyarakat di Tanah Papua.
Ketika Gubernur dengan "jujur" menyampaikan "keprihatian" OAP terkait "dampak negatif pelaksanaan operasi militer di daerah Nduga", justru Pusat menyikapinya dengan pikiran yang negatif, penuh kecurigaan, dan bahkan dengan ancaman "akan memecat Gubernur".
Ini adalah peristiwa yang sangat memalukan bagi negara, dimana ada seorang pejabat negara di level Provinsi, telah bekerja untuk menjalankan Pancasila dan Konstitusi Negara, untuk melindungi keselamatan warga negara, lantas diancam dengan sanksi "pemecatan".
Yang perlu diketahui oleh Pusat, bahwa Dana Otsus tidak bisa membeli nyawa manusia OAP, Jabatan yang dimiliki oleh Gubernur tidak biaa membeli nyawa manusia OAP, bahkan Tembok, aspal, bangunan yang kalian sebut "infrastruktur" tidak bisa membeli nyawa manusia OAP.
Inilah sikap sejati seorang Pemimpin yang belum tentu 100 tahun dimasa mendatang, akan ada orang yang sama, seperti "dedikasi dan pengabdian yang diberikan oleh Lukas Enembe, kepada Negara, Rakyat dan Kemanusiaan di Tanah Papua.