Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ilusi 51% Saham Freeport: 10% Untuk Tanah Papua di Luar Kontrak

14 Juli 2018   18:28 Diperbarui: 14 Juli 2018   18:54 2284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wakil Bangsa Papua -- Pertemuan yang dilakukan di Gedung Kementerian Keuangan RI, yang dihadiri oleh Presdir Freeport McMoran bersama sejumlah Menteri, diantaranya Menkeu, Menteri ESDM, Menteri LHK, beserta Dirut PT. Inalum, pada tanggal 12 Juli 2018 yang telah menandatangani Head Of Agreement (HOA) yang digadang-gadang oleh media sebagai peralihan saham 51% PT. Freeport Indonesia ke Pemerintah Indonesia.

Apakah benar seperti itu? mari kita lihat skema divestasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bahwa dalam aturan pelaksanaan divestasi yang diterbitkan oleh Pemerintah, memberikan beberapa "guideline" menyangkut kewajiban pelepasan saham kepada Peserta Indonesia (Pemerintah Pusat, Daerah, BUMN, BUMD, Swasta Nasional). Yang perlu diketahui, bahwa tahapan pelepasan saham PT. Freeport Indonesia yang dikuasai 90,64% (McMoran dan afiliasinya di Indocopper), yang diharapkan akan memberikan akumulasi 51% saham PT. FI ke pihak Indonesia, masih menyisakan banyak pertanyaan penting.

Pernyataan sejumlah elit nasional, yang menyebutkan pelepasan 51% saham PT. FI ke pihak Pemerintah, perlu dikoreksi, sebab yang melakukan pembelian saham di PT. FI adalah PT. Inalum Persero (berstatus BUMN dengan kewajiban Tender Offer), dan status PT. Inalum sendiri sebagai Pemegang Saham Pengendali 3 BUMN Pertambangan lainnya (ANTM, PTBA, TINS) masih memiliki masalah dengan kewajiban "Tender Offer" kepada Pemegang Saham Minoritas (bisa jadi siapa saja, termasuk swasta nasional/asing yang membeli saham ke-3 emiten BUMN tersebut) sebagaimana yang dijelaskan oleh Dirut Bursa Efek Indonesia.

Sekalipun terdapat perbedaan pandangan dengan sikap OJK, yang memandang PT. Inalum tidak perlu melakukan kewajiban "Tender Offer", yang mendasari pada alasan  bahwa peralihan status ke 3 BUMN dibawah Holding Inalum, tidak merubah pengendalian di 3 BUMN tersebut (sekedar menjadi anak BUMN).

Kami pun meyakini, bahwa sejumlah elit nasional sedang mempersiapkan Inalum, sebagai "bahtera nabi noah" untuk menampung kepentingan sejumlah kepentingan elit partai, konglomerasi, untuk secara diam-diam memiliki saham Freeport melalui "wacana Tender Offer" terhadap saham PT. Inalum (terbaca dari pernyataan Dirut PT. BEI)

Lalu, bagaimana model penyerahan saham PT. Freeport Indonesia yang nantinya akan diserahkan ke Pemerintah Daerah (Provinsi Papua dan Pemda Mimika). Sampai sejauh ini, satu satunya pegangan bagi Tanah Papua terkait rencana divestasi saham 10% kepada Pemprov Papua dan Pemda Mimika adalah berbentuk MoU yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Pihak Kementerian BUMN (Pemerintah Pusat), beserta Dirut PT. Inalum pada tanggal 12 Januari 2018.

Setelah melihat dua momentum penting, yang terjadi disepanjang Tahun 2018, yaitu penandatanganan MoU bersama Pemprov Papua, Pemda Mimika di tanggal 12 Januari 2018 terkait penyerahan 10% saham ke daerah dan penandatanganan HoA bersama Presdir Freeport McMoran di tanggal 12 Juli 2018 terkait penyerahan 51% saham ke pihak Indonesia (catatan: bukan Pemerintah Pusat, sebagaimana klaim sejumlah elit nasional).

Maka, yang menjadi pertanyaan pentingnya, bagaimana Undang-Undang mengatur pelepasan saham tersebut? sebab, sebagai negara berdaulat, Pemerintah Indonesia berdiri sebagai regulator yang berhak mengatur penatalaksanaan kegiatan "perijinan" pertambangan, yang dilaksanakan di wilayah hukum negaranya.

Ternyata dalam aturan pelaksanaan divestasi yang dirilis oleh Pemerintah pada tanggal 18 Januari 2017, bahwa pelepasan saham atau yang dikenal dengan istilah divestasi saham PT. Freeport Indonesia (yang dikuasi 90,64% oleh Freeport McMoran) dilaksanakan setelah PT. FI menjalankan ketentuan perijinan berbentuk IUPK, bukan berbentuk Kontrak Karya sebagaimana yang berlaku sejak pemberian perpanjangan KK fase kedua pada tahun 1991 -- 2021 yang berlangsung selama 30 Tahun. Yang artinya, "status quo" kepemilikan saham PT. Freeport Indonesia yang masih dikuasai 90,64% oleh McMoran akan masih dimiliki oleh perusahaan Amerika tersebut, setidak-tidaknya sampai 5 tahun pertama pasca pemberlakuan perijinan berbentuk IUPK di tahun 2027.

Maksudnya seperti apa? mengapa peralihan saham Freeport baru dapat dilaksanakan pada tahun 2027? sebab, ketentuan Pasal 2 ayat 1 terkait aturan pelaksanaan divestasi saham yang diterbitkan oleh Pemerintah, menerangkan bahwa "pemegang IUPK Produksi dalam rangka PMA setelah 5 tahun pasca produksi (yang artinya pada tahun keenam) memiliki kewajiban melakukan divestasi tahap pertama 20% saham yang dikuasi oleh Freeport McMoran". Kemudian pada tahun ketujuh wajib melepaskan saham 30%, pada tahun kedelapan 37%, pada tahun kesembilan 44%, pada tahun kesepuluh pelepasan saham menggenapi 51%.

Sehingga informasi yang dihari ini beredar begitu sangat viral di media-media nasional, yang seolah-olah melegitimasi hasil pertemuan pada tanggal 12 Juli bersama Presdir Freeport McMoran dalam konteks HoA di Gedung Kementerian Keuangan, seolah-olah telah menyerah-terimakan saham 51% kepada Pemerintah. Padahal penyerahan saham untuk pertama kali akan terjadi setidak-tidaknya pada tahun 2027 mendatang. Bisa dipastikan presiden Jokowi sekalipun, tidak akan mengalami penyerahan saham pada tahap pertama sebesar 20% sekalipun terpilih kembali untuk periode kedua kalinya.

Dengan demikian, informasi penyerahan saham sebesar 51% yang diberitakan oleh banyak media, merupakan sekedar informasi pendahuluan yang akan menjadi pegangan dalam pelepasan saham yang baru akan terjadi setidak-tidaknya ditahun 2027 mendatang.

Yang menjadi pertanyaan penting lainnya, yang perlu untuk dijawab oleh elit nasional, bagaimana bentuk penyerahan saham 10% kepada Tanah Papua, dimana dalam klausul perpanjangan Kontrak PT. FI untuk fase ke 3 tersebut, hanya menyebutkan pelepasan saham 51% yang akan diserahkan kepada PT. Inalum dari kepemilikan saham mayoritas Freeport McMoran? secara sederhana, peralihan dari rezim kontrak karya ke rezim IUPK hanya menyebutkan klausul perjanjian 51% kepada Pemerintah Pusat/Inalum, sedangkan posisi penyerahan 10% saham ke Tanah Papua bukan bagian dari isi kontrak dalam rezim perijinan PT. FI terbaru. Apalagi bentuk "action" dalam rencana penyerahan saham 10% kepada Tanah Papua, hanya diatur dalam bentuk Memorandum of Understanding, bukan diikat dalam bentuk Peraturan Perundang-Undangan.

Sebab melihat hubungan kedua entitas, baik hubungan perjanjian bisnis antara Pemerintah Pusat/yang diwakili oleh Inalum bersama Freeport McMoran, maupun bentuk kesepakatan antara Pusat dan Daerah, berada dalam posisi yang berbeda. Hubungan perjanjian dalam kegiatan investasi/bisnis yang dilakukan antara Pusat/Inalum bersama McMoran sejatinya tunduk pada prinsip Pasal 1338 KUHPerdata, dimana hasil kesepakatan yang dibentuk diantara keduanya, akan menjadi undang-undang bagi kedua belah pihak.

Terlebih lagi, pihak McMoran juga wajib tunduk terhadap UU Minerba yang mewajibkan pemegang ijin IUPK untuk menyerahkan saham kepada pihak Indonesia. Sedangkan, hubungan Pemerintah Pusat dalam hal ini PT. Inalum sebagai "holding" BUMN Pertambangan dalam konteks pelepasan saham 10% masih tidak diikat oleh regulasi manapun, sehingga berpotensi untuk disalahgunakan dikemudian hari. Bahkan sebagian para tokoh di Tanah Papua pun merasa khawatir, jika nasib divestasi saham PT. FI yang sedianya akan diserahkan ke Pemda Provinsi Papua dan Pemda Mimika, akan bernasib sama dengan perebutan kepentingan sejumlah korporasi swasta nasional di paket divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara yang menjadi polemik bertahun-tahun.

Dengan demikian, melalui kesempatan ini, kami mengingatkan kepada Pemerintah Pusat, maupun kepada McMoran, untuk tidak menghianati pemberian saham 10% kepada Tanah Papua. Terlebih lagi, panjangnya mekanisme pelepasan saham yang akan dijalani oleh McMoran, yang secara efektif akan mulai berlaku di tahun ke 6 pasca penerapan perijinan IUPK diberikan.

Kami, rakyat dan bangsa Papua, akan terus mencermati, setiap detail pelaksanaan divestasi saham, termasuk, ketika terdapat potensi penyalahgunaan, berupa, tindakan yang secara sengaja "mendelusi" kepemilikan saham Tanah Papua di PT. FI melalui berbagai alasan yang dibuat-dibuat. Bahkan, jika rakyat dan bangsa Papua menghendaki, sesungguhnya, cadangan emas Grasberg yang dikuasai oleh Freeport, tidak perlu untuk dibeli oleh Tanah Papua, karena sejatinya "resources" tersebut milik rakyat dan bangsa Papua.  

Litbang WillemWandik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun