[caption caption="praktek monopoli sumber daya alam di Tanah Papua (sumber tulisan: willemwandik.com, sumber gambar: galley freeport)"][/caption]
Wakil Bangsa Papua – Praktek sentralisasi dan monopoli kebijakan Pusat atas pengelolaan sumber daya alam di daerah telah lama menjadi sumber masalah yang menimbulkan kesenjangan dan sumber ketergantungan daerah terhadap Pusat (praktek subsidi pusat). Ketika arus otonomi daerah ramai-ramai diributkan oleh masyarakat daerah, Pemerintah Pusat lalu terlihat menyalahkan pelaksanaan desentralisasi yang hanya menghabiskan anggaran pusat. Otoritas pusat lupa, bahwa selama ini Pusat memonopoli sumber-sumber pendapatan strategis di daerah-daerah, sehingga tidak ada kesempatan bagi masyarakat di daerah untuk membangun daerahnya sendiri yang bersumber dari kekayaan alam yang melimpah di daerah.
Praktek sentralisasi pusat dapat dilihat dalam pengelolaan sumber daya migas, dalam kasus blok migas Masela yang diributkan oleh sejumlah Kementerian. Kegaduhan yang ditimbulkan olehnya menunjukkan bagaimana otoritas pusat merasa paling berhak untuk merencanakan strategi bisnis dalam pengelolaan migas di blok Masela, Provinsi Maluku. Lembaga Kementerian yang merasa paling berhak tersebut, justru mendesain kebijakan pengembangan bisnis yang menjauhkan pembangunan hilirisasi industri migas (pembangunan kilang LNG) dari masyarakat sekitar, dengan tawaran untuk mengembangkan kilang dengan metode offshore (lepas pantai). Hal ini didasarkan yang katanya sebagai hasil studi dan riset efisiensi pengembangan bisnis kilang yang dikaji oleh SKK MIGAS bersama pihak kontraktor bernama INPEX MASELA Ltd. Otoritas pusat bersama-sama pihak investor justru lupa, bahwa kekayaan alam yang terdapat di suatu kawasan juga menyertai aspek sosiologis-ekonomis kemasyarakatan yang turut terpengaruh di daerah pengembangan bisnis tersebut. Aneh rasanya jika dalam tawaran pengembangan bisnis yang mengelola sumber daya alam, justru menafikan kepentingan masyarakat sekitar yang sumber daya alamnya dieksploitasi secara besar-besaran oleh kepentingan investor dan Pemerintah Pusat.
[caption caption="aset Inpex dan milik pemerintah di blok Masela (sumber: SKK MIGAS 2015)"]
Berdasarkan grafik 1 diatas, tampak data pengelolaan aset migas di kawasan blok Masela yang terletak di Laut Arafura, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Pengelolaan blok migas di kawasan blok Masela, bukanlah proses investasi yang baru dikerjakan di periode 2016 ini, sebab kontraktor INPEX MASELA, Ltd telah beroperasi dikawasan ini sejak penandatanganan kontrak PSC migas pada Tahun 1998. Hingga hari ini, luasan wilayah yang dikelola oleh pihak INPEX dikawasan blok Masela mencapai 4.291,35 km². Adapun total aset yang dimiliki oleh kontraktor INPEX MASELA, Ltd di blok migas Masela pada Tahun 2014 mencapai 1299,75 Ribu USD atau mencapai 1,29 Juta USD. Sedangkan total pengalihan aset yang telah dimiliki oleh Pemerintah (kategori PPBMN) di blok Migas Masela mencapai 493,73 Ribu USD atau sebesar 0,49 Juta USD (sumber: SKK MIGAS 2015).
Setelah beroperasi kurang lebih 17 Tahun (sejak kontrak PSC di bulan November 1998) akhirnya pihak kontraktor INPEX tidak ingin terburu-buru meninggalkan kawasan blok migas yang memiliki cadangan gas yang melimpah tersebut, dengan berusaha melakukan ekspansi bisnis melalui pembangunan fasilitas kilang gas terbesar di kawasan ini. Setidak-tidaknya selama 17 Tahun, kontraktor INPEX berada dalam pengawasan dan pembinaan otoritas migas nasional (sebelum 2002 oleh Pertamina, dan setelah 2002 oleh BPMIGAS/SKK MIGAS) yang telah mengetahui secara persis pola bisnis migas yang banyak dikuasai oleh praktek monopoli dan mafia migas.
Sehingga tidak mengherankan jika usulan dari internal SKK MIGAS terhadap pengembangan bisnis pengilangan gas di blok Masela melalui Kementerian ESDM kepada Presiden Jokowi, justru dengan mekanisme pembangunan kilang secara terapung diatas laut. Konsep ini dikenal dengan model Floating Liquefied Natural Gas (FLNG) yang dikerjakan secara offshore (lepas pantai). Pro-kontra pembangunan kilang gas secara offshore (lepas pantai) kemudian menimbulkan polemik, terutama melihat dampaknya secara ekonomi bagi masyarakat di daerah eksplorasi dan eksploitasi blok migas tersebut. Wilayah laut Arafura sebagai lokasi blok Migas Masela merupakan wilayah terluar dari republik ini yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste (berbatasan kawasan perairan) dan berbatasan dengan negara Australia (juga berbatasan dengan kawasan perairan).
Pembangunan kawasan perarian dan kepulauan diseluruh Indonesia, selama ini menjadi contoh nyata buruknya distribusi pembangunan yang hanya memprioritaskan pembangunan kawasan ekonomi yang tersentralisasi di Pulau Jawa. Apalagi kawasan perairan laut Arafura merupakan wilayah perbatasan dan terluar di sebelah barat daya Provinsi Maluku, yang juga jauh dari sentuhan pembangunan infrastruktur. Ketika para pebisnis migas melalui otoritas pusat mengusulkan rencana pembangunan kilang migas secara offshore (lepas pantai), bisa dipastikan hal itu tidak bertujuan untuk membangun desa-desa terpencil di kawasan perairan Arafura yang selama ini mengalami masalah miskinnya pembangunan infrastruktur dan jauh dari perhatian Pemerintah Pusat.
Presiden Jokowi telah memutuskan untuk memilih pembangunan kilang dilakukan secara onshore (pembangunan kilang di daratan) dan menolak usulan proposal pihak INPEX MASELA Ltd yang juga turut di asistensi oleh SKK MIGAS yang cenderung mendorong pembangunan kilang di lepas pantai (offshore). Dalam kajian pengembangan bisnis kilang di daerah daratan, pastinya akan menimbulkan dampak pembangunan infrastruktur yang massif di daerah yang dijadikan kawasan pengembangan kilang. Hal ini turut membangun perekonomian masyarakat disekitar, dengan tersedianya pembangunan infrastruktur yang tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh Perusahaan, tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat disekitar wilayah tersebut.
Terbangunnya kilang migas tersebut, dapat menimbulkan dampak multiplayer effect pada pengembangan perekonomian masyarakat di kawasan kepulauan laut Arafura. Terbangunnya kilang di kawasan daratan kepulauan, tentunya membutuhkan suplai barang dan jasa yang nantinya dapat disediakan oleh masyarakat sekitar, dengan catatan pemain bisnis tidak dimonopoli oleh pengusaha-pengusaha dari luar yang datang dengan modal yang besar dan menyingkirkan UKM dari masyarakat lokal disekitar wilayah operasi kilang.
Harapan yang saat ini telah hadir di wilayah perairan barat daya Maluku, dengan ekspektasi hadirnya pengelolaan sumber daya alam yang tidak hanya berorientasi bisnis semata (menguntungkan pihak investor dan berorientasi pada pendapatan semata), yang justru mengabaikan faktor pengembangan ekonomi masyarakat sekitar (masyarakat di daerah penghasil), juga menjadi tantangan yang sedang dihadapi dalam upaya pengembangan bisnis pertambangan di wilayah pegunungan tengah, Tanah Papua, melalui penguasaan wilayah pertambangan PT. Freeport Indonesia.
Jika blok migas Masela telah beroperasi sejak 17 tahun lamanya, justru eksploitasi besar-besaran kekayaan mineral emas dan tembaga yang melimpah di Tanah Papua oleh PT. Freeport Indonesia telah berlangsung selama 49 Tahun lamanya (berawal dari KK Freeport di Tahun 1967 sampai Tahun 2016 saat ini). Tidak terhitung berapa keuntungan yang diperoleh oleh Perusahaan asing dan Negara dengan beroperasinya tambang emas terbesar di kawasan asia pasifik tersebut. Menjelang berakhirnya Kontrak Karya di periode ke-II di Tahun 2021, justru Pemerintah melalui agen-agen “para mafia” di Kementerian ESDM justru konsisten menawarkan agenda perpanjangan kontrak dengan prasyarat-prasyarat yang menguntungkan perusahaan asing dan kepentingan pusat semata (konsep dan kepentingan sentralisasi). Mereka pura-pura tidak mendengarkan jeritan dan suara kritis yang datang dari elemen masyarakat asli Papua dan seluruh delegasi masyarakat Papua yang duduk di lembaga-lembaga negara (baik itu Pemerintah Daerah, Dewan Perwakian Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan Dewan Perwakilan Daerah Pusat).
Sejak awal perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia hanya di desain untuk melanjutkan agenda monopoli sumber daya alam di Tanah Papua. Perlu diingat oleh publik nasional, bahwa Kontrak Karya rezim pertama PT. Freeport Indonesia diputuskan dalam era sentralisasi Orde Baru dibawah rezim Soeharto di Tahun 1967 (Soeharto telah mengendalikan kekuasaan pada tahun 1967 setelah dirinya diangkat sebagai pejabat presiden oleh MPRS, berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967). Sehingga tidak mengherankan jika 2 tahun sebelum Pepera dilaksanakan tepatnya pada Tahun 1969, justru pada Tahun 1967 Pemerintah menyetujui penguasaan gunung emas di Tanah Papua diserahkan kepada korporasi asing yang berasal dari Amerika Serikat. Terlepas dari pro-kontra penyerahan gunung emas ke tangan asing, bertujuan sebagai barter penguasa orde baru pada saat itu yang telah membantu menggulingkan Soekarno atau sebagai mahar atas persetujuan Amerika Serikat untuk mendukung Referendum Pepera pada Tahun 1969 di Tanah Papua, yang pastinya rakyat dan bangsa Papua menjadi pihak yang dirugikan hingga hari ini.
[caption caption="realisasi DBH tambang Freeport di provinsi Papua, 2014 (Sumber: Kemenkeu 2014, Audit BPK RI)"]
Berdasarkan grafik 2 diatas, terlihat betapa kecilnya kontribusi dana transfer bagi hasil pertambangan mineral (termasuk di dalamnya tambang Freeport) yang diserahkan ke daerah-daerah di Tanah Papua. Penerima terbesar dana transfer bagi hasil pertambangan mineral diterima oleh Kabupaten Mimika yang hanya mencapai Rp 495,34 Miliar, kemudian disusul oleh Provinsi Papua sebesar Rp 257,89 Miliar, Kabupaten Mamberamo Raya sebesar Rp 32,15 Miliar, Kabupaten Sarmi sebesar Rp 24,11 Miliar, Kabupaten Yahukimo sebesar Rp 22,62 miliar, Kabupaten Paniai sebesar Rp 22,43 miliar, Kabupaten Puncak Jaya sebesar Rp 20,92 Miliar, Kabupaten Pegunungan Bintang sebesar Rp 20,41 Miliar, Kabupaten Nabire sebesar Rp 20,28 Miliar, Kabupaten Waropen sebesar Rp19,60 Miliar, Kabupaten Tolikara sebesar Rp 18,90 Miliar, Kabupaten Keerom sebesar Rp 18,64 Miliar Rupiah, Kabupaten Boven Digoel sebesar Rp 18,22 Miliar, Kabupaten Jayawijaya sebesar 17,66 Miliar, dan Kabupaten Jayapura sebesar 17,63 Miliar. Adapun untuk 13 Kabupaten/Kota yang terdiri dari Kabupaten Supiori, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Puncak, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Nduga, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mappi, Kota Jaya Pura, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Biak Numfor masing-masing menerima dana transfer bagi hasil pertambangan mineral sebesar Rp 17,54 Miliar.
[caption caption="cadangan dan penjualan mineral emas dan tembaga PT. Freeport Indonesia Tahun 2014 (Sumber: Financial Statement PT. FI, Desember 2014)"]
Grafik 3 diatas, justru menunjukkan betapa besarnya cadangan proven yang dimiliki oleh PT. Freeport Indonesia di Tanah Papua yang juga disertai dengan besarnya nominal penjualan mineral utama di wilayah operasi pertambangan mereka di Tanah Papua yang terdiri dari mineral Emas (Au) dan Tembaga (Cu). Berdasarkan laporan produksi yang terkonsolidasi oleh PT. Freeport Indonesia menunjukkan di Tahun 2014 saja pihak Freeport mampu menjual 1,17 Juta Ons mineral emas di tambang Freeport dari total cadangan proven yang terkonsolidasi sebesar 28,20 Juta Ons. Sedangkan laporan penjualan mineral tembaga yang berasal dari tambang Freeport di Tanah Papua ditahun yang sama mencapai 0,66 Miliar Pound dari total cadangan proven yang terkonsolidasi sebesar 29,00 Miliar Pound. Dengan demikian bisa dibayangkan berapa akumulasi produksi mineral emas dan tembaga yang telah diambil dari perut bumi Papua yang telah berlangsung sejak operasi di Tahun 1967. Hanya Tuhan yang maha tahu bagaimana tikus-tikus serakah yang terus merampas kekayaan sumber daya alam bangsa Papua dan membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan absolute dengan praktek monopoli pusat dan mekanisme subsidi yang menghina bangsa Papua sebagai warga kelas rendahan.
Pemerintah berusaha untuk memperbaiki keadaan dan ketimpangan distribusi kesejahteraan di Tanah Papua dengan menawarkan Otsus Papua pada Tahun 2001 (dengan lahirnya Undang-Undang Osus Papua Nomor 21 Tahun 2001). Lantas pemberian Otsus sejak Tahun 2001 hingga 2016 ini, dianggap telah melayani dan mensejahterakan rakyat Papua, atas pengambil-alihan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua dengan sistem monopoli yang berlangsung sejak Tahun 1967. Dana Otsus betul-betul telah menjelma menjadi “penghinaan” terhadap eksistensi bangsa Papua. Dalam perspektif orang-orang pusat, mereka memandang rakyat dan bangsa Papua hanya sebatas kebutuhan bantuan subsidi uang dari pusat, sehingga orang-orang pusat merasa paling berhak untuk menahan, mengatur dan mengelola sendiri kekayaan gunung emas dan tembaga di Tanah Papua, dengan tidak menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kembali ke rakyat dan bangsa Papua.
Ketika berbicara landasan pembatalan opsi usulan dari SKK MIGAS dan Kementerian ESDM terhadap pengembangan kilang LNG di blok Masela Maluku dalam model offshore, dengan mempertimbangkan pembangunan masyarakat di daerah penghasil, yang bertujuan agar terjadi dampak multiplayer efek bagi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar di daerah penghasil. Justru rumus hitung-hitungan dalam perdebatan elit-elit pusat tersebut, tidak memperlakukan persoalan Freeport dalam isu yang sama yaitu didasarkan pada keinginan dan aspirasi kolektif rakyat Papua yang menghendaki impian yang sama untuk menjadi daerah yang mandiri dan berkembang. Padahal ratusan diskusi telah berusaha disampaikan oleh delegasi Pemerintah Republik di Tanah Papua kepada otoritas pusat untuk mempertimbangkan aspirasi rakyat daerah di Tanah Papua.
Pada hari ini, sudah tidak ada tawaran dari delegasi rakyat dan bangsa Papua kepada otoritas pusat. Tidak perlu berdiskusi lagi untuk merencanakan dana otsus, sudah sepatutnya rakyat Papua meminta untuk mengembalikan dana otsus ke Jakarta, sebab pemberian dana otsus diyakini sebagai alat legitimasi pusat untuk “menyombongkan diri” bertindak sewenang-wenang memonopoli kekayaan sumber daya alam di Tanah Papua. Pemberian dana otsus seolah-olah menghapus perampasan hak-hak bangsa Papua atas kekayaan alamnya sendiri dengan intrik “perebutan kekuasaan” yang berlangsung sejak Tahun 1967 silam. Tidak perlu pula otoritas Pusat ribut-ribut lagi untuk memperpanjang kontrak Freeport dengan skema sentralisasi IUPK, demikian pula dengan rencana pembangunan smelter yang akan dikerjakan bersama-sama antara Freeport-Newmont di wilayah Gresik, Jawa Timur. Tekad rakyat Papua untuk mengembalikan dana otsus dan menghapus undang-undang otsus, serta menutup semua operasi pertambangan yang dikelola oleh PT. Freeport Indonesia telah mencapai konklusi yang bersifat final. Apapun yang dilakukan oleh pusat dengan pendekatan sentralisasi, diyakini 100% bukanlah untuk kepentingan rakyat dan bangsa Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H