Jika blok migas Masela telah beroperasi sejak 17 tahun lamanya, justru eksploitasi besar-besaran kekayaan mineral emas dan tembaga yang melimpah di Tanah Papua oleh PT. Freeport Indonesia telah berlangsung selama 49 Tahun lamanya (berawal dari KK Freeport di Tahun 1967 sampai Tahun 2016 saat ini). Tidak terhitung berapa keuntungan yang diperoleh oleh Perusahaan asing dan Negara dengan beroperasinya tambang emas terbesar di kawasan asia pasifik tersebut. Menjelang berakhirnya Kontrak Karya di periode ke-II di Tahun 2021, justru Pemerintah melalui agen-agen “para mafia” di Kementerian ESDM justru konsisten menawarkan agenda perpanjangan kontrak dengan prasyarat-prasyarat yang menguntungkan perusahaan asing dan kepentingan pusat semata (konsep dan kepentingan sentralisasi). Mereka pura-pura tidak mendengarkan jeritan dan suara kritis yang datang dari elemen masyarakat asli Papua dan seluruh delegasi masyarakat Papua yang duduk di lembaga-lembaga negara (baik itu Pemerintah Daerah, Dewan Perwakian Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan Dewan Perwakilan Daerah Pusat).
Sejak awal perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia hanya di desain untuk melanjutkan agenda monopoli sumber daya alam di Tanah Papua. Perlu diingat oleh publik nasional, bahwa Kontrak Karya rezim pertama PT. Freeport Indonesia diputuskan dalam era sentralisasi Orde Baru dibawah rezim Soeharto di Tahun 1967 (Soeharto telah mengendalikan kekuasaan pada tahun 1967 setelah dirinya diangkat sebagai pejabat presiden oleh MPRS, berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967). Sehingga tidak mengherankan jika 2 tahun sebelum Pepera dilaksanakan tepatnya pada Tahun 1969, justru pada Tahun 1967 Pemerintah menyetujui penguasaan gunung emas di Tanah Papua diserahkan kepada korporasi asing yang berasal dari Amerika Serikat. Terlepas dari pro-kontra penyerahan gunung emas ke tangan asing, bertujuan sebagai barter penguasa orde baru pada saat itu yang telah membantu menggulingkan Soekarno atau sebagai mahar atas persetujuan Amerika Serikat untuk mendukung Referendum Pepera pada Tahun 1969 di Tanah Papua, yang pastinya rakyat dan bangsa Papua menjadi pihak yang dirugikan hingga hari ini.
[caption caption="realisasi DBH tambang Freeport di provinsi Papua, 2014 (Sumber: Kemenkeu 2014, Audit BPK RI)"]
Berdasarkan grafik 2 diatas, terlihat betapa kecilnya kontribusi dana transfer bagi hasil pertambangan mineral (termasuk di dalamnya tambang Freeport) yang diserahkan ke daerah-daerah di Tanah Papua. Penerima terbesar dana transfer bagi hasil pertambangan mineral diterima oleh Kabupaten Mimika yang hanya mencapai Rp 495,34 Miliar, kemudian disusul oleh Provinsi Papua sebesar Rp 257,89 Miliar, Kabupaten Mamberamo Raya sebesar Rp 32,15 Miliar, Kabupaten Sarmi sebesar Rp 24,11 Miliar, Kabupaten Yahukimo sebesar Rp 22,62 miliar, Kabupaten Paniai sebesar Rp 22,43 miliar, Kabupaten Puncak Jaya sebesar Rp 20,92 Miliar, Kabupaten Pegunungan Bintang sebesar Rp 20,41 Miliar, Kabupaten Nabire sebesar Rp 20,28 Miliar, Kabupaten Waropen sebesar Rp19,60 Miliar, Kabupaten Tolikara sebesar Rp 18,90 Miliar, Kabupaten Keerom sebesar Rp 18,64 Miliar Rupiah, Kabupaten Boven Digoel sebesar Rp 18,22 Miliar, Kabupaten Jayawijaya sebesar 17,66 Miliar, dan Kabupaten Jayapura sebesar 17,63 Miliar. Adapun untuk 13 Kabupaten/Kota yang terdiri dari Kabupaten Supiori, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Puncak, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Nduga, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mappi, Kota Jaya Pura, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Biak Numfor masing-masing menerima dana transfer bagi hasil pertambangan mineral sebesar Rp 17,54 Miliar.
[caption caption="cadangan dan penjualan mineral emas dan tembaga PT. Freeport Indonesia Tahun 2014 (Sumber: Financial Statement PT. FI, Desember 2014)"]
Grafik 3 diatas, justru menunjukkan betapa besarnya cadangan proven yang dimiliki oleh PT. Freeport Indonesia di Tanah Papua yang juga disertai dengan besarnya nominal penjualan mineral utama di wilayah operasi pertambangan mereka di Tanah Papua yang terdiri dari mineral Emas (Au) dan Tembaga (Cu). Berdasarkan laporan produksi yang terkonsolidasi oleh PT. Freeport Indonesia menunjukkan di Tahun 2014 saja pihak Freeport mampu menjual 1,17 Juta Ons mineral emas di tambang Freeport dari total cadangan proven yang terkonsolidasi sebesar 28,20 Juta Ons. Sedangkan laporan penjualan mineral tembaga yang berasal dari tambang Freeport di Tanah Papua ditahun yang sama mencapai 0,66 Miliar Pound dari total cadangan proven yang terkonsolidasi sebesar 29,00 Miliar Pound. Dengan demikian bisa dibayangkan berapa akumulasi produksi mineral emas dan tembaga yang telah diambil dari perut bumi Papua yang telah berlangsung sejak operasi di Tahun 1967. Hanya Tuhan yang maha tahu bagaimana tikus-tikus serakah yang terus merampas kekayaan sumber daya alam bangsa Papua dan membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan absolute dengan praktek monopoli pusat dan mekanisme subsidi yang menghina bangsa Papua sebagai warga kelas rendahan.
Pemerintah berusaha untuk memperbaiki keadaan dan ketimpangan distribusi kesejahteraan di Tanah Papua dengan menawarkan Otsus Papua pada Tahun 2001 (dengan lahirnya Undang-Undang Osus Papua Nomor 21 Tahun 2001). Lantas pemberian Otsus sejak Tahun 2001 hingga 2016 ini, dianggap telah melayani dan mensejahterakan rakyat Papua, atas pengambil-alihan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua dengan sistem monopoli yang berlangsung sejak Tahun 1967. Dana Otsus betul-betul telah menjelma menjadi “penghinaan” terhadap eksistensi bangsa Papua. Dalam perspektif orang-orang pusat, mereka memandang rakyat dan bangsa Papua hanya sebatas kebutuhan bantuan subsidi uang dari pusat, sehingga orang-orang pusat merasa paling berhak untuk menahan, mengatur dan mengelola sendiri kekayaan gunung emas dan tembaga di Tanah Papua, dengan tidak menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kembali ke rakyat dan bangsa Papua.
Ketika berbicara landasan pembatalan opsi usulan dari SKK MIGAS dan Kementerian ESDM terhadap pengembangan kilang LNG di blok Masela Maluku dalam model offshore, dengan mempertimbangkan pembangunan masyarakat di daerah penghasil, yang bertujuan agar terjadi dampak multiplayer efek bagi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar di daerah penghasil. Justru rumus hitung-hitungan dalam perdebatan elit-elit pusat tersebut, tidak memperlakukan persoalan Freeport dalam isu yang sama yaitu didasarkan pada keinginan dan aspirasi kolektif rakyat Papua yang menghendaki impian yang sama untuk menjadi daerah yang mandiri dan berkembang. Padahal ratusan diskusi telah berusaha disampaikan oleh delegasi Pemerintah Republik di Tanah Papua kepada otoritas pusat untuk mempertimbangkan aspirasi rakyat daerah di Tanah Papua.
Pada hari ini, sudah tidak ada tawaran dari delegasi rakyat dan bangsa Papua kepada otoritas pusat. Tidak perlu berdiskusi lagi untuk merencanakan dana otsus, sudah sepatutnya rakyat Papua meminta untuk mengembalikan dana otsus ke Jakarta, sebab pemberian dana otsus diyakini sebagai alat legitimasi pusat untuk “menyombongkan diri” bertindak sewenang-wenang memonopoli kekayaan sumber daya alam di Tanah Papua. Pemberian dana otsus seolah-olah menghapus perampasan hak-hak bangsa Papua atas kekayaan alamnya sendiri dengan intrik “perebutan kekuasaan” yang berlangsung sejak Tahun 1967 silam. Tidak perlu pula otoritas Pusat ribut-ribut lagi untuk memperpanjang kontrak Freeport dengan skema sentralisasi IUPK, demikian pula dengan rencana pembangunan smelter yang akan dikerjakan bersama-sama antara Freeport-Newmont di wilayah Gresik, Jawa Timur. Tekad rakyat Papua untuk mengembalikan dana otsus dan menghapus undang-undang otsus, serta menutup semua operasi pertambangan yang dikelola oleh PT. Freeport Indonesia telah mencapai konklusi yang bersifat final. Apapun yang dilakukan oleh pusat dengan pendekatan sentralisasi, diyakini 100% bukanlah untuk kepentingan rakyat dan bangsa Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H