Berikut kutipan George Wilhelm Friedrich Hegel seorang filsuf idealis dengan metode dialektika berkebangsaan Jerman "Pendidikan adalah sebuah seni untuk membuat manusia menjadi berperilaku etis." Ungkapan Hegel ini karena keyakinannya bahwa manusia memiliki potensi atau benih yang dapat ditumbuhkembangkan. Oleh Ki Hajar Dewantara menyebut pendidikan seperti seni karena pendidikan merupakan hasil dari  karya seni cipta, karsa dan karya yang didalamnya memiliki nilai-nilai moral, kebajikan dan kebenaran universal.
Aliran Progresivisme memandang pendidikan justru pusatnya adalah murid atau siswa. Apa yang benar pada masa sekarang dapat menjadi mungkin tidak benar dimasa yang akan datang. Maka pendidikan seharusnya berfokus pada murid dan bukan guru atau bidang muatan yang terkandung di dalamnya. Pendidikan nilai atau karakter universal tetap menjadi dasar setiap manusia untuk semakin tumbuh kembang sebagai makhluk sosial. Dibutuhkan pertimbangan etis moral berhadapan dengan seribu macam masalah yang dialami dalam dunia pendidikan baik secara individu maupun kelompok. Â
Berbicara tentang membuat keputusan etis, beberapa hari lalu saya mengalami dilema. Dilema antara membantu mengurus surat orang sakit yang hari itu juga harus mendapat bantuan medis atau membiarkan tidak masuk pada saat jam mengajar yang menjadi tugas utama guru.
Secara tidak terduga, pagi hari Rabu, saya mendapat pesan melalui WA berasal dari saudara yang tinggal di Amurang, Minahasa Selatan. Â Isinya meminta tolong kepada saya mengurus surat-surat yang dibutuhkan di Rumah Sakit dekat tempat saya mengajar. Sebab rumah sakit di tempat saudara saya dirawat tidak memiliki dokter spesialis. Dokter spesialis tersebut hanya praktik di rumah sakit Siloam Manado. Mereka meminta tolong kepada saya untuk mengurus perihal pendaftaran dan BPJS.
Saya berpikir bahwa mengurus surat ini mungkin hanya setengah jam saja. Pagi hari sebelum KBM mulai saya bergegas ke rumah sakit Siloam. Waktu masih menunjukkan pukul 06.30 Wita. Sedangkan Kegiatan sekolah mulai jam 07.00 dimulai dengan doa pagi dan jam 07.30 mulai dengan KBM. Sampai di Rumah Sakit, saya mulai mengurus surat yang diminta. Ternyata pengurusan BPJS dibuka jam 07.30 Wita dan pada saat itu jam pelajaran dimulai dan saya ada jam mengajar di kelas XII IPA 4. Waktu menunjukkan pukul 07.25, artinya 5 menit lagi jam belajar dimulai sementara saya masih berada di rumah sakit mengurus BPJS dan tanda-tanda petugas datang belum terlihat. Saya pun dilema.
Meninggalkan jam mengajar atau tetap mengurus surat yang sangat dibutuhkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan? Jalan keluar yang saya ambil dalam situasi tersebut yaitu menelpon rekan guru untuk menggantikan masuk di kelas XII IPA 4 dan berharap pengurusan surat cepat sehingga saya masih punya kesempatan masuk kelas.
Dilema etika dari pengalaman saya tersebut ternyata menjadi bagian dari pembelajaran di modul 3.1 Guru Penggerak. Syukurlah saya akhirnya dapat belajar hal-hal baru dan menginspirasi tentang bagaimana mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Materi ini sangat bermanfaat tentang bagaimana saya dapat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebenaran universal.
Belajar tentang 4 paradigma, 3 prinsip dan 9 langkah pengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran adalah hal sangat baru. Waktu kuliah saya banyak belajar tentang etika dan pertimbangan moral bahkan skripsi saya tentang prinsip-prinsip etis-moral. Namun secara mendalam dan tajam pada kesempatan belajar modul 3.1 barulah saya belajar konsep baru tentang dilema etika.
Belajar tentang dilema etika dan langsung berhadapan dengan situasi atau kasus nyata seperti yang saya ceritakan pada paragraf sebelumnya, memberi pemahaman kepada saya tentang paradigma yang dapat terjadi dalam dilema etika yaitu individual vs community, justice vs mercy, truth vs loyalty, short term vs long term.
Saya sangat terkesan sekali ketika mengetahui bahwa dalam dilema etika terdapat beberapa paradigma benar lawan benar tetapi dari kedua pilihan moral tersebut bertentangan. Artinya seseorang harus memilih diantara dua pilihan  secara moral  benar tetapi bertentangan, memilih keadilan atau rasa kasihan, kebenaran atau kesetiaan, individu atau kelompok, memikirkan jangka pendek atau jangka panjang. Untuk lebih memantapkan pilihan tersebut maka kita dapat mengkonfirmasi melalui 3 prinsip dilema etika yaitu Ends-Based Thinking, Rule-Based Thinking, Care-Based Thinking. Pengujian lebih mendalam dapat dilakukan dengan uji melalui 9 langkah.
Sebelum mempelajari modul ini saya sering menerapkan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang saya ambil berdasarkan suara hati atau hati nurani. Menurut saya dalam suara hati terdapat nilai kebenaran universal dan nilai tersebut harus dipelajari dan dibiasakan terus menerus. Karena tanpa dibiasakan maka suara hati atau hati nurani akan tumpul atau bahkan mati.
Saat belajar materi yang terdapat pada modu 3.1 tentang Dilema Etika, pemahaman tentang suara hati saya semakin berkembang. Ternyata apa yang selama ini saya praktikkan menjadi pergumulan dunia pendidikan secara umum karena setiap saat bergumul dengan hati nurani yang didalamnya sering terjadi dilema etika antara benar lawan benar.
Dari dua kebenaran tersebut pasti ada satu kebenaran yang akan dipilih oleh hati nurani yang didasarkan atas pertimbangan moral dan bertanggung jawab. Dapat ditambahkan bahwa keputusan atau suara hati yang diambil pada intinya menguntungkan murid karena murid menjadi fokus dalam pendidikan.
Dampak ketika mempelajari modul ini sangat luar biasa. Saya harus kembali melihat nilai-nilai universal yang mendasari pengambilan keputusan. Sebelum mengambil keputusan saya diperhadapkan pada refleksi mendalam, mengikuti 9 langkah pengambilan keputusan sebagai pemimpim pembelajaran dan tidak melewatkan satu langkah sehingga pada akhirnya sampai pada keputusan akhir yang akan diambil. Banyak pertimbangan yang akan muncul ketika kita mengalami masalah tetapi ketika kita fokus dan memberi ruang untuk suara hati maka kita mampu mengambil keputusan sesuai prinsip-prinsip atau nilai universal.
Memang ada kecemasan karena sering keputusan akhir yang diambil dapat melanggar aturan dan akan berdampak pada hidup bersama. Tetapi setelah dipikirkan, dipertimbangkan dengan matang, semua pasti memiliki konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil. Sekarang tinggal bagaimana memusatkan pemikiran bahwa apapun keputusan yang diambil, tetap memprioritaskan kebutuhan murid.
Menurut saya, untuk semakin menajamkan pemahaman kita tentang pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran akan lebih baik jika guru diberi pemahaman tentang suara hati. Suara hati sangat penting sebagai fondasi untuk memahami nilai-nilai kebajikan universal. Dalam suara hati terdapat tahapan-tahapan sampai pada pengambilan keputusan. Peranan suara hati sangat penting untuk sampai pada keputusan atas dilema yang dialami.
Akhirnya, seperti paham utilitarianisme yang sangat memperhatikan pengambilan keputusan, maka dibutuhkan pemahaman yang kreatif, inovatif, mandiri, kolaboratif dari seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran untuk melihat apakah keputusan tersebut memberi manfat atau tidak, baik buruknya suatu tindakan, akibat, konsekuensi dan tujuan dari tindakan tersebut. Mengukur akibat dari tindakan yang dilakukan maka parameternya adalah jumlah bahagia atau ketidakbahagiaan dari keputusan yang diambil.
Saat mengalami dilema etika prinsipnya adalah murid bahagia dengan keputusan yang diambil oleh guru. Murid mengalami manfaat atas keputusan guru karena murid adalah fokus utama dalam pendidikan maka semua keputusan yang diambil terarah pada kebutuhan murid itu sendiri. Inilah seni mendidik. Seni membangkitkan cipta, karsa dan karya murid. Mengembangkan potensi murid dengan segala kelebihan maupun kekurangannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H