Mohon tunggu...
Willem Nugroho
Willem Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang belajar menulis.

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biarkan Sungai Bercerita

30 Juni 2021   13:59 Diperbarui: 30 Juni 2021   17:44 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pagi yang indah di sebuah dusun kecil. Aliran sungai yang deras disamping rumah Tobari memecah kesunyian. Burung- burung bekicau seakan menyapa fajar yang terbit dari timur. Dari balik gunung itu.

" Mak. Abah dimana? " ujar Tobari sambil melipat selimut.

" Seperti kau tidak tahu saja, Abah sudah ada di sawah sekarang. Mau menyusul kau?" Jawab Emak dari dapur yang berhadapan langsung dengan kebun belakang rumah.

"Hmm tidaklah, Mak. Aku mau memberi makan ayam  saja."

Ya. Sebagian besar warga dusun ini memang  memilki berbagai  macam hewan ternak seperti sapi, kambing, atau ayam. Sebagian kecil lainnya memiliki sebidang tanah atau sawah peninggalan yang diwariskan turun-temurun. Berbeda sekali dengan warga kota kabupaten yang sibuk dengan ekspektasi dan selalu bersahabat dengan polusi dan bisingnya lalulintas.

Tobari dengan raut wajah kumal (habis bagun tidur) berjalan kesamping rumah berkawan lampu cemprong untuk mengambil tampak di gudang. Glek..glek...gluduk. Terdengar suara barang terjatuh dari dalam gudang yang mengejutkan Tobari. Tanpa berpikir panjang Tobari mengambil sikap wawas serupa seorang pesilat. Ayam ternaknya berkokok seakan menertawakan tingkah Tobari, sekaligus menyambut sang fajar. Siapa tahu ada pencuri di dalam gudang. Perlahan Tobari membuka pintu  dan melihat sekeliling. Ternyata hanya tikus iseng. Maklum rumah serupa gubuk ini sudah berumur dan usang.

Setelah mengambil apa yang diperlukan untuk memberi makan ayam, Tobari bergegas pergi ke kandang di kebun belakang rumah. Tobari memilki delapan ekor ayam, 4 diataranya jatan, dan sisanya betina. Jika sudah waktunya akan bertelur dan dijual di kota kabupaten, itupun bila kebutuhan rumah sudah terpenuhi.

**

Fajar berjalan cepat hingga tidak terasa hampir segaris dengan ubun-ubun. Cahayanya mencari celah untuk masuk ke setiap rumah warga, tidak terkecuali Rumah Tobari. Cahaya masuk disela dinding yang terbuat dari anyaman bambu itu. Suara air sungai masih setia.

Ditengah lamunan Tobari disiang bolong sehabis makan siang terdengar suara Emak.

"Bari. Kau dimana? " Suara Emak dari ruang tengah memanggil.

" Nggih, Pripun, Mak?" Jawab Tobari dengan suara lumayan lantang agar terdengar jelas.

(Iya, bagaimana Mak?)

" Tolong kau antarkan makan siang ini keabahmu di sawah." Ujar Emak.

Mendengar permintaan dari Emak itu Tobari bergegas menuju ruang tengah. Meskipun dalam diri Tobari berlintas rasa malas, tapi hal ini lebih baik ketimbang bosan di rumah saja.

Dengan mengayuh sepeda tua peninggalan kakeknya Tobari menusuri jalan dusun. Jalan yang tidak dihiasi dengan karpet hitam mewah yang ia lihat di kota kabupaten tempo hari, didampingi oleh tembok-tembok  besar bernama pencakar langit. Jalan dusun kecil ini seluruhnya diapit oleh permadani yang seakan mengisyaratkan kemegahan dari yang empunya kehidupan.

"Ehhh, Bari." Suara yang tidak asing terdengar lantang dari kejahuaan. Suara Abah.

Pangilan itu menghentikan kayuan kaki Tobari dengan segera. Bearsamaan dengan itu ban sepeda bersinggungan dengan tanah menghasilkan debu yang merasuk hingga ke mata. Tobari meyeka matanya yang berair dengan tangan berkeringatnya. Abah yang berada jauh ditengah sawah kian mendekat pada anaknya sematawayangnya itu.

Dipinggiran sawah itu terdapat cakruk tepat melintang diatas irigasi sawah dan ditopang oleh sabuk galeng. Tobari sambil menggengam toples berisi nasi dan lauk menuju kesana dengan Abah yang merangkulnya dari belakang.

"Hai, Bari. Emak memasak apa hari ini?" Sambil mengambil posisi duduk bersila.

"Hari ini Emak memasak Opor Ayam, Bah. Ditambah dengan nasi hangat ". Balas Tobari sambil nyengir dan membuka tutup toples.

source: https://www.wallpaperflare.com/small-house-in-the-rice-field-nature-and-landscapes-wallpaper-tvcxg
source: https://www.wallpaperflare.com/small-house-in-the-rice-field-nature-and-landscapes-wallpaper-tvcxg

" Wah enak itu. Emakmu tahu sekali kesukaan Abah". Sambil tertawa terbawa suasana.

"Mari makan, Bah." Ajak Tobari sambil tertawa kecil.

Suasana sawah membawa mereka bercerita panjang lebar mengenai banyak hal. Banyak warga sedang memisahkan gambah dari kulitnya. Diiringi suara lesung cahaya fajar menyusup masuk dari cela atap cakruk yang terbuat dari jerami. Sesekali warga dusun lewat ditempat mereka makan. Sapa dan aruh ramah warga dusun melengkapi setaip waktu yang bergulir.

Riuhnya keadaan terpecah oleh suara koin yang bertemu dengan kayu. Chik...chik...chik...suara ini terus berulang. Terlihat pria paruh baya dengan kaus oblong lusuh mendekat ke cakruk tempat Abah dan anaknya ini singgah.

Tanpa berpikir panjang Abah langsung mengambil kertas minyak dari tas tempat toples opor ayam berada.  Opor Ayam yang ada di toples dibungkuslah oleh Abah dan diberikan kepada pria paruh baya itu. Dengan cepat pria paruh baya itu berterimakasih dan segera pergi.

"Hmm, Bah. Kenapa kita harus memberikan semua semuanya kepada kakek itu". Tanya Tobari.

"Tobari kita sudah cukup. Pria paruh baya itu mungkin lebih membutuhkan, atau lebih kelaparan dari kita bukan? Kita jangan lupa untuk berbagi. Jawab Abah dengan santai dan menepuk pundak Tobari

Tobari hanya mengaguh mencoba merenungi apa yang yang dikatakan Abah.

 Angin membawa parmadani hijau seakan semakin mengudara dan menunjukan keelokannya sebagai tempat berlangsungnya daur hidup yang tidak berkesudahan. Hidup akan terus menua, dan yang baru terlahir.

**

Tobari bersama Abah dan Emak sedang menikmati teh buatan  pagi ini. Teras rumah menjadi langganan dan tempat bagi keluarga ini untuk saling menyapa dan bertukar pikiran mengenai banyak hal.

Tiba-tiba. Suara alat berat yang datang dari ujung jalan memecah suasana, mengagetkan warga dusun, membuat burung terbang dari sangkarnya. Jalan dusun juga menjadi lebih memprihatinkan karenanya. Yang berlubang menjadi kubangan, dan yang berkubang semakin menjadi layaknya kolam.

" Mak kenapa alat berat itu datang ke dusun kita" Tanya Tobari sambil mengerutkan dahi.

" Kau tidak tau yaa? Bahwa Pak Waji telah menjual sawah dan rumahnya kepada orang berdasi, dan  gila materi, lalu akan pindah ke kota kabupaten. Mungkin rumah itu akan rata dengan tanah, lalu dibagun yang lebih mengikuti tren. Homestay." Ujar Emak dengan menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Apa masudnya menjual bah?, bukanya tanah ini adalah milik para pendahulu dan kita yang dipercaya untuk menjaganya". Tobari bersungut-sungut.

"Bari... Bar. Dunia ini sudah jauh berbeda dari yang kau bayangkan. Kepemilikan tanah sekarang sudah bersertifikat, dan menjadi hak bagi pemiliknya untuk memenfaatkan itu. Yaa plus minus dari sertifikat tanah yang diberikan pemerintah. Disatu sisi memberikan legalitas dan  disisi yang lain... kau tahu sendirilah. " Abah memberi balasan diikuti dengan senyum tipis Emak

" Aku masih belum mengerti?" Tobari berlagak  sok serius.

Iyaa begini... intinya kita sebagai manusia harus bijaksana dalam menyikapi perubahan yang terjadi. Terkadang perubahan itu memang seturut kehendak kita, tapi terkadang juga sebaliknya. Apa kita mau marah? Marah kepada siapa? Thok berubahan itu pasti terjadi dan tinggal menunggu waktu saja bukan? Jadi kita yang perlu berubah juga". Jawab Emak sambil tersenyum.

 Abah mengulurkan tangan kedepan diikuti Emak diatasnya.

" Ayo, Rii " Ajakan Emak kepada Tobari dengan seyum ramah.

Tobari hanya terseyum, lalu mengulurkan tangannya juga.

" Kita bersatu... jeng...jeng". Suara lantang Abah meyatukan semuanya diikuti tawa lepas.

"Iyaa sudah Emak mau ke dalam dulu." sambil menagambil gelas teh yang sudah kosong.

" Tobari, tolong bantu Emak mencuci gelasnya yaa, Abah mau pergi ke sawah."

" Baik, Bah. Hati - hati". Sambil mengaguk mengiyakan.

**

Pagi ini Emak pergi ke pasar yang berada di kota kabaupaten. Kota kabupaten dengan Rumah Tobari berjarak kurang lebih dua puluh kilometer untuk mencapai kota, dan enam kilometer lagi untuk tiba di pasar. Jarak cukup jauh ini biasa ditempuh menggunakan angkot yang mangkat di depan rumah Pak Kepala Dusun. Pak Anom.

Bagi Emak sendiri angkot merupakan pilihan yang bijak melihat kesibukan Abah di sawah. Namun jika Abah longgar mereka sering terlihat pergi ke pasar bersama. Ya dengan sepeda peninggalan kakek. Motor belum trennya. Jadi sepeda menjadi primadona di dusun.

Kondisi rumah lengang ditemani oleh desir udara pagi masuk dari celah cendela. Embun jatuh mewarnai setiap daun hasil dari hujan semalaman. Katak bersuara saling bersautan berpadu dengan deru deras aliran sungai disamping rumah.

  

" Tobari" Panggil Abah kepda anaknya itu.

" Nggih, Pripun Pak? " Saut Tobari sambil memberi makan Ayam dibelakang rumah.

source: https://paimingambar.blogspot.com/2020/04/lukisan-rumah-di-tepi-sungai.html
source: https://paimingambar.blogspot.com/2020/04/lukisan-rumah-di-tepi-sungai.html

"Tolong kesini, Rii. Abah mau berbicara dengan kau".

Tobari bergegas mencuci tangan dan kakinya di sungai yang jernih airnya, lalu masuk ke rumah. Tepatnya di ruang tengah. Disitu sudah terlihat Abah menunggu, duduk dikursi bambu.

"Rii, sudah saatnya kamu tahu suatu yang penting, dan mungkin selama ini belum kau ketahui. Tentang harapan Emak dan Abah ".

 Tobari terkejut ternyata bahasanya cukup serius, jadi Tobari mengambil sikap duduk yang lebih nyaman.

**

Beberapa hari ke belakang

Suara jangkrik melengkapi gelapnya malam. Hanya lampu cemprong yang bersinar dan yang lainnya gulita. Kunang-kunang pun tidak sangup melawan selimut gelap ini. Diluar rumah hujan, yaa hujan bulan Juni yang pertama. Agin malam membawa Tobari ke pulau kapuk mengalir bersama derasnya arus sungai.

 

" Bah... Sudah saatnya kita memberitakan kepada Tobari, tentang  apa harapan kita kepadanya? Raut wajah Emak seakan memohon.

" Harapan apa Mak? Apakah tentang hal itu? Menurut Abah Tobari sudah tubuh sebagai anak yang baik". Jawab Abah memperhatikan.

 Emak dan Abah  duduk bersama disebuah dipan tua usang dikamar ukuran 3 x 3. Itu kamar mereka.

"Tobari sudah berumur 12 tahun. Apa menurut Abah belum cukup? Dia sudah dewasa sekarang." Ujar Emak.

"Hmm... baiklah Mak, Abah mengikuti saja, berarti sesuai dengan kesepakan kita dulu yaa?" Abah tersenyum tipis seakan meminta persetujuan.

" Baik, Bah " Jawab Emak singat, sambil mengakat jari kelingking.

"Kita sepakat" Tegas Abah, sembari juga mengakat jari kelingking dan menyatukanya dengan Emak.

**

Kembali ke pagi itu.

"Harapan apa itu, Bah? Jawab Tobari dengan penuh perhatiaan.

"Coba tolong ucapkan namamu dengan lengkap, Rii". ujar Abah

"TOBARI MAHAMERU YUDISTSHIKHAN". Jawab Tobari dengan lantang".

"Apa kau pernah bertanya apa arti namamu itu?" Abah mengakat alisnya tanda penasaran.

" Pernah aku mencari tahunya, tapi aku tidak mau mengira". Jawab Tobari sambil tersenyum.

"Sudah saatnya kau tahu arti nama itu. Disitu tersemat harapan Abah dan Emak. Abah dan Emak selalu mengarahkan kau kesana"

"Baiklah, Bah. Aku akan mendengarkan". Tobari kembali memperbaiki posisi duduknya.

" Baik Abah mulai. Tobari. Kata itu Abah dan Emak ambil dari sebuat nama danau terluas. Danau Toba di Sumatra Utara. Kami berdua pernah pergi kesana, meskipun saat itu belum saling kenal. Abah dan Emak berharap kau menjadi pribadi yang luas dan dalam baik dalam ilmu maupun tingkah laku. Pandai berteman. Selalu berpihak pada yang benar. Kau tahu danau selalu memiliki daya bagi sekitarnya? Abah dan Emak berharap kau menjadi orang yang berguna pula untuk sesama dan alam.  Lalu kata Mahameru. Kau tahu kata itu Rii?"

"Motif batik atau Gunung Semeru?" Jawab Tobari singkat. Kicauan burung seakan ikut menyembut dan menyimak obrolan bapak dan anaknya ini.

"Hmm. Iyaa keduanya benar, Rii. Dengan nama Mahameru dalam namamu Abah dan Emak berharap kamu menjadi pribadi yang punya kepemimpinan diri, tahu diri, dan gagah seperti keagungan Gunung Semeru. Setaip gunung memiliki ciri khasnya, sama seperti kita bukan? Jadi syukurlah untuk  itu.  Kau sebagai anak Abah dan Emak harus hidup makmur dan bahagia seperti makna Motif Batik Meru. Kau mengerti sekarang , Tobari?". Tanya Abah sambil memandang mata anaknya.

"Baik Bah. Aku mengerti dan memahami sekarang, kenapa Abah dan Emak memberikan nama itu padaku. Terimakasih". Seyum lebar dengan penuh keyakinan membalas tatapan Abah.

"Lalu, bagaimana dengan nama belakangku Yudistshikhan, Bah?"  Tanya Tobari dengan penuh penasaran.

Belum sempat Abah menjawab pertanyaan itu,  terdengar suara lonceng dari depan rumah. Kring...kring...kring. Teryata Emak sudah pulang dari Kota Kapubaten

" Itu Emak sudah pulang. Kau tanyakan saja sisanya kepada Emakmu, mungkin penjelasanya dapat lebih lengkap dan rinci. Ohh iyaa, satu hal yang ingin Abah sampaikan padamu. Jangan terbebani, dan tetaplah jadi dirimu sendiri. Oke?" Raut wajah Abah terseyum tipis meminta sebuah jawaban.

" Siap komandan". Suara lantang Tobari seakan membelah seisi sungai.

source: https://www.idntimes.com/travel/destination/zain-nurjaman/10-potret-kawasan-gunung-semeru-c1c2
source: https://www.idntimes.com/travel/destination/zain-nurjaman/10-potret-kawasan-gunung-semeru-c1c2

" Anak Abah dan Emak memang luar bisa. Ya sudah Abah pergi dulu yaa, mau menghadiri acara perpisahan Pak Waji yang menjual sawah dan rumahnya tempo hari itu. "

Tobari beranjak pergi ke belakang rumah melanjutkan kegiatanya. Abah mendekat kepada Emak yang sehabis pulang.

" Mak, sudah aku sampaikan itu sesuai janji kita dulu". Ujar Abah seraya menjulurkan tangan kepunda Emak, meminta izin untuk pergi ke perpisahan Pak Waji. Sembari tersenyum lepas.

" Terimakasih, Bah. Sudah sana nanti Abah terlambat". Emak dengan raut senang dan menemuk pundak Abah.

**

Langit jingga menemani rasa penasaran Tobari ditepi sungai, tanda fajar sudah nyaris menyelesaikan tugasnya. Pulang dari ufuk barat dan esok kembali dari ufuk timur.

Setelah berbicara dengan Abah di ruang tengah waktu itu membuat Tobari semakin percaya diri. Dirinya tidak menyeangka arti namanya begitu hebat dan luar biasa. Namun masih ada satu tanda tanya besar dalam benaknya. Apa arti nama YUDISTSHIKHAN? Apa yang Abah dan Emak harapkan dari itu? Sebuah nama keluarga kah? Mengapa Abah dan Emak baru memberi tahunya sekarang? Tobari harus segera menanyakanya pada Emak. Ya segera, mungkin setelah Emak dan Abah pulang dari dusun seberang.

Jika sungai bisa berbicara. Dia (mungkin) bisa menjawab pertanyaan Tobari ini. Berikan saja dia waktu. Biarkan sungai bercerita.

Tamat

Tunggu lanjutan ceritanya...

Catatan :

Cakruk : rumah jaga (gardu) di dusun.

Lampu Cemprong : lampu tempo dulu yang dinyalakan dengan miyak tanah berbentuk tabung dengan bagian bawah yang membulat, terbuat dari kaca.

Tampak : alat tradisional berbentuk bulat yang biasa digunakan untuk memilah beras, dan terbuat dari anyaman.

Sabuk galeng : Istilah bahasa jawa yang digunakan untuk menyebut jalan setapak yang membelah 2 pekarangan atau lebih (biasa ada di sawah)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun