Mohon tunggu...
Wilibaldus Sae Delu
Wilibaldus Sae Delu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis dan peneliti Yayasan Dian Peradaban Negeri

Anak kampung yang bermimpi hidup abadi di kolong langit.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mendaur Asa di Tengah Badai Siklon Tropis Seroja

17 Juli 2022   16:06 Diperbarui: 17 Juli 2022   16:15 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: net.detik.com)

Sudah sejak semalam hujan deras mengguyur. Angin bertiup kencang menumbangkan pepohonan. Kota Kupang, Minggu (04/04/2021) diselimuti kabut tebal, menyebabkan jarak pandang serba terbatas. Aliran listrik PLN sudah terputus sejak dini hari tadi. Situasi benar-benar mencekam. 

Tidak ada seorangpun yang keluar. Semuanya memilih bertahan dalam rumah sembari menanti dan berharap semua ini segera berakhir. Demikian pun saya, memilih bertahan dalam kamar kos. Musabab listrik padam sedari pagi, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Menunda lapar dengan makan mie mentah adalah satu-satunya jalan.

Sesekali saya membuka ponsel untuk sekedar melihat jam, sebab jaringan internet sudah tiada. Saya ingat persis, beberapa pesan terakhir yang sempat masuk adalah peringatan dari BMKG soal bahaya siklon tropis seroja yang puncaknya di malam nanti.

Menjelang sore hujan perlahan mereda. Bersama teman-teman kos, kami berjalan keliling memantau kondisi lingkungan sekitar. Beberapa warga di lereng tebing jembatan Naimata sudah mengungsi ke rumah tetangga di sekitaran kos. Bagaimana tidak, sejumlah rumah mereka sudah rata tanah. Sedang di lereng sebelah, kampung Amanuban, longsoran tanah terlihat jelas.

Usai jeda belasan menit, hujan turun lagi. Angin kencang makin menggila. Tanpa permisi menumbangkan pepohonan, tiang listrik, papan iklan dan memindahkan atap rumah warga entah kemana. Alam seolah menunjukkan murkanya yang mendalam pada manusia. 

Malam itu, tanpa penerangan (listrik), makanan dan jaringan internet, saya mengurung diri dalam kamar kos. Satu-satunya sumber cahaya malam itu adalah lubang angin di bawah pintu. "Sebentar kalau terjadi apa-apa, jangan panik. Lari ke arah situ (baca: pintu)", gumamku dalam hati.

Jelang pukul 22.00 WITA (puncak badai menurut perkiraan BMKG), hujan angin semakin mengganas. Saya mulai panik. Atap kos sudah dari tadi bergetar. Bayangan akan longsor di kampung Amanuban sore tadi membuat saya makin panik. Belum lagi posisi kos kami yang tidak jauh dari lereng tebing. 

Di tengah kepanikan, tiba-tiba pintu kos saya di gedor. "Kaka, ayo keluar. Kita lari dari sini", teriak Mas Fikri, tetangga sebelah kamar. "Lari ke mana?" tanyaku. "Kita ke rumah bapak kos" sambung Fikri. "Oke, telpon bapa kos, buka pintu untuk kita masuk", kataku. "Jaringan tidak ada. Kita lari saja, gedor pintu. Saya ke sana duluan", balasnya.

Fikri pun segera berlari menuju pintu dapur rumah bapak kos yang berjarak sekitar 50 meter dari kos. Digedornya pintu rumah berulang kali tapi tidak ada respon balik dari orang rumah. Fikri lalu kembali ke kos. Baru beberapa langkah Fikri berjalan, tiba-tiba...."kaka, tunduk....!" teriakku keras. Selembar seng dari rumah Pak RT terbang tak jauh di atas kepala Fikri. 

Kembali ke kos, kami lalu membangunkan teman-teman lain. Untungnya ada Om Burhan, tentara angkatan udara yang juga ngekos di situ bersama tunangannya. Berbekal pengalaman tempurnya di medan laga, Om Burhan lalu memainkan senter ke jendela rumah bapak kos yang juga merupakan anggota TNI AU. Kode nyala senter itu dipahami bapak kos. Sejurus kemudian, pintu dapurnya dibukakan. Kami berlarian menuju rumah bapak kos.

Malam itu, kami bertahan di rumah bapak kos. Semua terdiam, bertengkar dengan isi kepala masing-masing. Dalam keadaan demikian, saya hanya memikirkan keadaan orangtua dan keluarga di kampung halaman. Apa mungkin mereka mengalami hal serupa? Bila tidak, bagaimana rasanya bila mereka tahu informasi bahwa di kota Kupang sedang dilanda badai siklon tropis Seroja ini? 

Mengabari mereka lewat telepon itu tidak mungkin. Jaringan internet tidak ada. Satu-satunya jalan adalah memasrahkan semuanya pada Yang Kuasa sembari merapal doa agar semuanya baik-baik saja.

Keesokan hari, badai pun berlalu. Kepergiaanya meninggalkan cerita pilu disertai pemandangan yang menyayat hati. Jalanan di kota ini tidak bisa dilalui kendaraan. Pepohonan bertumbangan memenuhi badan jalan. Kabel-kabel listrik dan telepon berserakkan, atap rumah warga banyak yang bolong. Ada juga rumah yang rubuh dan terbawa banjir dan longsor. Menyedihkan memang.

Kupang bagai kota mati. Listrik padam untuk beberapa hari lamanya. Kami seolah kembali ke zaman lampau. Bila malam tiba, lampu pelita dan lilin menjadi satu-satunya penerang. Sebagai anak kampung yang merantau ke kota ini, belum lega rasanya karena belum berkabar dengan sanak famili di kampung halaman pasca badai. 

Saking gelisahnya dengan keadaan keluarga di kampung, malam ketiga usai badai seroja, saya bersama beberapa teman bertandang ke Biara Frateran BHK, Oesapa untuk mengecas HP karena di situ ada genzet besar. Betapa bahagianya saya malam itu karena ternyata di Biara Frateran BHK ada jaringan internet. 

Sebagai pelanggan IndiHome, rumah biara BHK adalah satu dari sekian pelanggan yang beruntung di kota ini. Pasalnya, pasca seroja lebih dari 1.000 laporan mengenai kerusakan IndiHome di rumah dan perkantoran yang masuk di loket pengaduan PT Telkom (https://www.republika.co.id).

Dengan memanfaatkan jaringan internet Telkom Indonesia, kegelisahan saya terbayar lunas malam itu. Kepada keluarga dan sanak famili di kampung halaman, kami saling memberi kabar. Canda tawa malam itu sungguh menguatkan kami meski dipisahkan jarak yang amat jauh. 

Berhadapan dengan situasi batas di tanah rantau, tidak ada yang lebih dirindukan selain sesegera mungkin berkabar dengan sanak famili di kampung halaman. Untung ada IndiHome, internetnya Indonesia. Seperti dendam, rinduku terbayar tuntas malam itu.

Sekembali dari Biara BHK, saya berkunjung ke rumah keluarga di bantaran kali Liliba. Menjelang tengah malam, Erikos Nino, salah seorang pemuda di kampung itu berlari tergesa-gesa menuju rumahnya yang terletak persis di pinggir kali.

"Bangun semua sudah. Kita harus lari dari sini. Tsunami sudah naik sampai di Pulau Indah sana. Orang di Oesapa semua sudah lari", perintah Erikos. Bersamaan dengan itu, tiang-tiang listrik dibunyikan untuk membangunkan warga. Bapa Ose bersama istri lari sambil menggendong setumpuk pakaian. Sari merengek di bapanya untuk mencari ijazah SDnya terlebih dahulu sebelum lari. Erikos menjunjung koper berisi pakaian, ijazah dan berkas penting lainnya.

Saya yang sedari tadi asyik menyeruput kopi di belakng rumah terperangah dengan situasi ini. Spontan, saya berjalan ke depan rumah menemui warga yang berjubel untuk bersiap mengungsi. "Ini kenapa lagi?", tanyaku. "Kaka, siap sudah, kita lari. Orang semua sudah lari, tinggal kita saja. Tsunami sudah naik sampai Pulau Indah sana", jawab Erikos.

"Ini kamu dapat info dari mana? Baru saja saya dari Oesapa. Tadi kami cas HP dan ada jaringan internet di sana. Ini info terbaru dari BMKG, tidak ada tsunami", tegasku. Kepada mereka semua, saya menunjukkan update informasi terbaru dari BMKG. Mendengar penjelasan saya, semua ahirnya kembali ke rumah masing-masing.

Saya bersyukur, berkat Telkom Indonesia, saya bisa memberikan informasi yang akurat kepada warga kampung malam itu. Benar bahwa hoaks lebh cepat menyebar dari pada kebenaran, tapi berkat IndiHome, Internetnya Indonesia isu hoaks itu dapat ditangkal dalam sekejap. Saya merasakan betul Manfaat Internet.

Malam berlalu, hari berganti. Aneka kekuatan digerakkan sepenuhnya untuk memulihkan kondisi kota ini. Warga ramai-ramai turun ke jalan, bahu membahu menolong tetangga yang tertimpa bencana. Polisi, tentara dan aparat pemerintah sigap bergerak tanggap bencana. Tidak terkecuali petugas PT Telkom Indonesia.

(sumber: antarafoto.com)
(sumber: antarafoto.com)

Siang malam mereka bekerja, bergelantungan di tiang-tiang memperbaiki kabel jaringan internet yang putus akibat tertimpa pohon yang tumbang. Kerja keras ini berbuah manis. Tiga minggu pasca badai seroja (25/04/2021), pemulihan layanan telekomunikasi mencapai angka 95 persen (www.tempo.co). 

Kini, setahun lebih pasca badai siklon tropis seroja, jaringan internet di kota ini kian membaik. Di era digital sekarang ini, kebutuhan akan internet menjadi hal urgen. Dan saya percaya, kehadiran PT Telkom Indonesia sebagai perusahaan penyedia jasa layanan Internetnya Indonesia, mampu memberi lebih dari yang kita inginkan.

Melalui IndiHome yang merupakan produk Telkomsel Indonesia, kita dapat mengakses internet lebih mudah dengan jaringan wifi.id di seluruh Indonesia, khusus bagi pelanggan. Kita juga bisa mengupgrade kecepatan internet secara permanen sesuai kebutuhan dan masih banyak lagi keunggulan lainnya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun