Malam itu, kami bertahan di rumah bapak kos. Semua terdiam, bertengkar dengan isi kepala masing-masing. Dalam keadaan demikian, saya hanya memikirkan keadaan orangtua dan keluarga di kampung halaman. Apa mungkin mereka mengalami hal serupa? Bila tidak, bagaimana rasanya bila mereka tahu informasi bahwa di kota Kupang sedang dilanda badai siklon tropis Seroja ini?Â
Mengabari mereka lewat telepon itu tidak mungkin. Jaringan internet tidak ada. Satu-satunya jalan adalah memasrahkan semuanya pada Yang Kuasa sembari merapal doa agar semuanya baik-baik saja.
Keesokan hari, badai pun berlalu. Kepergiaanya meninggalkan cerita pilu disertai pemandangan yang menyayat hati. Jalanan di kota ini tidak bisa dilalui kendaraan. Pepohonan bertumbangan memenuhi badan jalan. Kabel-kabel listrik dan telepon berserakkan, atap rumah warga banyak yang bolong. Ada juga rumah yang rubuh dan terbawa banjir dan longsor. Menyedihkan memang.
Kupang bagai kota mati. Listrik padam untuk beberapa hari lamanya. Kami seolah kembali ke zaman lampau. Bila malam tiba, lampu pelita dan lilin menjadi satu-satunya penerang. Sebagai anak kampung yang merantau ke kota ini, belum lega rasanya karena belum berkabar dengan sanak famili di kampung halaman pasca badai.Â
Saking gelisahnya dengan keadaan keluarga di kampung, malam ketiga usai badai seroja, saya bersama beberapa teman bertandang ke Biara Frateran BHK, Oesapa untuk mengecas HP karena di situ ada genzet besar. Betapa bahagianya saya malam itu karena ternyata di Biara Frateran BHK ada jaringan internet.Â
Sebagai pelanggan IndiHome, rumah biara BHK adalah satu dari sekian pelanggan yang beruntung di kota ini. Pasalnya, pasca seroja lebih dari 1.000 laporan mengenai kerusakan IndiHome di rumah dan perkantoran yang masuk di loket pengaduan PT Telkom (https://www.republika.co.id).
Dengan memanfaatkan jaringan internet Telkom Indonesia, kegelisahan saya terbayar lunas malam itu. Kepada keluarga dan sanak famili di kampung halaman, kami saling memberi kabar. Canda tawa malam itu sungguh menguatkan kami meski dipisahkan jarak yang amat jauh.Â
Berhadapan dengan situasi batas di tanah rantau, tidak ada yang lebih dirindukan selain sesegera mungkin berkabar dengan sanak famili di kampung halaman. Untung ada IndiHome, internetnya Indonesia. Seperti dendam, rinduku terbayar tuntas malam itu.
Sekembali dari Biara BHK, saya berkunjung ke rumah keluarga di bantaran kali Liliba. Menjelang tengah malam, Erikos Nino, salah seorang pemuda di kampung itu berlari tergesa-gesa menuju rumahnya yang terletak persis di pinggir kali.
"Bangun semua sudah. Kita harus lari dari sini. Tsunami sudah naik sampai di Pulau Indah sana. Orang di Oesapa semua sudah lari", perintah Erikos. Bersamaan dengan itu, tiang-tiang listrik dibunyikan untuk membangunkan warga. Bapa Ose bersama istri lari sambil menggendong setumpuk pakaian. Sari merengek di bapanya untuk mencari ijazah SDnya terlebih dahulu sebelum lari. Erikos menjunjung koper berisi pakaian, ijazah dan berkas penting lainnya.
Saya yang sedari tadi asyik menyeruput kopi di belakng rumah terperangah dengan situasi ini. Spontan, saya berjalan ke depan rumah menemui warga yang berjubel untuk bersiap mengungsi. "Ini kenapa lagi?", tanyaku. "Kaka, siap sudah, kita lari. Orang semua sudah lari, tinggal kita saja. Tsunami sudah naik sampai Pulau Indah sana", jawab Erikos.