Descartes: “Bapak Filsafat Modern”
ReneKapan kita dapat mengatakan era filsafat modern dimulai? Pertanyaan seperti ini sebaiknya dijawab dengan pemaparan singkat mengenai periodisasi filsafat. Periodisasi filsafat umumnya dikelompokan berdasarkan corak pemikiran yang dominan pada masanya.
Ada empat pembagian periode perkembangan filsafat. Pertama adalah zaman Yunani kuno. Ciri era ini adalah pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) terjadinya gejala-gejala. Para filsuf di masa ini umumnya mempersoalkan pemikiran pada tataran kosmosentris (mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya).
Kedua adalah zaman abad pertengahan. Pada masa ini para filsuf menyatakan pemikirannya dalam bingkai teosentris yang berupaya menguatkan dogma kekristenan. Ketiga adalah zaman modern (abad 17 M), yang mana para filsuf di masa ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat sehingga disebut antroposentris. Keempat, adalah abad kontemporer (abad ke-20) yang memiliki corak pemikiran logosentris (teks menjadi pusat kajian filsafat).
Dalam diskursus filsafat modern dan kontemporer, terdapat tokoh yang dikenal sebagai “bapak filsafat modern”. Namanya, Rene Descartes (1595-1650). Ungkapan bahwa Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern tentu sangat berasalan.
Bertrand Russell dalam “Sejarah Filsafat Barat” mengatakan bahwa Descartes adalah “orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang tinggi dan sangat dipengaruhi oleh fisika dan astronomi baru”. Dibandingkan dengan filsuf-filsuf era sebelumnya, Russel memandang Descartes sebagai tokoh zaman modern yang membangun filsafat berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan yang rasional (akliah).
Subjektivitas dan individualis yang menjadi kekhasan manusia modern tampak kental dalam pemikiran-pemikiran filosofis Descartes. Metode pencarian pengetahuan dalam kandungan filsafat Descartes diklaim oleh Russel sebagai tonggak baru dalam sejarah filsafat. Baginya setelah Plato melalui dunia ide dan berakhir dengan Aristoteles melalui sumber gerak, empirisme, dan silogisme, sejak saat itu tidak ada yang baru dalam pemikiran filsafat. Gagasan para filsuf pada periode setelah mereka lebih mirip sebuah catatan kaki atau pemikiran lebih lanjut dari Plato dan Aristoteles.
Metode Kesangsian - Cogito Ergo Sum
Descartes adalah filsuf yang tidak ingin terjebak dalam bingkai filsafat Plato dan Aristoteles. Ia ingin mencari pengetahuan yang pasti dengan cara atau metode yang baru dan memiliki pondasi yang kokoh/tidak terbantahkan. Atas dasar semangat khas modernitas inilah, ia memulai dengan apa yang dikenal hingga saat ini sebagai “metode kesangsian”.
Pertanyaan mendasar yang ingin ia jawab dari aktivitas berpikir ini adalah, apakah realitas indrawi atau apa yang kita lihat dengan mata, didengar dengan telinga, dikecap oleh lidah, dan sebagainya adalah kenyataan sebenarnya, atau hanya sebuah ilusi? Kesangsian akan hal-hal tersebut akhirnya membuat kita kepada penyangkalan terhadap segala kebenaran dari pengetahuan inderawi. Metode juga kerap disebut sebagai metode cartesian.
Metode ini dimulai dengan aktivitas meragukan pengetahuan inderawi. Pengetahuan inderawi sejatinya menjadi dasar pembentuk kesadaran pikiran kita. Misalnya ketika kita bermimpi. Tubuh kita memang terlelap, tapi pikiran kita tidak bisa berhenti bekerja. Misalnya, memimpikan adanya kuda bersayap.
Gambaran tentang kuda bersayap bukan pemikiran orisinil dari kita, namun adalah perpaduan pengetahuan inderawi karena kita pernah melihat “kuda” dan “sayap”. Apa yang kita pikirkan sering merupakan aktivitas refleksi dari pengetahuan inderawi kita sendiri. Pada akhirnya, kita bisa menyangkal keseluruhan pengetahuan inderawi tadi.
Descartes mengawali aktivitas filosofis dengan gagasan seperti itu. Dalam konteks saat ini, jangan-jangan apa yang saya lihat selama ini hanya ilusi. Atau tangan saya yang sedang mengetik tulisan ini, sebenarnya tidak nyata. Atau lebih parah lagi, jangan-jangan tubuh saya yang sedang membaca tulisan ini sebenarnya hanyalah khayalan, ternyata tubuh asli saya tergeletak dan terlelap di kamar. Atau, jangan-jangan orang-orang yang selama ini kita katakan “gila” atau orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) sebenarnya tidak gila. Yang gila adalah ilusi kita.
Lalu bagaimana dengan matematika? Di luar materi realitas indrawi, ada yang namanya matematika. Kita bisa menghitung aritmatika dan geometri secara bebas tanpa belenggu unsur inderawi yang menyertainya. Sehingga, kebenaran aritmatika dan geometri, yang berlainan dengan objek fisika dan astronomi, lebih bisa menjadi pegangan daripada perspektif materi. Tapi tunggu dulu. Jangan-jangan ini juga hanya ilusi? Bisa saja ada setan yang membuat kita melakukan kesalahan dalam menghitung deretan angka. Tapi jika ada setan secerdas ini, bisa jadi kita akan terjebak dalam ilusi yang seakan-akan benar.
Tapi kalau semua ini adalah ilusi dan ketidakpastian, lantas apa yang pasti? Yang pasti, tidak lain dan tidak bukan, adalah saya yang sedang berpikir. Ya! Sesuatu dari diri saya yang penuh kepastian ada adalah “aku yang sedang berpikir”. Dengan demikian, kenyataan sejati tentang apa yang ada hanyalah pikiran, selain itu semuanya bisa menuju pemahaman sesat.
“Aku berpikir maka aku ada” (latin: cogito ergo sum), hanya dengan aku yang sedang dalam proses berpikir menjadi runtuh kesangsian tentang aku yang tidak ada. Demikian pula, ketika aku berhenti berpikir, maka aku sesungguhnya tidak ada.
Berikut ini kutipan lengkap dari pernyataan Rene Descartes yang memuat penggalan untuk memahami pengertian “Cogito Ergo Sum:
“Kadang pancaindera terkadang menipu kita, aku mengandaikan bahwa tak ada hal yang menampakkan diri sebagaimana adanya, dan karenanya dalam pembuktian bahkan pernyataan-pernyataan geometri sederhana sekalipun sering terjadi kekeliruan dan kesimpulan salah…Aku menolak segala alasan. Akhirnya, aku mengenali bahwa pikiran yang sama baik di saat berjaga maupun dalam mimpi dapat muncul dalam diri kita tanpa memberi alasan kepada kita; karena itu akan sengaja membayangkan segala hal yang kutemui di dalam pikiranku tidak lebih benar daripada tipu muslihat mimpi-mimpi. Namun di sini segera aku menyadari sementara aku mau menilai segalanya sebagai keliru, aku sendiri yang sedang memikirkan hal itu secara niscaya pasti ada, dan aku menemukan kebenaran ‘aku berpikir, maka aku ada’ (Cogito ergo Sum) sedemikian kokoh dan pasti, sehingga pandangan kalangan skeptic yang paling sengit tidak akan dapat menggoyahkan kebenaran tersebut. Demikianlah aku meyakini dapat mengambil tesis ini tanpa ragu untuk prinsip pertama filsafat yang kucari” (Descartes dalam terjemah teks Budi Hardiman, 2019: 37-38).
Memang agak sulit merangkum gagasan filosofis Rene Descartes kedalam tulisan yang singkat seperti ini. Namun pada intinya, ia berhasil membangun prinsip filsafat pertamanya dalam kata “aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum). Tidak ada kepastian mutlak selain cogito.
Jika ditelaah lebih lanjut, gagasan ini sangat kental dengan corak subjektivisme dan individualisme yang menjadi karakter zaman modern. Perlu juga diingat bahwa bangunan filsafat murni ini tidak bisa dicapai jika hanya mengandalkan intuisi semata (Plato) ataupun deduksi sederhana dengan seperangkat silogisme ala-ala Aristoteles.
Pemikiran lainnya yang relatif baru dalam kajian filsafat yang merupakan turunan dari ‘aku berpikir, maka aku ada’ (Cogito ergo Sum) adalah jiwa (dalam arti pikiran sebagai substansi murni) terpisah dari badan. Jiwa tidak menjadi faktor penggerak badaniyah. Keduanya adalah unsur independen.
Hal lain yang menarik adalah bahwa Descartes akhirnya tidak menyangkal keberadaan Tuhan. Descartes bahkan mengafirmasi bahwa Tuhan adalah substansi pokok karena ialah yang menciptakan pikiran manusia. Ia juga mengakui adanya eksistensi dunia eksternal. Semua kembali pada dasarnya yakni cogito. Jika pikiran kita bisa berpikir bebas, jauh, tanpa batas, bahkan bisa membuat pembagian-pembagian ekstrem seperti dalam metode kesangsian di atas, bukankah ‘Ia’ yang menciptakan pikiran kita itu adalah sungguh jauh lebih besar dan lebih hebat dari pikiran itu sendiri? Descartes beberapa kali memberi lampu hijau untuk hal ini, bahwa eksistensi Tuhan adalah nyata.
Karena gagasan Descartes tentang Tuhan menunjukan kesinambungan dengan Aquinas, sebaiknya tentang eksistensi Tuhan ini harus dibahas dengan pandangan mengenai ‘gerak pertama’ yang dikemukakan Aristoteles dan diteruskan diteruskan oleh Aquinas. Selamat menantikan ulasannya, pada artikel yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H