Gambaran tentang kuda bersayap bukan pemikiran orisinil dari kita, namun adalah perpaduan pengetahuan inderawi karena kita pernah melihat “kuda” dan “sayap”. Apa yang kita pikirkan sering merupakan aktivitas refleksi dari pengetahuan inderawi kita sendiri. Pada akhirnya, kita bisa menyangkal keseluruhan pengetahuan inderawi tadi.
Descartes mengawali aktivitas filosofis dengan gagasan seperti itu. Dalam konteks saat ini, jangan-jangan apa yang saya lihat selama ini hanya ilusi. Atau tangan saya yang sedang mengetik tulisan ini, sebenarnya tidak nyata. Atau lebih parah lagi, jangan-jangan tubuh saya yang sedang membaca tulisan ini sebenarnya hanyalah khayalan, ternyata tubuh asli saya tergeletak dan terlelap di kamar. Atau, jangan-jangan orang-orang yang selama ini kita katakan “gila” atau orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) sebenarnya tidak gila. Yang gila adalah ilusi kita.
Lalu bagaimana dengan matematika? Di luar materi realitas indrawi, ada yang namanya matematika. Kita bisa menghitung aritmatika dan geometri secara bebas tanpa belenggu unsur inderawi yang menyertainya. Sehingga, kebenaran aritmatika dan geometri, yang berlainan dengan objek fisika dan astronomi, lebih bisa menjadi pegangan daripada perspektif materi. Tapi tunggu dulu. Jangan-jangan ini juga hanya ilusi? Bisa saja ada setan yang membuat kita melakukan kesalahan dalam menghitung deretan angka. Tapi jika ada setan secerdas ini, bisa jadi kita akan terjebak dalam ilusi yang seakan-akan benar.
Tapi kalau semua ini adalah ilusi dan ketidakpastian, lantas apa yang pasti? Yang pasti, tidak lain dan tidak bukan, adalah saya yang sedang berpikir. Ya! Sesuatu dari diri saya yang penuh kepastian ada adalah “aku yang sedang berpikir”. Dengan demikian, kenyataan sejati tentang apa yang ada hanyalah pikiran, selain itu semuanya bisa menuju pemahaman sesat.
“Aku berpikir maka aku ada” (latin: cogito ergo sum), hanya dengan aku yang sedang dalam proses berpikir menjadi runtuh kesangsian tentang aku yang tidak ada. Demikian pula, ketika aku berhenti berpikir, maka aku sesungguhnya tidak ada.
Berikut ini kutipan lengkap dari pernyataan Rene Descartes yang memuat penggalan untuk memahami pengertian “Cogito Ergo Sum:
“Kadang pancaindera terkadang menipu kita, aku mengandaikan bahwa tak ada hal yang menampakkan diri sebagaimana adanya, dan karenanya dalam pembuktian bahkan pernyataan-pernyataan geometri sederhana sekalipun sering terjadi kekeliruan dan kesimpulan salah…Aku menolak segala alasan. Akhirnya, aku mengenali bahwa pikiran yang sama baik di saat berjaga maupun dalam mimpi dapat muncul dalam diri kita tanpa memberi alasan kepada kita; karena itu akan sengaja membayangkan segala hal yang kutemui di dalam pikiranku tidak lebih benar daripada tipu muslihat mimpi-mimpi. Namun di sini segera aku menyadari sementara aku mau menilai segalanya sebagai keliru, aku sendiri yang sedang memikirkan hal itu secara niscaya pasti ada, dan aku menemukan kebenaran ‘aku berpikir, maka aku ada’ (Cogito ergo Sum) sedemikian kokoh dan pasti, sehingga pandangan kalangan skeptic yang paling sengit tidak akan dapat menggoyahkan kebenaran tersebut. Demikianlah aku meyakini dapat mengambil tesis ini tanpa ragu untuk prinsip pertama filsafat yang kucari” (Descartes dalam terjemah teks Budi Hardiman, 2019: 37-38).
Memang agak sulit merangkum gagasan filosofis Rene Descartes kedalam tulisan yang singkat seperti ini. Namun pada intinya, ia berhasil membangun prinsip filsafat pertamanya dalam kata “aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum). Tidak ada kepastian mutlak selain cogito.
Jika ditelaah lebih lanjut, gagasan ini sangat kental dengan corak subjektivisme dan individualisme yang menjadi karakter zaman modern. Perlu juga diingat bahwa bangunan filsafat murni ini tidak bisa dicapai jika hanya mengandalkan intuisi semata (Plato) ataupun deduksi sederhana dengan seperangkat silogisme ala-ala Aristoteles.
Pemikiran lainnya yang relatif baru dalam kajian filsafat yang merupakan turunan dari ‘aku berpikir, maka aku ada’ (Cogito ergo Sum) adalah jiwa (dalam arti pikiran sebagai substansi murni) terpisah dari badan. Jiwa tidak menjadi faktor penggerak badaniyah. Keduanya adalah unsur independen.
Hal lain yang menarik adalah bahwa Descartes akhirnya tidak menyangkal keberadaan Tuhan. Descartes bahkan mengafirmasi bahwa Tuhan adalah substansi pokok karena ialah yang menciptakan pikiran manusia. Ia juga mengakui adanya eksistensi dunia eksternal. Semua kembali pada dasarnya yakni cogito. Jika pikiran kita bisa berpikir bebas, jauh, tanpa batas, bahkan bisa membuat pembagian-pembagian ekstrem seperti dalam metode kesangsian di atas, bukankah ‘Ia’ yang menciptakan pikiran kita itu adalah sungguh jauh lebih besar dan lebih hebat dari pikiran itu sendiri? Descartes beberapa kali memberi lampu hijau untuk hal ini, bahwa eksistensi Tuhan adalah nyata.