Sudah pukul sepuluh malam, Jenner, kakak laki-laki sekaligus kakak pertama Nanda belum muncul juga. Janjinya malam ini dia akan makan makan bersama gadis tujuh belas tahun itu. Nanda murung menatap pintu rumah mereka, ayah dan ibunya duduk menahan angantuk di depan meja yang sudah diletakan kue ulang tahun dengan lilin berbentuk angka tujuh belas. Hari ulang tahun yang sangat sepi dirumah kecil itu, detak jam dinding terdengar seperti tempo music yang mengiring senyapnya malam.
Tiba-tiba gadis kelas dua SMA itu bangkit dari kursinya, ia sangat yakin bahwa bunyi langkah kaki itu pasti sang kakak. Tak ada kemarahan dalam hatinya meski perayaan ulang tahunya ditunda karena ulah kakaknya itu. Baru Nanda hendak membuka pintu kayu itu, sang kakak sudah lebih dulu membuka. Mata Nanda terbelalak. Ada yang  berbeda dengan sang Kakak. "Kakak kok pucat?" Tanya Nanda dengan nada cemas.Â
Tak menjawab apa-apa Jenner meneruskan langkah menuju kamar tidurnya yang hanya berjarak beberapa meter dari meja tempat kue ulang tahun Nanda diletakan. Langkah Jenner terhenti. Ia ingat, hari ini adalah ulang tahun adiknya. Jenner membalikan badanya, menatap Nanda yang matanya sudah berkaca menahan tangis. Ayah dan ibu mereka terdiam menatap kedua anak mereka yang sudah mulai dewasa itu.
" Nanda, kakak minta maaf..'" belum selesai Jenner mengucapkan kata-katanya Nanda langsung memotongnya, "gak apa-apa kok..  biasa aja." Jenner memeluk adiknya erat. Nanda tampak mengendus, ada yang lain, badan kakaknya berbau aneh, tidak seperti  biasanya."kakak bau minuman sih.." Nanda cepat-cepat melepaskan diri dari dekapan sang kakak. "Apa?" suara sang ibu melengking, sambil berdiri mendekati anak sulungnya untuk memastikan. Sang ayah juga tidak diam. Pria kepala lima itu tampak duduk gelisah, menatap sang anak dengan tatapan penuh tanya.
"Benar, ni anak baru selesai minum". Ujar sang ibu dengan nada tinggi dan geram seolah ingin memukul. " Jenner, kamu mandi dulu baru balik lagi ke sini dan kita bicara". Ujar sang ayah sambil menahan emosi yang hampir meledak. Baru selangkah anak sulung itu bergerak tiba-tiba sebuah pil jatuh dari kantong jaketnya yang memang sudah bolong. "Kamu pemakai ya?" ujar sang ayah menahan amarah. Wajah jener basah oleh keringat, sedang Nanda mulai menangis menyaksikan adegan menegangkan itu.
"sudah dari dua tahun yang lalu pa, maafin saya". Jenner menunduk, antara malu dan menyesal. Sesekali ia menatap sang adik yang terisak. Ia sadar karena dirinyalah acara ulang tahun ini hancur.  "kurangajar kamu." Ujar ayah Jenner sambil mengayunkan tangannya hendak menampar anaknya."berhenti  pa... jangan pukul kakak.." Nanda mendekap erat sang kakak yang juga mulai menangis. Ibu Jener juga tak kalah derasnya mengalirkan air mata, suasana malam senyap itu kini berubah. "baik, besok kita pergi ke rumah sakit, dan kamu harus nuruti apa yang papa minta".
Di depan ruangan dokter Sigit, pasien cukup banyak mengantri. Tampaknya ayah Jenner sudah mengantisipasi hal ini, dan mereka sudah berada lebih dulu di urutan pertama. Dokter tua itu melangkah santai keruangannya sambil menembarkan senyum kepada mereka yang duduk menunggu memadati lorong rumah sakit baru itu. "masuk.." suara dokter Sigit ramah.Â
Jenner gelisah, keringat bercucuran dari badannya meski AC sudah mampu menggigilkan kulit sang ayah yang juga berada disampingnya. Dokter tenang mendengar pengakuan remaja 21 tahun itu. "pernah sakau.." tanya dokter. "pernah tapi gak di rumah..". jawab jenner gelisah sambil menatap sang ayah yang tampak frustasi. "kamu sudah cukup parah nak.." sambung dokter. "satu-satunya cara kamu harus dibawa ke tempat rehabilitasi. Jika tidak, maka hidup kamu akan sangat sulit. Sayangkan, kamu masih sangat muda.."
Didalam angkot yang penuh sesak itu ayah Jenner tampak mengerutkan keningnya. Ia berpikir keras mau dibawa kemana anaknya. Ke tempat rehabilitasi bukan sesuatu yang mudah, karena biaya masuknya saja tak mampu ia bayar.
Angkot itu berhenti tepat di depan Gereja Katolik St. Paulus Rasul. Seorang ibu membawa sayur dan hasil belanja lainnya yang dikemas dalam keranjang melangkah keluar angkot dan membuka pintu gerbang Gereja besar itu. "Jenner, ayo kita turun sini..". "kenapa yah.." tanya Jenner heran. "ayo, jangan banyak ngomong..".
Sudah hampir sepuluh menit mereka berdua berdiri menatap Gereja itu. Jelas saja Jenner heran, meski mereka orang Katolik tapi mereka hampir tidak pernah masuk Gereja. Kecuali Natal dan Paskah. Dan sekarang bukan Natal dan bukan Paskah, tapi mereka ada disini.
"selamat siang Romo..". Ayah Jenner berdiri dimuka Pastoran, sedang Romo Jos duduk membaca sebuah majalah Rohani. "eh pak Martin, mari-mari pak, silakan masuk.." sambut Romo Jos sambil merapikan mejanya yang berantakan oleh majalah-majalah rohani yang sebagian masih dibungkus kertas. Setengah jam berlalu, Jenner duduk tertunduk disamping sang ayah, sedang Romo Jos mendengarkan dengan teliti cerita dari pak Martin. "begini saja pak.. kalau bapak tidak keberatan, dia bisa tinggal disini.. bagaimana?"
Wajah pak Martin terarah pada Jenner yang masih tertunduk di sampingnya. "gimana Jenner, mau kan?"."mau pa.." jawab Jenner dengan wajah terus tertunduk. Hari itu juga Jenner tinggal bersama Romo Jos, sedang ayahnya kembali untuk mengambil pakaian Jenner. Bersama istrinya dan puterinya Nanda, pak Martin datang membawa perlengkapan Jenner. Ketukan pintu itu disambut oleh langkah kaki yang tampak terburu-buru. Jenner membuka pintu itu.Â
Malam itu terasa banjir oleh rasa haru yang menyelimuti pastoran Gereja tua itu. Nanda seolah tak menyangka jika ia dan kakaknya harus berpisah saat ia baru mulai menikmati umurnya yang sudah beranjak remaja. Â Rumah mereka memang jauh dari Pastoran tapi Nanda tak peduli. "aku janji akan terus datang bermain sama kakak." Mungkin ini cara Tuhan membawa keluarga mereka lebih dekat dengan diri-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H