Mohon tunggu...
Wiliams Flavian Pita Roja
Wiliams Flavian Pita Roja Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bachelor of Philosophy

Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dialektika Socrates, Metode Ideal untuk Menuju Kebenaran

8 November 2017   20:58 Diperbarui: 9 November 2017   06:01 9103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam pemikiran Yunani Kuno sering dibahas dalam dua periodesasi yakni filsafat "pra-Sokrates" dan filsafat Sokrates. Hal ini sebenarnya mau menegaskan bah Sokrates menjadi tonggak penting dalam sejarah perkembangan filsafat. Memang, kita tidak bisa mengesampingkan para filsuf sebelum Sokrates yang dalam pembahasannya tetap akan berkaitan dengan kaum Sofis.

Sebab, titik tolak pemikiran filoSofis yang rasional sudah mulai pada zaman para filsuf-filsuf alam yakni Thales dan kawan-kawan. Demikianlah, bahwa peran mereka mempengaruhi pemikiran Sokrates. Kita bisa membayangkan bahwa jika para filsuf awal tersebut tidak memulai sebuah pemikiran rasional mungkin Sokrates masih terjebak dalam dunia mitologi.

Demikian dalam karya ilmiah ini yang akan disoroti adalah Sokrates dengan metode dialektikanya untuk mencapai suatu kebenaran karena dialektika merupakan ekspresi rasionalnya yang menentang para kaum Sofis tetapi sekaligus menjelaskan yang esa. Maka, tesis yang diangkat dalam tulisan ini adalah 'Dialektika sebagai metode yang digunakan oleh Sokrates dalam mencapai suatu kebenaran'. Dari tesis ini kelompok mengangkat pembahasan, sebagai berikut:  

Sokrates

Rasanya tidak lengkap jika tidak mengetahui siapa Sokrates. Meski secara singkat namun amatlah penting mengingat konteks  pemikiran Sokrates berkaitan erat dengan riwayat hidupnya.

Sokrates dijatuhi hukuman mati pada tahun 399 SM. Waktu itu usianya 70 tahun. Memang sengaja disajikan tahun wafat terlebih dahulu, sebab perhitungan para ahli mengenai tahun kelahirannya berpatokan dari tahun wafat tersebut.  Jadi, ia lahir pada tahun 470 SM atau jika salah paling tidak, tidak begitu jauh dari perhitungan tersebut. Ada cerita jika bapak dari Sokrates bernama Sophroniskos, seorang pemahat yang menikah dengan seorang bidan bernama Phinarete, meskipun dasar historisnya masih diragukan. Kisah lain juga menceritakan bahwa Sokrates adalah murid dari Anaxagoras karena tertarik dengan ajarannya mengenai nus.[2] Meski akhirnya mereka memisahkan diri dari filsafat alam seperti yang dianut oleh Anaxagoras, namun peranan filsuf tersebut amat besar dalam kehidupan Sokrates, dalam hal ini pemikirannya.

Kaum Sofis

Meskipun sudah dibahas oleh kelompok sebelumnya, namun untuk menjelaskan pemikiran Sokrates tetap tidak bisa dilepaskan dari kritiknya terhadap kaum Sofis. Dari Sokrates sendiri nama kaum Sofis sudah mendapat kesan negatif, begitu anggapan dari Plato dan Aristoteles. Salah satu tuduhan adalah bahwa para Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Kesan negatif tentang kaum ini rupanya masih terbawa hingga sekarang. Dalam bahasa Inggris misalnya, kata Sofis diartikan sebagai seseorang yang menipu orang lain dengan menggunakan metode-metode yang tidak sah. Dalam dialog Protagoras Plato mengatakan bahwa kaum ini sebagai "pemilik warung yang menjual barang rohani".

Kaum ini terkenal dengan 3 hal, yakni keterampilan retorika, skeptisisme dan relativisme moral. Untuk bisa beretorika, mereka melatih diri sungguh-sungguh misalnya, dengan mempelajari kesusastraan dan menguasai teknik pidato serta persuasi. Mereka juga berpegang pada pandangan bahwa pikiran manusia tidak dapat mencapai pengetahuan yang definitif, itulah yang dimaksud dengan skeptisisme. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukanlah yang berlaku universal. Karenanya relativisme moral menjadi mungkin. Sebab, tidak ada kebenaran yang berlaku umum. Karena kebenaran hanya tergantung pada siapa yang menang dalam debat dan mampu mempraktekkan metode persuasinya.[3]

Kritik Sokrates

Sokrates mengutamakan dialektika serta berkeyakinan bahwa pikiran manusia dapat mencapai pengetahuan yang pasti. Ini adalah kritik Sokrates kepada kaum Sofis. Sokrates berkeyakinan bahwa pengetahuan yang pasti adalah sebuah kebenaran yang bersifat objektif dan universal. Nah, hidup yang baik justru berasal atas kebaikan dan pengetahuan itu. 

Dengan ini ditegaskan bahwa Sokrates memang berusaha untuk menemukan kebenaran dan pengetahuan yang tertinggi sebagai dasar kehidupan yang konkret. Dengan itu ia menghubungkan pengetahuan dengan tindakan atau kehidupan riil dengan pendapat bahwa jika kita mengetahui apa yang baik, maka kita akan melakukan kebaikan tersebut. 

Artinya, pengetahuan selalu identik dengan kebijaksanaan (sofia). Hal ini menjadi nyata saat Sokrates berargumentasi dimana ia tidak seperti kaum Sofis yang cenderung menghancurkan argumen lawan. Ia justru membangun dialog dengan bertitik tolak dari argumen lawan bicaranya menuju pengetahuan  dan kebenaran. Jadi, dialog atau dialektika yang dikembangkan oleh Sokrates bertujuan untuk menciptakan konsep-konsep tentang kebenaran dan kebaikan. Dengan hal ini, mau ditegaskan bahwa hakikat filsafat ialah mencari kebenaran.

Filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai. Tetapi disaat yang sama, ia harus ikut mencari jawaban yang benar.[4] Dengan demikian, kritik Sokrates sebenarnya sudah mengarah pada hakikat dari filsafat. Jika seorang menamakan dirinya seorang filsuf maka ia akan beruasaha mencari kebenaran tersebut, dengan pertama-tama sadar bahwa kebenaran itu pasti ada (tidak skeptis seperti kaum Sofis), dan yang kedua, menyadari bahwa ia harus keluar dari dirinya karena kebenaran juga ada pada orang lain.

Sokrates menegaskan bahwa untuk mengatasi relativisme dan skeptisisme kaum Sofis, dibutuhkan dasar yang kokoh bagi pengetahuan. Nah, dasar ini justru ada dalam diri kita sebagai manusia. Ini yang tidak disadari oleh kaum Sofis, sehingga mereka berani bersikap skeptis dan teguh pada relativisme moral. Sokrates sebaliknya ia menemukan bahwa dalam pribadi manusia ada medan aktifitas yang unik seperti aktifitas mengetahui yang implikasinya akan menghantar orang pada kegiatan praktis (bertindak). Pertanyaannya sekarang bagaimana aktifitas unik itu dapat dipahami dan dijelaskan?

Sokrates menciptakan suatu konsep jiwa atau psykhe. Jiwa yang dipahami Sokrates disini lebih terarah pada kapasitas untuk aktifitas intelegensi dan watak. Maka, ia tidak lain dari personalitas manusia yang sadar. Karenanya, jiwa inilah yang membuat kita dapat menjelaskan tentang bijaksana atau tolol, baik atau jahat. Meskipun gambaran Sokrates tentang jiwa tidak begitu lengkap, namun ia menghubungkan hakikat dengan aktifitas mengetahui dan mengarahkan atau mengontrol tindakan atau pelaku. 

Makanya, jiwa harus dirawat dan diperhatikan agar menjadi baik. Dengan jiwa yang baik, maka orang bisa membedakan dengan jernih antara kenyataan dan ilusi untuk membangun hidupnya atas dasar pengetahuan yang benar tentang kehidupan. Maka, Sokrates akhirnya menemukan bahwa landasan kokoh yang ia cari bagi pengetahuan, adalah jiwa. Jiwa dan aktifitasnya memungkin manusia untuk mencapai pengetahuan yang dapat diandalkan sebagai dasar moralitas.

Dialektika

Dialektika berasal dari kata Yunani dialegestai yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode Sokrates dinamakan dialektika karena di dalamnya, dialog atau percakapan mempunyai peranan yang hakiki. Dalam suatu kutipan yang terkenal, Sokrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya, yakni seni kebidanan atau dalam bahasa Yunani dinamai maieutike tekhne. Maksudnya seperti ibunya adalah seorang bidan, demikian Sokrates membidani jiwa-jiwa. Ia sendiri tidak menyampaikan pengetahuan tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan, ia justru membedah pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain.

Jika pada poin sebelumnya agak panjang lebar dipaparkan tentang kritik Sokrates terhadap kaum Sofis dengan menekankan peranan jiwa, maka sebenarnya yang dimaksudkan adalah dari jiwalah pengetahuan menjadi mungkin. Dialektika sebenarnya sederhana saja karena ia memulai dari aspek tertentu dari suatu problem. Seocrates berkeyakinan bahwa melalui proses dialog setiap partisipan dibantu untuk menjelaskan ide-idenya dan bergerak menuju hasil akhir berupa definisi yang jelas mengenai apa yang dipermasalahkan pada awal dialog. Meski sederhana namun terkadang dialektika ini mengandung ironi yang menyebabkan perasaan kurang enak.

Kita pasti masih ingat kisah dialog antara Sokrates dan seorang pemuda bernama Euthyphro. Dalam dialog tersebut ada hal yang sangat menarik dimana Sokrates berlagak tidak mengerti banyak hal agar memancing lawan bicara mengungkapkan segala pengetahuan yang dia miliki. Pertanyaan yang diungkapkan oleh Sokrates dikemukakan secara tertib terarah sehingga ia tampak seperti seorang bidan yang membedah rahim intelektual agar melahirkan pengetahuan yang tertinggi.

Dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa kebenaran yang dipahami oleh seorang filsuf tidak boleh hanya kebenaran pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain. Demikian dialektika membuktikan hal itu. Sokrates tidak saja mengungkapkan pertanyaan dalam sebuah dialektika. Diwaktu yang hampir bersamaan, ia justru secara progresif  mengoreksi pengertian tentang konsep yang tidak lengkap dan tidak akurat. Dengan cara ini, seorang lawan bicara secara bertahap dapat mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya. Kenapa Sokrates sangat yakin dengan hal ini? Itu karena jiwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui sesuatu. Hal ini sudah dijelaskan dalam poin sebelumnya. Bahkan kalaupun pengetahuan seseorang keliru maka, dialektika dapat menjadi metode yang ampuh untuk mengungkapkan bahwa pengertian yang dimiliki itu memang keliru dan harus dikoreksi. Dalam kenyataannya berhubungan dengan dialog Sokrates, Plato mencatat bahwa tidak semua dialog berakhir dengan kesimpulan tentang pengetahuan yang benar. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Sokrates selalu berusaha agar tidak memaksakan konsep tertentu pada lawan bicaranya.

Kesimpulan

 Masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan manusia disatu pihak tetap manusia, tetapi dilain pihak berkembang dan berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah manusia. Refleksi Magnis Suseno ini sesungguhnya merupakan ungkapan perhatiannya terhadap filsafat yang tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir dari sebuah masalah. Karenanya, permasalahan klasik yang dibahas 2500 tahun yang lalu masih sama dengan permasalahan yang dihadapi pada abad ini. 

Ini membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada metodenya sendiri. Jadi, jika ditanya mengenai relevansi dari dialektika, maka jawabannya sudah ditemukan dalam dialog-dialog filosofis masa kini. Dialektika menyadarkan kita bahwa kita tidak tahu sepenuhnya tentang kebenaran yang ada dalam diri kita dan apa yang tidak kita ketahui itu dapat dilihat oleh orang lain. Hal ini berlaku sama bahwa dalam diri orang lain kita melihat hal-hal yang tidak disadari oleh orang tersebut. Jadi, dialektika membuat kita mencapai titik kesadaran bahwa kebenaran itu ada dalam diri kita secara individu maupun sosial (sesama).

DAFTAR PUSTAKA

Franz Magnis Suseno, Filsfat Sebagai Ilmu Kritis,Kanisisus: 1992.

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,Kanisius: 1999.

Yong Ohoitimur, Traktat Kuliah Pengantar Filsafat, STF-SP: 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun