Mohon tunggu...
Wild flower
Wild flower Mohon Tunggu... -

Tukang baca yang sedang berusaha merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Sosial Memanusiakan Kemanusiaan Manusia

16 Agustus 2016   12:36 Diperbarui: 16 Agustus 2016   12:39 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Kita harus mengingat pemikirannya dan bukan orangnya
 Karena manusia bisa gagal,
 Dia bisa tertangkap
 Dia bisa terbunuh dan terlupakan
 Tapi 400 tahun kemudian
 Sebuah pikiran masih bisa mempengaruhi dunia.
 Aku menyaksikan dari awal akan kedasyatan sebuah pemikiran
 Aku melihat manusia  membunuh dengan mengatas namakan pemikiran itu
 Dan mati karena mempertahankan pikiran tersebut
 Tapi kau tidak bisa mencium sebuah pikiran
 Tak bisa menyentuh ataupun memegang pemikiran tersebut
 Pemikiran tidak berdarah
 Mereka tidak merasakan sakit   . Di kutip dari Quote film :  V for Vendetta

Manusia (Si)  mahluk Sosial media

Manusia tidak hanya dikenal dari perbuatan-perbuatannya, tapi juga dari buah pikirnya. Pikiran yang tersebar lewat kata, tertulis lewat jejaring sosial media, dan untuk kemudian disebarluaskan pada dunia.

Buah Pena pikir kita , tidak lagi menjadi buah yang kita nikmati sendiri, pahit manisnya. Buah pena itu kini dengan mudahnya dibagi, disebarluaskan, dan diberitakan , hanya dengan sekejab mata. 

Satu klik, untuk di klik dan diklik lagi. Dishare dan resharekan ulang, berkali-kali, berpuluh kali hingga ribuan.  Dan bayangkan efeknya !  Luar biasa. Kita seperti pedangan MLM, yang tak memerlukan Toko, biaya iklan,  jempol tangan kita  sudah bermulti fungsi menjadi agen yang luar biasa handal, disambung dengan jempol-jempol lain, dan Cling…. Blast, Whussss, secepat Si angin berhembus, dan kita tiba-tiba menghembus aroma sedapnya, ehhh. Yang saya maksudkan adalah, kita terkadang tak tahu siapa yang menghembuskan si aroma busuk itu, tapi kasak kusuknya sudah pasti menjadi buah bibir seantero ruangan, yang celingak celinguk ingin tahu "who's the men behind the bOOm."

Pointnya  : Kita tak pernah tahu, apakah postingan kita akan membawa faedah, atau malah petaka.  Apa yang bagi kita  pada mulanya  hanya ulasan adu mulut dan debat, atau curahan hati beruta unek-unek kesal dan sebal, kadang merembet seperti kobaran api  yang membakar seisi hutan.

Untuk itulah  meski mengklik dan mensharekan sesuatu hanya segengam jempol dan wifi gratis di warung kopi, namun dalam meresharekannya diperlukan hati untuk memilah-milah, mana hal yang berdaya guna dan bermanfaat, menghibur, memiliki nilai dan bermakna, dan mana yang hanya menimbulkan huru hara belaka.

Tanggung jawab si Buah Pena, tidak lagi menjadi milik sang pencetus ide mula-mula, buahnya pun tak lagi dikunyah dan dirasakan oleh dirinya pribadi. Kini tanggung jawab berita ada juga pada tangan-tangan kita yang turut bersumbangsih dalam menyebarkan si buah pikir yang kita sharekan dijejaring social kita setiap saatnya. Ada tanggung jawab renteng yang  tak boleh kita abaikan disana.

Si buah pena, pemikiran itu tidak berwujud, tidak tersentuh, tidak lekang oleh waktu, dia mampu bertahan melewati masa, dipercaya oleh satu generasi untuk dilanjutkan pada generasi –generasi berikutnya. Itulah sebabnya buah pena menjadi begitu berharga.  Nilainya lebih mahal dari uang, yang akan habis saat barang digerogoti oleh karat dan lekang oleh waktu.

Buah pena yang baik, seperti pelita. Pelita yang  menerangi kegelapan hati, saat mata pena dari sang penulis diliputi Nur Cahya  dari hati yang tidak lagi digelapi oleh ambisi dan nafsu atas nama apapun. Tidak juga atas nama Allah dan Agama.

Agama adalah hak setiap individu untuk bebas mempercayai ajaran-ajaran sesuai dengan keyakinan nuraninya.  Hak yang seringkali diberedel atas nama hubungan Anak-Orangtua, Negara- Warga Negara, Minoritas- Mayoritas, Kuasa- Budak, Ancaman – Ketakutan – Terror – Pemberontakan.

Agama tidak bisa dipaksakan. Agama yang dijalankan dengan iming-iming berupa hadiah dan janji-janji surga atau ancaman hukuman neraka, juga janji-janji harta dunia, pikatan atas nama kekasih, atau paksaan berupa teror, tidak pernah membawa suatu individu dalam keyakinan yang sejati. Agama dan keyakinan tidak tumbuh dari semua hal itu.  Kita mungkin mendapakan banyak pengikut, dalam jumlah, demi kebanggaan semu, bernama keberhasilan indoktrinisasi  dan misionari.

Pelita-Pelita dalam Syiar dan Syair keagamaan

Siar dan Syair-syair keagamaan , adalah buah pikir yang seharusnya menjadi pelita. Pelita tidak ditujukan untuk membakar hati para “lawannya” (Baca : kaum yang dianggap kafir, yang berbeda pandangan dan kepercayaan.)

Pelita itu adalah nyala, yang selalu menarik mata yang letih mencari dalam kegelapan. Pelita itu menerangi kegelapan, agar kaki tak terperosok jatuh dalam jurang. Pelita itu Keindahan, yang meski redup nyalanya namun mampu mengusir kelamnya malam.

Pelita yang indah, bisa membakar hati, bila nyalanya disulutkan paksa, tanpa hati, tanpa budi, tanpa kasih dan tanpa pekerti.

Kepada para pemilik jempol yang diikat dalam satu keluarga besar bernama Facebook, Twitter, Line, WA, Blogger, dengan  Google sebagai Mbah dan Eyang tempat kita mencari dan mengunduh ilmu, juga berbagi pemikiran dan hati, ingatlah Buah Pikirmu  lebih berharga dari ratusan barang yang lekang oleh waktu, bahkan lebih dari tubuhmu yang fana. 

Maka pupuklah dia dalam hati yang penuh kasih, dengan ketajaman otak yang tidak pernah kau tahu sampai kau coba menuangkannya dalam kata dan tulisan. Jaga , rawat dan tumbuhkan dia. Jangan hanya kau simpan dan pendam dalam taman hatimu sendiri. Bagikan, sebar dan siarkan pada dunia melalui media. Itulah buah pikirmu yang mungkin kelak kan berguna bagi dunia , tanpa pernah kau tahu atau kau sadari sebelumnya !

Namun ingatlah, selalu berhati hati agar buahmu bukanlah buah beracun yang  hanya kau tulis untuk mengumbar kesombongan , amarah, dendam, iri dan segala hal buruk  yang tak ada nilai manfaatnya sama sekali.

Ingat juga sebaik apapun buahmu, jadikan dia pelita, dan bukan si bola api liar, agar kelak dia tak dikobarkan dengan api yang menyala dan membakar sesama.

Fin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun